RUU CIPTA KERJA: Pembahasan Jangan Tergesa-gesa

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersama DPR hendaknya tidak tergesa-gesa menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal itu disebabkan banyak materi yang butuh pembahasan mendalam karena banyak ketentuan di dalam RUU itu yang perlu dicermati dampaknya atau berpotensi bertentangan dengan produk hukum lain.

Dari kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang dirilis pada Minggu (16/2/2020), misalnya, Pasal 166 Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang menyebutkan peraturan presiden bisa membatalkan peraturan daerah (perda) bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat menyatakan, kewenangan pembatalan perda berada di Mahkamah Agung.

Kemudian Pasal 170 RUU Cipta Kerja, yang mengatur peraturan pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah undang-undang, bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 7 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan UU. Dengan demikian, PP tidak bisa membatalkan atau mengubah UU.

Baca juga : Investasi Jangan Abaikan Kepentingan Buruh

Selain itu, juga amat banyak peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja, yaitu mencapai 493 PP, 19 peraturan presiden, dan 4 perda. Ini dinilai kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan Presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan.

Dengan banyaknya persoalan itu, Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi mendorong pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa menyelesaikan RUU Cipta Kerja. Lebih baik pembahasan berlangsung hati-hati dan mendalam daripada cepat tetapi melahirkan undang-undang yang prematur, menuai masalah, dan berujung pada uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Omnibus law ini terkesan hendak mengurangi peran undang-undang dan memberikannya kepada presiden. Ini berbahaya bagi konsep pembatasan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi, pun mendorong agar penyelesaian omnibus law itu tidak tergesa-gesa.

Fahmi juga menyoroti banyaknya delegasi pengaturan di RUU Cipta Kerja ke dalam PP. ”Omnibus law ini terkesan hendak mengurangi peran undang-undang dan memberikannya kepada presiden. Ini berbahaya bagi konsep pembatasan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945,” tuturnya.

Baca juga : Jaga Daya Tawar Buruh

Sejumlah fraksi di DPR juga tidak ingin pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan tergesa-gesa. Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR Taufik Basari mengatakan, target waktu 100 hari dari pemerintah tidak akan dijadikan pertimbangan utama.

Sekretaris Fraksi PKS di DPR Ledia Hanifa Amaliah menekankan, pembuatan undang-undang tidak boleh serampangan sehingga dibutuhkan waktu yang cukup.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional di DPR Saleh Partaonan Daulay. ”Jangan tiba-tiba langsung selesai seolah-olah apa yang diberikan pemerintah sudah final,” kata Saleh.

Sebelumnya, pemerintah menargetkan pembahasan RUU selesai pada pertengahan Mei 2020 (Kompas, 15/2/2020). Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto saat dihubungi, Minggu, berharap DPR segera mengagendakan rapat badan musyawarah dan paripurna untuk memulai pembahasan RUU Cipta Kerja. Terkait mekanisme pembahasan selanjutnya, dia menyerahkannya kepada DPR.

Saat ini ada tiga opsi mekanisme, yakni oleh Badan Legislasi, membentuk panitia khusus, atau menyerahkan pembahasan ke komisi sesuai kluster isu masing-masing.

Baca juga : Kembali Berunjuk Rasa, Buruh Tak Ingin Dikorbankan demi Investasi

Untuk perbaikan
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja akan transparan. ”Tentu publik harus tahu dan bisa memberikan pendapat. Nah, nanti DPR, kan, melibatkan masyarakat dengan menggelar RDPU (rapat dengar pendapat umum), memang harus diproses seperti itu,” kata Wapres.

RUU Cipta Kerja, lanjut Wapres, dibuat untuk mempermudah penciptaan lapangan kerja dan menghilangkan regulasi yang menghambat investasi. ”Jadi, intinya untuk perbaikan,” ujar Wapres.

KOMPAS, 17022020 Hal. 1.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.