JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau Omnibus Law Perpajakan memuat rencana itu. Pengenaan pajak penghasilan atas kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik oleh perusahaan asing diharapkan menciptakan kesetaraan di sektor perpajakan.
Aturan pemajakan dibedakan dalam tiga kondisi, yaitu perusahaan asing yang telah berbentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, perusahaan yang tidak dapat jadi BUT karena ada perjanjian pajak berganda (tax treaty), serta perusahaan yang belum jadi BUT.
Pedagang, penyedia jasa, dan atau pelaku perdagangan melalui sistem elektronik luar negeri yang sudah jadi BUT tetap dikenai pajak penghasilan (PPh) sesuai Undang-Undang PPh yang berlaku.
Adapun PPh bagi pelaku usaha asing yang tidak dapat jadi BUT atau belum jadi BUT didasarkan pada kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence). Ketentuan itu mempertimbangkan omzet usaha, penjualan di Indonesia, dan jumlah pengguna aktif media digital. Kedua subyek pajak luar negeri itu akan dikenakan jenis pajak baru, yaitu pajak transaksi elektronik.
Mereka dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memenuhi kewajiban pajak. Adapun besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak transaksi elektronik itu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Selain PPh, pelaku usaha luar negeri dan domestik yang melakukan transaksi perdagangan elektronik di Indonesia dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang atau jasanya. Bagi pelaku usaha luar negeri, mereka bisa menunjuk perwakilan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN.
Potensi ketidakpastian
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo berpendapat, Indonesia mengambil langkah unilateral (kebijakan di luar konsensus bersama Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD dan G20) dalam pemajakan transaksi elektronik sebagaimana tercemin dalam klausul-klausul RUU. Langkah unilateral ini bertentangan dengan sikap Indonesia yang selama ini multilateral dalam OECD dan G20.
Jika tujuan RUU Perpajakan untuk meningkatkan daya tarik investor, pengenaan jenis pajak baru berpotensi menimbulkan ketidakpastian.
“Pengenaan pajak transaksi elektronik adalah jenis pajak baru yang mencerminkan langkah unilateral Indonesia. Jenis pajak ini mirip digital service tax di negara-negara Eropa,” ujar Prastowo, yang dihubungi di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo
Menurut dia, ke depan Indonesia mesti mengantisipasi langkah unilateral pemajakan transaksi elektronik. Jika tujuan penyusunan RUU Perpajakan untuk meningkatkan daya tarik investor, pengenaan jenis pajak baru berpotensi menimbulkan ketidakpastian. Kondisi itu bisa diantisipasi dengan kejelasan arah pemajakan Indonesia.
Pemajakan atas transaksi elektronik oleh pelaku usaha dalam maupun luar negeri harus cermat. Sebelum menarik pajak, otoritas perlu memiliki data besar potensi wajib pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Pengumpulan data dilakukan bertahap tanpa menimbulkan keributan publik.
“Tujuannya jangan langsung ekstensifikasi, tetapi membangun basis data baru melalui pendataan NPWP atau Nomor Induk Kependudukan,” kata Prastowo.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo mengatakan, pemerintah masih kesulitan memajaki transaksi elektronik antarnegara. Rezim PPN yang ada tidak mewajibkan subyek pajak dalam negeri dan luar negeri untuk melakukan pemungutan dan penyetoran PPN atas transaksi elektronik.
Persoalan pungutan PPN lebih pelik terhadap barang tidak berwujud, misalnya, jasa hiburan yang ditawarkan perusahaan digital raksasa berbasis internet (over the top/OTT). “Pemerintah merumuskan bagaimana transaksi elektronik barang tak berwujud dari luar negeri dapat dikenai PPN, seperti di Australia dan Singapura,” kata Suryo.
Menurut Suryo, rezim PPh yang kini berlaku di Indonesia masih berdasarkan kehadiran fisik perusahaan atau orang pribadi. Oleh karena itu, pemerintah merevisi rezim PPh dalam RUU menjadi berdasarkan ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Tujuannya untuk menciptakan keadilan berusaha dan membagi hak pemajakan atas transaksi ekonomi di Indonesia.
Adaptasi
Terkait rencana itu, Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana menyatakan, perusahaan mengubah mekanisme penagihan dengan menggunakan mata uang lokal bagi pelanggan produk iklan Google yang mendaftar dengan alamat penagihan di Indonesia. “Perubahan ini merupakan awal dari model bisnis baru untuk mendukung perkembangan usaha kami di Indonesia,” ujarnya.
Sementara Lead Communication Facebook Indonesia, Ai Putri Dewanti menyatakan, pihaknya belum dapat menanggapi rencana tersebut. “Saat ini, belum ada tanggapan atau informasi yang dapat kami berikan terkait hal tersebut,” katanya.
