JAKARTA, KOMPAS – Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menilai pencabutan status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju oleh Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) tidak akan berpengaruh terhadap fasililitas sistem tarif preferensial umum (GSP). Keduanya beraada di ranah yang berbeda.
Luhut menjelaskan, dalam kunjungannya ke Amerika Serikat (AS), pekan lalu, pemerintah RI telah berdialog dengan petinggi USTR Robert Lightizer tentang GSP. Dalam pertemuan itu, persoalan tentang peninjauan kembali fasilitas keringanan bea masuk yang diterima Indonesia dari AS itu telah selesai dibahas.
Pada 2 Maret 2020, tim USTR akan bertemu dengan tim Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan untuk menyelesaikan secara mendetail. “Kita bisa mendapat fasilitas kira-kira sebesar 2,4 miliar dolar AS, dan ini akan membuat kita tetap kompetitif,” kata Luhut di Jakarta, Selasa (25/2/2020).
Kita bisa mendapat fasilitas kira-kira sebesar 2,4 miliar dolar AS, dan ini akan membuat kita tetap kompetitif.
Selain Indonesia, terdapat 126 negara lain yang tidak lagi dikategorikan lagi sebagai negara berkembang, seperti Malaysia, Vietnam, dan India, per 10 Februari 2020.
Menurut Luhut, isu Indonesia tidak lagi dikategorikan sebagai negara berkembang dan GSP merupakan hal berbeda. “GSP itu ada kesepatan tersendiri, beda dengan pengubahan status itu,” kata dia.
Perubahan status negara itu dalam konteks penyelidikan antidumping untuk melindungi industri dalam negeri. Ini berbeda dengan GSP yang merupakan keistimewaan atau insentif bea masuk.
Baca juga : Status Baru Indonesia ala Amerika Serikat
Luhut menambahkan, Pemerintah Indonesia bahkan berencana akan menaikkan level GSP menjadi perjanjian perdagangan bebas terbatas (limited free trade agreement). Target pemerintah memang baru menyasar pada perjanjian bebas terbatas itu, belum mengarah pada perjanjian perdagangan bebas (free trade agreemet). Perjanjian perdangan bebas ini membutuhkan waktu lebih lama.
Baca juga : Kemudahan Perdagangan Indonesia ke Amerika Serikat Tergerus
Rentan tuduhan
Dengan menyandang status sebagai negara maju versi AS, Indonesia rentan mendapatkan tuduhan pemanfaatan subsidi. Akan tetapi, eksportir Indonesia percaya diri tidak akan mendapatkan tuduhan itu karena tidak pernah mendapatkan skema subsidi dari pemerintah.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor Indonesia ke AS pada Januari 2020 sebesar 1,61 miliar dollar AS, tumbuh sebesar 7,05 persen dari periode sama 2019. Komoditas yang mendominasi ekpsor Indoensia ke AS adalah produk karet, furnitur kayu, sepatu olah raga, kopi, kakao, produk tekstil, dan perhiasan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mengatakan, AS merupakan pasar ekspor strategis bagi komoditas karet nasional, karena mayoritas kebutuhan karet AS dipasok oleh Indonesia.
Selama ini, industri karet Indonesia tidak memanfaatkan subsidi dari pemerintah. “Sama sekali tidak ada subsidi. Industri karet Indonesia menerapkan prinsip yang mengarah pada pasar bebas,” kata dia.
Sama sekali tidak ada subsidi. Industri karet Indonesia menerapkan prinsip yang mengarah pada pasar bebas.
Pada Januari 2020 BPS mencatat, karet mendominasi ekspor Indonesia ke AS. Nilai ekspor untuk produk karet alam atau TSNR 20 sebesar 75,04 juta dollar AS sedangkan produk ban karet sebesar 42,36 juta dollar AS.
Moenardji yang juga Anggota Dewan Penasihat Gabungan Eksportir Kopi Indonesia, mengemukakan, AS juga menjadi pasar tujuan ekspor kopi Indonesia. Nilai ekspor kopi ke AS berdasarkan data BPS sebesar 24,08 juta dollar AS pada Januari 2020.
Reputasi dan citra kopi Indonesia di AS kuat. Dalam industri kopi, pemerintah juga tidak memberikan subsidi. “Tidak ada skema subsidi sebagai bentuk bantuan pemerintah terhadap industri kopi dan karet. Adapun bantuan pemerintah lebih berorientasi pada pembangunan kapasitas sumber daya manusia di tingkat pekebun,” kata dia.
Tudingan dumping
Selain karet dan kopi, AS juga merupakan salah satu pasar bagi produk minyak kelapa sawit Indonesia. Namun saat ini Indonesia sedang menghadapi penyelidikan antidumping AS terkait produk turunan minyak kelapa sawit, yaitiu biodiesel.
Biodiesel Indonesia masih terkena tuduhan subsidi dari AS. Karena itu, sepanjang 2019 Indonesia sudah tidak lagi mengekspor biodiesel ke AS.
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bidang Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang menyatakan, pelaku usaha swasta di sektor kelapa sawit juga tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor menambahkan, biodiesel Indonesia masih terkena tuduhan subsidi dari AS. Karena itu, sepanjang 2019 Indonesia sudah tidak lagi mengekspor biodiesel ke AS.
Baca juga : Tuduhan Dumping Dilawan
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan menjelaskan, AS melayangkan tuduhan itu sejak 2017. Hingga saat ini, kasus itu masih berjalan di tingkat Pengadilan Perdagangan Internasional AS.
Saat ini, pengacara dari pengusaha dan pemerintah tengah berjuang memenangkan kasus tersebut. “Saya optimistis (Indonesia terbebas dari tudingan itu) karena meyakini tuduhan yang dilayangkan oleh AS dilatarbelakangi oleh kepentingan proteksionisme,” ujarnya.
KOMPAS, 26022020 Hal. 13.