Perhatikan Aspirasi Pemda

JAKARTA, KOMPAS— Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja bakal menarik sejumlah kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Pemerintah daerah meminta adanya pembahasan dan kajian mendalam dalam membahas rencana penarikan kewenangan tersebut.

Sementara itu, terkait isi Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan peraturan pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah undang-undang, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyatakan, kemungkinan ada kesalahan ketik pada pasal itu.

Penelusuran Kompas terhadap isi RUU Cipta Kerja, Senin (17/2/2020), sejumlah kewenangan pemerintah daerah (pemda) yang ditarik ke pusat ini antara lain terkait pemberian izin rumah potong hewan dan peran pemda dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selain itu, dari kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), ada sejumlah pasal lain dalam RUU Cipta Kerja yang harus ditinjau ulang karena akan membangun konstruksi pemda tidak sejalan dengan konstitusi, bertentangan dengan konsep otonomi daerah, dan bertentangan dengan ketentuan hukum lainnya. Pasal itu adalah Pasal 163, Pasal 164, dan Pasal 166.

Pasal 166, misalnya, menyebutkan, peraturan presiden bisa membatalkan peraturan daerah (perda). Ketentuan ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XIV. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini menyatakan, kewenangan pembatalan perda ada di Mahkamah Agung (MA).

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, di Bandung, kemarin, mengatakan, hingga saat ini belum ada penjelasan dari pusat terkait RUU Cipta Kerja. Pihaknya pun menantikan penjelasan itu.

Menurut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, penarikan sejumlah kewenangan daerah ke pusat harus dibahas secara terbuka dengan sejumlah pihak, disimulasikan, dan disetujui bersama. Simulasi ini penting untuk menguji kecepatan dan keefektifan sentralisasi kewenangan tersebut.

”Jika berdasarkan analisis, hitungan, kajian, dan simulasinya, kebijakan tersebut dinilai memungkinkan (untuk mempercepat investasi), saya tidak keberatan,” katanya.

Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru pun tidak keberatan jika penarikan kewenangan bertujuan untuk mempercepat investasi. ”Yang penting tidak meninggalkan daerah begitu saja,” ujarnya.

Pusat harus menghormati desentralisasi.

Namun, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengingatkan, resentralisasi kewenangan berseberangan dengan desentralisasi yang telah diterapkan sejak era Reformasi. Apabila pusat tidak hati-hati, pengambilalihan wewenang itu dapat menimbulkan gejolak di daerah. ”Pusat harus menghormati desentralisasi,” ujarnya.

Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng pun mengingatkan relasi pusat dan daerah bukanlah pendelegasian wewenang dari atasan ke bawahan, melainkan penyerahan urusan ke daerah. ”Namun, dengan RUU Cipta Kerja, semua diterabas habis dan urusan daerah didelegasikan kepada Presiden. Terjadi arus balik otonomi daerah,” ucap Robert.

Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin menyampaikan, DPR akan meminta klarifikasi kepada pemerintah terkait pembatalan perda melalui mekanisme peraturan pemerintah saat pembahasan RUU itu kelak di DPR.

Salah ketik

Selain tentang resentralisasi kewenangan, pasal lain yang berpotensi menimbulkan polemik di RUU Cipta Kerja adalah Pasal 170. Dalam pasal itu disebutkan PP dapat digunakan untuk mengubah undang-undang.

Terkait hal ini, Yasonna mengatakan, kemungkinan ada kesalahan dari pasal tersebut. Saat ditanya apakah ada salah ketik, ia membenarkan. ”Ya, ya. Nanti enggak bisa dong, PP melawan undang-undang, peraturan perundangan itu,” katanya.

Menurut Yasonna, mekanisme itu seharusnya untuk mencabut peraturan daerah. Dengan demikian, perda mengikuti aturan perundangan yang lebih tinggi.

Namun, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang terjadi adalah ada salah pengertian dalam membaca pasal itu. ”Membacanya saja yang belum pas,” katanya.

 

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menjelaskan, inti dari Pasal 170 tetap menghormati peran DPR dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi. Ini karena pembentukan PP dilakukan setelah berkonsultasi dengan DPR.

”Jika harus dilakukan dengan mengubah undang-undang, akan memerlukan waktu dan proses, antara lain mengusulkan perubahan program legislasi nasional dan pembahasan dengan DPR,” ucapnya.

Sementara itu, saat pertemuan dengan wartawan, Airlangga mengatakan, pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja masih bisa berubah saat pembahasan di DPR. ”Kita masih tetap bisa dinamis dalam pembahasan di DPR,” ujarnya.

Bersamaan dengan pembahasan ini, sosialisasi rancangan undang-undang kepada publik bakal dilakukan. Dia juga menekankan, pemerintah telah bertemu dengan hampir semua wakil kelompok buruh.

 

(BOW/DEA/TAM/XTI/RAM/IDR)

KOMPAS, 18022020 Hal. 1.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.