Baca juga: Enam Substansi Pokok ”Omnibus Law” Perpajakan
Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA), Ignatius Untung menyatakan, selama pemerintah telah melakukan kajian komprehensif terhadap keberlangsungan usaha dagang di platform digital, pihaknya mendukung penuh langkah pemerintah terkait usaha e-dagang.
Menurut dia, pemerintah juga perlu memikirkan insentif kepada pelaku e-dagang berskala mikro dan kecil agar mereka tidak beralih dari pasar daring ke pasar luring. Komponen atas penilaian pengenaan pajak perlu ditimbang, sehingga tarif pajaknya kompetitif namun berimbang.
“Kalau kebijakan ini akan berlaku adil, baik untuk pelaku e-dagang besar maupun kecil, baik lokal maupun luar negeri maka asosiasi akan akomodatif. Kami memberikan segala bentuk data transaksi keuangan e-dagang,” ujar Untung.
Untung mengingatkan, bila kebijakan pajak perdagangan melalui sistem elektronik rancu, maka hal ini akan menjadi masalah. Pasalnya, pelaku usaha e-dagang cenderung akan mempertimbangkan keberlangsungan usaha mereka di platform digital.
Baca juga: ”Omnibus Law” dan Reformasi Pajak
“Jangan sampai ada kesan menekan, yang penting ada kajian komprehensif soal dampak kebijakan ini terhadap UMKM (usaha mikro kecil menengah) yang berada di platform digital,” ujarnya.
Pemajakan terhadap transaksi daring telah disinggung dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau PMSE. Pasal 8 PP itu menyatakan, mekanisme perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku terhadap kegiatan usaha PMSE.
Pasal 11 regulasi itu menyebutkan, pelaku usaha dalam kegiatan PMSE wajib memenuhi persyaratan yang berlaku, salah satunya memiliki nomor pokok wajib pajak. Adapun pasal 25 mewajibkan setiap penyelenggara PMSE (pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan) wajib menyimpan data transaksi keuangan.
Perhatikan mekanisme
Sebagai seorang pedagang daring yang tinggal di Bandung, Maryam Zakkiyyah (25) berharap, pemerintah memperhatikan mekanisme atau tata perpajakan dalam rantai produk. Menurutnya, barang yang dia jual berpotensi sudah dikenakan pajak pada mata rantai sebelumnya.
Selain itu, Maryam menyoroti aspek skala bisnis terhadap besaran pajak. “Saya mendukung pemajakan terhadap transaksi daring. Namun, besaran pajak tersebut sebaiknya bersifat proporsional terhadap skala usaha,” katanya.
Andrea Dian P (23), penjual daring yang tinggal di Jakarta Timur, menyoroti aspek stabilitas keberjalanan usaha terhadap mekanisme perpajakan. Menurutnya, apabila usaha daring seseorang belum tergolong settle, transaksi usaha itu tidak usah dikenakan pajak.
Selain itu, pedagang pengguna platform digital berupaya mencari jalan agar pajak yang diberlakukan tidak mengganggu arus kas usaha mereka. Namun di sisi lain mereka menbutuhkan sosialisasi terkait rencana penarikan pajak perdagangan melalui sistem elektronik.
Khadija (26) penjual karya seni grafis dan produk turunannya melalui platform digital ini mengaku belum mendapatkan sosialisasi dari platform e-commerce lokal terkait rencana penarikan pajak digital tersebut. Menurut dia besaran pemotongan 10 persen cukup besar dan bisa memangkas margin keuntungan dari produk yang ia jual.
Namun ia mengaku tidak terlalu ambil pusing dengan pajak yang dipotong langsung oleh platform e-commerce tempat ia membuka lapak jualan, karena dia dapat beraloh ke platform lain seperti media sosial dan jejaring situs yang selama ini juga telah dijalankannya. Terlebih lagi, pangsa pasarnya lebih besar dari luar negeri ketimbang dalam negeri.
Baca juga : ”Omnibus Law” Berpotensi Tumbuhkan Investasi 2020
“Jadi justru kalau yg lokal kena pajak aku ngga terlalu masalah karena pasarku lebih besar di luar. Tapi kalau yang (dijual) ke luar juga kena pajak saat pengiriman (ekspedisi), baru itu bakal ngaruh banget,” ujar Khadija.
Sementara itu Nia (30) penjual kerudung pengguna platform e-commerce berniat untuk membebankan pajak tersebut kepada pembeli sehingga tidak terlalu memengaruhi margin keuntungannya. Hal ini terpaksa ia lakukan karena pembelinya mayoritas berada di platform e-commerce.
“Sebenarnya masih kurang tahu mekanismenya seperti apa, tapi mungkin pajak alan dibebankan ke customer dengan risiko customer akan berkurang karena kenaikan harga,” ujarnya.
KOMPAS, 19022020 Hal. 17.