Tarif Listrik Naik, Pengusaha Naikkan Harga

JAKARTA – Pemerintah menaikkan tarif listrik mulai 1 Juli ini untuk enam golongan pelanggan, termasuk industri nonpublik dan pelanggan rumah tangga. Para pengusaha pun siap-siap menaikkan harga jual produk.
Menurut Direktur Perencanaan dan Pembinaan Afiliasi PLN Murtaqi Syamsuddin, kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) hingga harga keekonomian akan mengurangi porsi pendapatan PLN yang berasal dari subsidi. Hal ini membuat kondisi keuangan perseroan membaik karena ketergantungan terhadap subsidi makin kecil. Kondisi tersebut mendorong lembaga pemeringkat menaikkan rating PLN.
Menanggapi kenaikan tarif listrik tersebut, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy mengungkapkan, kenaikan TTL sangat membebani industri garmen di Tanah Air. Sebab, biaya listrik menguasai 25% dari total biaya produksi.
“Kenaikan tarif mendongkrak biaya produksi industri tekstil 9-13%. Kenaikan biaya produksi ini tentu tidak mungkin kami yang tanggung, kami akan bebankan ke konsumen. Artinya, akan ada kenaikan harga produk, dan sedang kami hitung,” kata dia kepada Investor Daily, tadi malam. Ernovian mengungkapkan, bisa jadi kenaikan TTL akan membuat sebagian industri garmen gulung tikar.
Pada 2013, akibat kenaikan TTL yang dibarengi  kenaikan upah minimum provinsi (UMP) membuat banyak perusahaan takstil bangkrut dan beralih ke perusahaan peternakan ayam. Itulah sebabnya, API berharap agar UMP tahun ini tidak banyak berubah agar industri tekstil tidak terpuruk.
Menurut Ernovian, kenaikan TTL mencerminkan pemerintah tidak memiliki perencanaan. Setiap tahun, TTL selalu dinaikkan. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi pengusaha karena membuat rencana lima tahunan perusahaan (jangka panjang) kacau balau. “Harusnya, pemerintah mencari solusi, jangan selalu membebankan masalahnya ke pengusaha. Kalau seperti ini terus, daya saing produk tekstil nasional pun turun. Dampaknya, produk impor akan membanjiri pasar Indonesia karena lebih murah. Apalagi, Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun depan,” kata dia.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, alasan pemerintah menaikan TTL bagi kelompok industri tidak rasional, kurang tepat, dan tidak adil. Kenaikan TTL menjadi alat politik pemerintah dengan mengesankan melindungi kaum papa. Tapi nyatanya justru kebijakan itu akan membebani kaum papa. “Bagi pemerintah, 39 juta pelanggan rumah tangga harus dilindungi dan TTL-nya tidak naik. Padahal, nantinya mereka justru yang menanggung kenaikan harga barang akibat kenaikan TTL industri,” ungkap dia.
Menurut Tutum, hampir semua sektor ritel terdampak kenaikan TTL tersebut. Kenaikan TTL akan menaikkan biaya pokok produksi sektor ritel sekitar 5-10%. Dengan kondisi tersebut, pengusaha ritel akan mempertahankan margin. Artinya, apabila pemasok menaikkan harga, harga jual barang ritel pun akan dinaikkan.
Menurut Tutum, kenaikan TTL akan menurunkan daya saing produk dalam negeri. Kondisi ini sangat ironis saat MEA berlaku tahun depan. Karena itu, dia berharap pemerintah mencari solusi jangka panjang atas kondisi listrik di Tanah Air mengingat listrik merupakan urat nadi bagi sebagian besar industri produktif.
“Pemerintah juga harus mengecek, kenapa PLN tidak bisa menjual listrik murah bagi industri seperti di Jepang. Ini kan karena ada inefisiensi di PLN, bahan bakar pun dibeli dengan harga internasional. Jadi, pemerintah harus benahi ini dulu, baru bisa membebankan pengusaha dengan kenaikan TTL,” ungkap dia.
Karena itu, baik Ernovian maupun Tutum berharap pemerintahan yang baru bisa mengatasi persoalan tersebut. Pemerintahan baru harus bisa membuat PLN  menyediakan listrik murah bagi industri. (hg)
Sumber: Investor Daily. 01 Juli 2014. hal: 1

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Leave a Comment