JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai belum terlalu berpihak pada perkembangan ekonomi digital. Pertumbuhan ekonomi digital yang pesat saat ini dianggap belum dibarengi peningkatan serapan tenaga kerja yang optimal.
Pendiri Institute for Social, Economic, and Digital (ISED), Sri Adiningsih menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja belum sepenuhnya memfasilitasi proses transformasi digital di Tanah Air. Padahal, proses otomatisasi dunia usaha rentan menimbulkan guncangan pada daya serap tenaga kerja.
“Perlu ada pengaturan yang optimal untuk mendukung pengembangan start-up yang aman dan nyaman bagi konsumen. Tidak semata meningkatkan penerimaan negara,” ujarnya Adiningsih di Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menunjukan, kebutuhan tenaga kerja digital mencapai 600.000 orang per tahun. Kebutuhan sebanyak itu belum terpenuhi. Tingginya kebutuhan disebabkan oleh menjamurnya start-up yang menggunakan teknologi dalam bisnis modelnya. Jika hal ini terus terjadi, maka dalam 10 tahun ke depan defisitnya akan melebar hingga 6-7 juta pekerja.
Walaupun ukuran ekonomi digital saat ini hanya berkisar 4 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, pertumbuhan ekonomi digital berpotensi melaju pesat dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 30 persen setiap tahun.
Ekonomi digital Indonesia mampu tumbuh dua digit kala pertumbuhan PDB Indonesia mentok di kisaran 5 persen tiap tahun. Meroketnya ekonomi digital Indonesia turut mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di sektor ini.
“Dalam 10 tahun ke depan omzet dari transaksi digital bisa lebih dari separuh PDB Indonesia. Situasi ini mestinya diantisipasi dalam revisi undang-undang ketenagakerjaan,” ujarnya.
Bila dibandingkan kontribusi investasi di sektor ekonomi digital terhadap total investasi asing di Indonesia, proporsinya terus tumbuh. Pada tahun 2018, kontribusi investasi ke sektor digital mencapai 13 persen dari total investasi asing di Indonesia.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dari aliran investasi asing per tahun di level 20-25 miliar dollar AS dan diperkirakan 10 persen disumbang dari sektor ekonomi digital.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, dalam menyusun RUU Cipta Kerja, pemerintah sebaiknya melihat aspek yang lebih besar, seperti penyerapan dan penciptaan tenaga kerja, ketimbang mengurusi persoalan pesangon.
“Saya pun tidak menemukan sebuah pasal yang spesifik yang mendorong pada pertumbuhan ekonomi digital. Padahal, saya termasuk yang setuju sekali untuk mendigitalisasi ekonomi nasional,” ujarnya.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Dinilai Melenceng dari Tujuan Awal
Sejumlah upaya jalan pintas yang dilakukan pemerintah untuk memangkas data kemiskinan, lanjut Hariyadi, membuat banyak masyarakat terlalu bergantung pada subsidi negara. Contohnya, subsidi listrik sebesar 40 persen yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat yang kurang mampu.
“Langkah-langkah tersebut membuat masih banyak masyarakat yang belum memiliki belum memiliki pendapatan stabil, atau menganggur,” ujarnya.
KOMPAS, 27022020 Halaman 14.