SURVEI LITBANG KOMPAS: RUU Cipta Kerja dan Hak Pekerja

Penyusunan RUU Cipta Kerja merupakan langkah positif untuk memperkuat iklim investasi. Namun, upaya ini diharapkan tetap selaras dengan perlindungan atas hak dan kesejahteraan pekerja. Sosialisasi dan partisipasi publik menjadi kunci untuk memenuhi keselarasan tersebut.

Harapan masyarakat akan terciptanya keseimbangan antara kemudahan berinvestasi dan terlindunginya hak pekerja dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu, yang menyoroti langkah pemerintah mengajukan rancangan omnibus law.

Ada beberapa aturan ”sapu jagat” yang sedang dipersiapkan dalam regulasi tersebut, antara lain RUU) Cipta Kerja, RUU Ibu Kota Negara, dan RUU Perpajakan.

Baca Juga: RUU CIPTA LAPANGAN KERJA MASIH DIBAHAS INTERNAL PEMERINTAH

Salah satu yang tengah menjadi sorotan publik saat ini adalah RUU Cipta Kerja. Sebanyak 44,7 persen responden jajak pendapat ini menaruh perhatian pada isu ketenagakerjaan. Sektor ketenagakerjaan memang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.

RUU ini terdiri atas 1.244 pasal bersumber dari 79 undang-undang yang meliputi berbagai sektor, seperti perizinan, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), ketenagakerjaan, pengadaan lahan, serta riset dan inovasi.

Sektor ketenagakerjaan memang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. RUU ini terdiri atas 1.244 pasal bersumber dari 79 undang-undang yang meliputi berbagai sektor, seperti perizinan, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), ketenagakerjaan, pengadaan lahan, serta riset dan inovasi.

Sejumlah materi perubahan masuk dalam RUU Cipta Kerja karena sebagian ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dinilai tidak ideal dalam meningkatkan iklim investasi. Namun, jalan mengubah regulasi demi peningkatan investasi ini ternyata tidak serta-merta dipandang positif oleh publik. Terlebih ketika materi dalam RUU Cipta Kerja ini dianggap merugikan pekerja.

Sejumlah usulan perubahan dalam RUU ini cukup signifikan karena menyangkut hak dan kewajiban pekerja. Pro dan kontra tak bisa dihindari saat menyikapi RUU ini.

Jajak pendapat Kompas mengindikasikan adanya pro dan kontra itu. Setidaknya publik terbelah dalam memandang apakah RUU Cipta Kerja ini merugikan atau menguntungkan, khususnya bagi pekerja.

Sebanyak 37,5 persen responden menilai perubahan sejumlah aturan ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja akan merugikan pekerja. Namun, 34,4 persen responden lainnya menyatakan sebaliknya.

Pro dan kontra terhadap RUU Cipta Kerja diperkirakan akan mewarnai proses pembahasannya di DPR. Sebanyak 41,3 persen responden jajak pendapat memperkirakan pembahasan RUU ini akan tersendat.

Namun, 38,7 persen responden memperkirakan pembahasan RUU Cipta Kerja ini akan mulus. Dominasi kursi parpol koalisi pendukung pemerintah menjadi salah satu faktor yang meyakinkan responden bahwa RUU ini akan mulus.

Pro dan kontra

Munculnya sikap pro dan kontra di ruang publik tidak lepas dari perubahan sejumlah aturan terkait ketenagakerjaan yang menjadi bagian dalam RUU Cipta Kerja ini. Sebagian responden menangkap RUU Cipta Kerja dikhawatirkan akan ”mengganggu” hak dan kesejahteraan pekerja.

Ada sejumlah hal yang dapat dipetakan terkait perubahan aturan ketenagakerjaan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan konten RUU Cipta Kerja. Hal itu, misalnya, isu pengupahan, tenaga kerja asing, pekerjaan paruh waktu, jam kerja, dan masalah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Soal upah minimum, misalnya, rencana menghapus ketentuan penetapan upah minimum oleh pemerintah kabupaten atau kota mendapat penolakan dari 81,6 persen responden. Kekecewaan juga disampaikan 71,1 persen responden terkait materi RUU yang menghapus larangan pengusaha membayar upah lebih rendah daripada standar upah minimum.

Selain soal upah minimum, di RUU Cipta Kerja juga disebutkan pencabutan aturan terkait mekanisme dan perjanjian pekerjaan paruh waktu yang dilarang untuk pekerjaan bersifat tetap. Materi perubahan regulasi terkait pekerjaan paruh waktu ini cenderung ditolak responden. Enam dari 10 responden menolaknya.

