Belakangan ramai diperbincangkan omnibus law (OL). Wacana ini semakin hangat diperbincangkan sejak bergulir di publik dua peraturan OL, Cipta Lapangan Kerja dan Pajak.
Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Caranya dengan menyederhanakan sekelumit aturan yang memperlambat proses ekonomi.
Perubahan dunia saat ini begitu cepat sehingga diperlukan keputusan yang cepat pula. Sementara itu, regulasi yang ada dinilai membelenggu dan tumpang tindih sehingga kesempatan pertumbuhan ekonomi tidak dapat kita tangkap.
Penciptaan lapangan kerja bisa di OL merupakan konsep konsolidasi beberapa peraturan yang mengandung lebih dari satu muatan pengaturan menjadi satu tujuannya, yakni harmonisasi agar tidak tumpang tindih regulasi, merapikan, dan konsistensi.
Konsep ini umumnya muncul di negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat. Pada 1967 rancangan metode ini menjadi populer. Saat itu Menteri Hukum Amerika Serikat Pierre Trudeau mengenalkan Criminal Law Amendment Bill. Isinya mengubah undang-undang hukum pidana dan mencakup banyak isu. Omnibus law ini selanjutnya juga dikembangkan di Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura.
Mengurai sengkarut kewenangan
Dalam membangun sistem hukum dengan susunan peraturan perundangan sebagaimana kita laksanakan dalam sistem hukum kontinental ini, diharapkan segala kehidupan bernegara dilaksanakan berdasarkan dan dengan cara sesuai ketentuan. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi rakyat, karena dalam ketidakpastian hukum itu sulit kita berharap tentang keadilan.
Ketidakpastian hukum dalam penyusunan peraturan perundang-undangan jika ditelusuri terjadi karena minimal dua hal. Pertama, tuntutan spesialitas peraturan. Dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, tuntutan penyusunan peraturan perundang-undangan untuk kian detail mendekati spesialitas materi merupakan keniscayaan.
Hukum yang umum menimbulkan abstraksi yang umum sehingga tidak dapat mendekati obyek secara tepat. Hal inilah yang mendorong bahwa setiap hal tidak bisa diatur secara umum karena tidak mampu mendekati secara tepat. Pengaturan semakin detail mendekati spesialitas akan meningkatkan derajat keadilannya.
Hal itulah yang mengakibatkan berkembang perundang-undangan yang semakin spesialis karena semakin teknis. Kecenderungan spesialitas tersebut juga diikuti dengan spesialitas organ pelaksananya. Alhasil menjadi multipemangku kepentingan (stakeholder), yang menangani tindakan pemerintahan.
Oleh karena itu, perkembangan spesialitas peraturan yang niatnya untuk semakin mendekati secara lebih spesialitas obyektif ini, sistematisasinya perlu diberikan koridor dengan sistem hukum yang lebih makro. Alasannya, karena spesialitas peraturan yang tidak tersistemasi dalam sistem hukum yang makro akan menimbulkan rusaknya sistemasi hukum nasional. Hukum yang sektoral yang tidak terjaga sistemasinya cenderung menimbulkan parsialitas dan kontradiksi, yang berujung pada ketidakpastian hukum.
Kedua, norma UU yang terlalu abstrak memerlukan peraturan teknis pelaksanaan yang tidak lagi terkontrol sistemasinya. Ada kebutuhan fleksibiltas undang-undang, yang karena itu penyusunan norma undang-undang diatur agak umum sehingga peraturan teknisnya dimandatkan kepada peraturan teknis. Sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaan UU diatur dengan peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres).
PP diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri, peraturan menteri diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah provinsi. Peraturan daerah provinsi diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah kabupaten kota.
