MENCERMATI RUU CIPTA KERJA

Pemerintah harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif dan prospektif bagi pengusaha, tetapi di sisi yang lain pemerintah juga harus mampu menjaga agar para pekerja tetap mendapatkan hak mereka secara adil.

Rancangan Undang-Undang ”Omnibus Law” yang akan menjadi payung hukum ”sapu jagat” untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya masih mengundang polemik dan perdebatan panas di ranah publik, terutama RUU Cipta Lapangan Kerja.

Pemerintah dihadapkan pada gelombang penolakan yang cukup keras dari beberapa pihak yang meragukan efektivitas dan tujuan utama dari pembuatan RUU Cipta Kerja ini. Beberapa pihak merasa bahwa peraturan-peraturan yang tertuang dalam draf RUU Cipta Kerja dapat memberikan dampak negatif terhadap kepentingan mereka.

Penolakan paling keras terhadap RUU Cipta Kerja muncul dari kelompok pekerja. Beberapa peraturan baru dalam kluster ketenagakerjaan dirasa akan merugikan para pekerja. Setidaknya terdapat tiga prinsip yang dipermasalahkan kelompok pekerja, yaitu kepastian pekerjaan, jaminan pendapatan, dan kepastian jaminan sosial.

Ketiga prinsip ini yang dianggap absen dari RUU Cipta Kerja yang diajukan pemerintah ke DPR beberapa waktu lalu. Namun, apakah benar RUU Cipta Kerja telah kehilangan ketiga prinsip keadilan itu? RUU ”Omnibus Law”, baik Cipta Kerja maupun Perpajakan, yang disusun pemerintah merupakan respons terhadap kondisi dan kinerja ekonomi Indonesia saat ini yang diyakini masih kurang ideal.

Sejak 2014, Indonesia seperti mulai terjebak pada pertumbuhan ekonomi rendah di kisaran 5 persen. Di sisi lain, tingkat risiko yang menghantui perekonomian juga kian membesar sehingga kian menggerus tingkat keyakinan para pelaku ekonomi akan prospek perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Oleh karena itu, tak heran jika beberapa indikator kinerja ekonomi Indonesia mengalami penurunan yang cukup besar. Indeks daya saing dan peringkat iklim investasi Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan. Tahun 2019, indeks daya saing Indonesia berada di peringkat ke-50 dunia atau turun lima peringkat dari sebelumnya di peringkat ke-45 dunia. Sebagai perbandingan, Singapura (peringkat ke-1), Malaysia (27), dan Thailand (40).

Hal yang sama terjadi pada peringkat Indeks Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EODB). Peringkat EODB Indonesia pada 2020 tidak mengalami perubahan dibandingkan pada 2019. Indonesia tetap di peringkat ke-73 dari 190 negara dengan permasalahan investasi yang sama, yaitu sulitnya melaksanakan kontrak (enforcing contract) dan sulitnya memulai bisnis (starting a business).

Kedua masalah itu erat kaitannya dengan regulasi yang selama ini sering kali menjadi kendala dalam mendorong kinerja investasi Indonesia. Padahal, Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia bisa berada di peringkat ke-40 dalam hal EODB ini.

Berbagai permasalahan itu telah mendorong Indonesia berpotensi masuk ke dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Jika masuk ke dalam jebakan ini, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk keluar dan menjadi negara ekonomi maju. Kondisi ini bukanlah kondisi ideal yang diinginkan seluruh elemen bangsa.

”Trade off” kepentingan

Untuk menuju ekonomi maju, perekonomian Indonesia harus mampu beranjak dari angka pertumbuhan ekonomi rendah di kisaran angka 5 persen dengan mendorong pertumbuhan investasi, industri, dan kinerja ekspor nasional. Untuk mencapai tujuan ini, merupakan keniscayaan bahwa daya saing nasional dan kemudahan berusaha harus ditingkatkan. Dalam kaitan ini, maka transformasi ekonomi melalui pembuatan payung hukum RUU Cipta Kerja menjadi suatu keharusan.

Transformasi menuju ekonomi maju mengharuskan Indonesia melakukan ”reformasi struktural” dengan menyelesaikan berbagai permasalahan struktural yang dapat mendorong peningkatan investasi dan pembangunan sektor industri. Salah satu reformasi struktural yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia (SDM).