Selain soal jenis pekerjaan paruh waktu, perubahan waktu kerja dalam materi RUU juga mendapat sorotan. Separuh lebih responden (57,5 persen) tidak setuju jika aturan jam kerja diubah menjadi paling lama 8 jam sehari atau 40 jam dalam seminggu. Aturan jam kerja ini tidak lagi menyebutkan jumlah hari kerja selama lima atau enam hari kerja dalam sepekan, seperti tertuang dalam UU No 13/2003.

Tak hanya waktu kerja, penambahan lembur dalam RUU Cipta Kerja juga dianggap tidak lazim. Sebagian besar responden cenderung kurang menerima jika waktu lembur maksimal dapat dilakukan selama 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Padahal, berdasarkan UU No 13/2003, waktu lembur sehari tidak lebih dari 3 jam dan 14 jam dalam seminggu.

Hal lain yang juga memicu kontroversi adalah terkait penghapusan sejumlah pasal soal pemutusan hubungan kerja. Salah satunya terkait penghapusan pengupayaan pengusaha, pekerja, atau serikat pekerja agar dapat mencegah PHK.

Rencana penghapusan aturan ini dinilai tidak relevan oleh 77,3 persen responden. Terlebih lagi jika kemudian hal ini diikuti dengan aturan pengurangan pembayaran uang pesangon. Sebagian besar responden (83,8 persen) menolak hal tersebut.

Iklim investasi

Terlepas dari sejumlah penolakan terkait perubahan aturan dalam RUU Cipta Kerja, responden sebenarnya merespons positif tujuan besar dari regulasi ini. Menciptakan iklim investasi yang lebih baik yang kemudian meningkatkan perekonomian nasional adalah hal yang diapresiasi responden.

Terbukti, sejumlah perubahan dari sisi lain direspons positif. Salah satunya terkait perizinan tenaga kerja asing yang dilakukan dengan persetujuan pemerintah pusat. Separuh lebih responden setuju dengan hal itu.

Dalam UU Ketenagakerjaan, proses izin ini menjadi wewenang kementerian atau pejabat terkait. Dengan melibatkan pemerintah pusat, pengawasan dan pengendalian tenaga kerja asing dalam negeri dapat lebih optimal karena dilakukan satu pintu.

Di sisi yang lain, pekerja melihat aturan ketenagakerjaan saat ini lebih aman bagi kepentingan mereka dibandingkan dengan draf RUU Cipta Kerja. Namun, dari sisi pelaku bisnis dan pemodal, berbagai aturan ketenagakerjaan, terutama terkait upah, menjadikan Indonesia tak punya posisi tawar untuk mampu berdaya saing. Dampaknya, investor memilih membangun industri di luar Indonesia.

Indeks Kemudahan Berbisnis tahun 2020 menempatkan Indonesia di peringkat ke-73 dari 190 negara. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia masih berada jauh dari Singapura (peringkat ke-2) dan Malaysia (peringkat ke-12). Bahkan, peringkat Indonesia masih di bawah Thailand (peringkat ke-21), Brunei Darussalam (peringkat ke-66), dan Vietnam (peringkat ke-70).

Indeks Kemudahan Berbisnis di Indonesia masih berada di bawah negara-negara lain di Asia Tenggara. Indeks Kemudahan Berbisnis tahun 2020 menempatkan Indonesia di peringkat ke-73 dari 190 negara. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia masih berada jauh dari Singapura (peringkat ke-2) dan Malaysia (peringkat ke-12). Bahkan, peringkat Indonesia masih di bawah Thailand (peringkat ke-21), Brunei Darussalam (peringkat ke-66), dan Vietnam (peringkat ke-70).

Baca Juga:PEKERJA DIMINTA BERI MASUKAN TERKAIT RUU CIPTA LAPANGAN KERJA

Dari kondisi antara kepentingan menciptakan iklim investasi yang lebih baik di satu sisi dan kepentingan untuk tetap mempertahankan hak-hak kesejahteraan pekerja di sisi lain dibutuhkan jalan tengah untuk menjembataninya.

Bagaimanapun, lahirnya pro dan kontra terkait RUU Cipta Kerja tidak lepas dari minimnya sosialisasi substansi RUU itu kepada publik, sebelum draf itu disampaikan pemerintah kepada DPR.

Jajak pendapat Kompas menangkap, publik pada dasarnya memahami tujuan pemerintah untuk membangun iklim investasi yang lebih baik melalui RUU Cipta Kerja. Harapan publik, transparansi dan partisipasi lebih dioptimalkan agar tujuan regulasi ini tetap terjaga tanpa harus mengabaikan hak-hak pekerja. Semoga saja.

KOMPAS, 24022020 Hal. 4.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.