Dengan demikian, norma undang-undang sampai pada pelaksanaan akan mengalami proses reproduksi norma yang panjang dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan deviasi seberapa pun kecilnya
Oleh karena itu, norma tersebut, atas dasar spesialitas materi memerlukan undang-undang khusus, sudah melahirkan keberagaman. Pun atas dasar jenjang reproduksi norma yang panjang juga menimbulkan deviasi antara norma dan pelaksanaan yang semakin melenceng. Keberagaman peraturan dan derajat deviasi peraturan pelaksana bukan saja diatur masing-masing, kadang saling kontradiksi dan mengunci.
Alhasil, proses perizinan menjadi jamak, dengan syarat dan ketentuan pada setiap perizinan terpisah, walau kadang syarat dan ketentuannya sama, hasilnya bisa berbeda-beda. Kondisi ini sesungguhnya yang dikeluhkan investor, ketidakjelasan syarat dan ketentuan, biaya dan waktu.
Dalam kompleksitas syarat dan prosedur yang beragam untuk suatu izin usaha inilah yang kadang menimbulkan ”makelar” perizinan atau bahkan jalur tikus perizinan, yang cenderung koruptif. Korupsi hanya bisa tumbuh dalam kondisi ketidakpastian hukum. Sebaliknya, jika syarat dan ketentuan serta waktu dan biaya perizinannya jelas tegas, dipastikan korupsi akan mati dengan sendirinya.
Korupsi hanya bisa tumbuh dalam kondisi ketidakpastian hukum. Sebaliknya, jika syarat dan ketentuan serta waktu dan biaya perizinannya jelas tegas, dipastikan korupsi akan mati dengan sendirinya.
Antikorupsi: kondusif investasi
Merampingkan peraturan dalam program OL sebagai upaya merapikan peraturan perundang-undangan agar berkepastian hukum, mengefisiensikan syarat dan prosedur, serta memperjelas biaya dan waktu, sesungguhnya sejalan dengan agenda pencegahan korupsi. Dalam layanan pemerintahan yang berkepastian, fair, transparan, dan akuntabel pada area itu dipastikan tidak akan ada celah korupsi. Sebaliknya dalam ketidakpastian layanan publik cenderung subur perilaku korupsi.
Niat baik OL tidak cukup, perlu dikawal secara baik agar terjaga sampai implementasi. Mengingat OL ini mengonsolidasi banyak peraturan, tentu perlu kehati-hatian ekstra untuk menyatukannya dalam satu peraturan, pendekatan multi-pemangku kepentingan memerlukan kehati-hatian.
Contohnya, OL Cipta Lapangan Kerja (Cipta Kerja) yang sudah diramaikan. Tentang keberadaan Pasal 170 Ayat 1 Bab XIII RUU Cipta Kerja, Kepala Negara memiliki kewenangan mencabut UU melalui peraturan pemerintah dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja.
Demikian halnya dengan kewenangan mencabut perda yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya, melalui peraturan presiden dalam Pasal 251 di draf RUU Cipta Kerja, pengaturan ini bukan saja kontraproduktif, bahkan bisa menimbulkan prasangka tidak baik dalam niatan baik OL ini.
Niat baik OL tidak cukup, perlu dikawal secara baik agar terjaga sampai implementasi.
Kewenangan mencabut UU melalui PP melanggar asas contrarius actus, bahwa perubahan terhadap ketentuan peraturan perundangan hanya dapat dilakukan melalui peraturan yang sama tingkatannya.
Berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) UUD NRI 1945 jo Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan bahwa hierarki PP berada di bawah UU, karena itu ketentuan UU OL yang memberi wewenang perubahan UU melalui PP menimbulkan prasangka ke arah otoritarian. Otoritarian sangat bertentangan dengan semangat antikorupsi.
Di setiap penumpukan kewenangan, cenderung akan koruptif. Ingat, pendiri bangsa kita memilih bentuk negara republik dengan kesadaran untuk memisahkan cabang-cabang kekuasaan negara dalam berbagai organ negara adalah untuk menghindarkan dari absolute power yang satu sentimeter lagi menuju absolute corrupt.
(Nurul Ghufron Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi)
KOMPAS, 28022020 Hal. 7.