Sampai saat ini harus diakui bahwa Indonesia masih memiliki ”pekerjaan rumah” terkait dengan kualitas dan produktivitas SDM. Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) Indonesia saat ini adalah 61,01 atau tergolong menengah bawah. Rendahnya nilai IPK Indonesia ini di antaranya disebabkan kondisi lingkungan kerja, hubungan industrial dan produktivitas tenaga kerja yang belum memadai.

Bahkan survei dari Japan External Trade Organization menempatkan masalah ketenagakerjaan ini menjadi masalah utama dalam iklim usaha Indonesia. Sebanyak 76,9 persen pengusaha Jepang menganggap lonjakan/kenaikan biaya tenaga kerja sebagai masalah dan risiko dalam iklim investasi di Indonesia. Bahkan angka ini menjadi angka tertinggi di antara negara ASEAN, Asia Barat, dan Oseania.

Oleh karena itu, dalam RUU Cipta Kerja ini pemerintah mencoba membuat reformasi struktural terhadap semua kondisi yang dianggap menghambat iklim investasi di Indonesia, termasuk salah satunya aturan ketenagakerjaan.

Peraturan ketenagakerjaan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja dibuat jauh lebih longgar. Pemerintah memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada para pengusaha untuk membuat kesepakatan dengan kelompok pekerja dalam menentukan berbagai peraturan yang berkaitan dengan kepastian pekerjaan, jaminan pendapatan, dan kepastian jaminan sosial para pekerjanya.

Beberapa peraturan yang sebelumnya diatur secara rinci di dalam UU Ketenagakerjaan, dalam draf RUU Cipta Kerja ini tidak terlihat secara jelas. Pengaturan cuti kerja dan waktu istirahat lebih banyak diatur dalam perjanjian kerja yang prosesnya diserahkan ke dalam proses negosiasi antara pemberi kerja dan pekerja.

Pengusaha juga diberi keleluasaan dalam melakukan peninjauan upah secara berkala dengan hanya mempertimbangkan kemampuan perusahaan dan produktivitas pekerja. Rumus kenaikan upah juga mengalami perubahan di mana tingkat inflasi sebagai dimensi jaring pengaman tidak masuk ke dalam variabel penentu kenaikan upah. Kenaikan upah hanya ditentukan oleh persentase pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu dimensi insentif bagi para pekerja.

Tak boleh lepas tangan

Sistem regulasi ketenagakerjaan yang lebih banyak menyerahkan ke dalam proses negosiasi akan efektif di dalam pasar tenaga kerja yang seimbang antara kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Jika kondisi pasar tenaga kerja tidak seimbang, proses negosiasi tersebut tidak akan berjalan secara adil.

Di pasar tenaga kerja yang mengalami kelebihan penawaran (excess supply), proses negosiasi akan lebih banyak merugikan pekerja karena pekerja memiliki daya tawar yang rendah. Namun, di pasar tenaga kerja yang mengalami kelebihan permintaan (excess demand), maka pengusaha yang akan lebih banyak dirugikan karena para pekerja memiliki daya tawar yang lebih besar.

Regulasi yang mengedepankan proses negosiasi memperlihatkan bahwa pemerintah mengalami trade off antara mendukung kepentingan pengusaha dan mendukung kepentingan pekerja. Namun, tentunya pemerintah juga tidak boleh lepas tangan. Pemerintah harus mampu mendorong dan mendukung kedua kepentingan yang berbeda ini.

Pemerintah harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif dan prospektif bagi pengusaha, tetapi di sisi yang lain pemerintah juga harus mampu menjaga agar para pekerja tetap mendapatkan hak mereka secara adil terutama dalam hal kepastian pekerjaan, jaminan pendapatan, dan kepastian jaminan sosial.

Oleh karena itu, sebaiknya seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, anggota DPR, pengusaha, dan pekerja, mencermati kembali seluruh peraturan yang terdapat dalam draf RUU Cipta Kerja ini. Penyusunan RUU Cipta Kerja harus dijadikan momentum bersama untuk bisa mewujudkan visi Indonesia menjadi negara maju pada 2045.

 

Sumber: Kompas.id. Selasa, 25 Februari 2020.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.