OTORITAS JASA KEUANGAN: “Quo Vadis” Otoritas Jasa Keuangan

Usulan Eriko Sotarduga, Wakil Ketua Komisi XI DPR agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibubarkan dan fungsi dikembalikan ke Bank Indonesia, sejalan dengan pemikiran Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia (2010-2013).

Dalam memoarnya Bank Sentral Itu Harus Membumi, Nasution mengatakan, kebijakan moneter yang bersifat makroprudential harus didukung informasi perbankan yang akurat dan realtime. Apa jadinya kalau pengawasan perbankan dipisahkan dari BI? Saya tidak keberatan dikatakan menjilat ludah sendiri ketika mengatakan lebih baik merancang ulang sistem dan kelembagaan pengawasan perbankan ketimbang membentuk OJK.

Darmin Nasution memang salah satu arsitek penyusunan RUU OJK sejak RUU tersebut dipertimbangkan pada tahun 1999 (lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI). Saat itu ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Lembaga Keuangan maupun Ketua Badan Pengawas Pasar Modal, Kementerian Keuangan.

Usulan pembubaran OJK ini muncul di tengah karut marut kinerja lembaga keuangan, khususnya sektor asuransi dan perbankan, seperti Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputra 1912, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan PT Bank Muamalat, Tbk.

Saat ini OJK sedang menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara No 25/PUU-XII/2014 atas permohonan Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa yang mempersoalkan konstitusionalitas independensi OJK (Kompas, 23 Agustus 2019).

Uji materi ini sedikit banyak menimbulkan kegalauan di kalangan industri keuangan lantaran melibatkan total aset serta kapitalisasi pasar modal Rp 17.000 triliun. Belum lepas dari ingatan, bagaimana putusan MK membubarkan BP Migas. Apakah OJK akan bernasib seperti OJK (Financial Service Authority, FSA) Inggris? FSA dibubarkan berdasarkan Financial Security Act 2012.

Uji materi ini sedikit banyak menimbulkan kegalauan di kalangan industri keuangan lantaran melibatkan total aset serta kapitalisasi pasar modal Rp 17.000 triliun.

Kontroversi OJK

Pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR ini menunjukkan ada sejumlah orang tidak menghendaki OJK. Bisa jadi ini merupakan klimaks dari para pelaku pasar yang berkeberatan atas pengenaan pungutan (levy) OJK kepada industri jasa keuangan 0,03 persen dari aset industri jasa keuangan.

Baca Juga: Paradoks OJK

Dalam usulan pembubaran OJK ini ada beberapa skenario. Pertama, mengembalikan pengaturan dan pengawasan perbankan ke BI. Hal ini sesuai amanat pasal 8 huruf “c” dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, serta dengan mengubah dari OJK IKNB (Industri Keuangan Non-Bank) ke lembaga baru bernama Otoritas Pengaturan Prudensial (Prudential Regulation Authority, PRA) seperti di Inggris. Dengan demikian, anggaran akan aman di bawah BI.

Kedua, mengembalikan ke regulator semula, yaitu pengaturan dan pengawasan perbankan ke BI sesuai UU No. 23 Tahun 1999. Dalam skenario ini, pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan non-bank dikembalikan ke Bapepam-LK, Kementerian Keuangan dengan konsekuensi anggaran di bawah APBN.

Skenario kedua ini hampir tidak mungkin diimplementasikan, bukan hanya karena Bapepam dan Lembaga Keuangan sudah dibubarkan dengan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2014, tetapi juga karena pegawai OJK berimplikasi pensiun sebagai pegawai Kementerian Keuangan.

Ketiga, mengembalikan pengaturan dan pengawasan bank kembali ke BI, sedangkan pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan non-bank oleh lembaga independen di luar Kementerian Keuangan. Bursa Efek Indonesia bergabung di situ.

Baca Juga: Lebih Imbang Melihat OJK

Biaya transaksi pasar modal yang selama ini dilakukan BEI akan menggantikan pungutan OJK dari aset industri jasa keuangan, yang berlaku sejak 12 Februari, 2014.

Pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR ini menunjukkan ada sejumlah orang tidak menghendaki OJK.

Skenario terakhir adalah posisi “stand still” atau tidak berubah, OJK menjalankan tugas dan fungsinya sesuai amanat UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK. Anggaran dipenuhi dari pungutan ke industri untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset, dan kegiatan pendukung.

Kawai dan Pomerleano (2010) mengusulkan agar setiap negara memiliki suatu regulator stabilitas sistem keuangan yang kuat dan efektif dalam rangka pencegahan krisis, pengelolaan, dan resolusi. Menurut Camichael dan Pomerleano (2003), diperlukan struktur dan organisasi–regulator perbankan, lembaga keuangan, dan pasar modal. Apakah struktur dan organisasi merupakan satu entitas tunggal atau kolektif, terserah masing-masing negara.

Masciandaro, Quintyn, dan Taylor (2008) yang mengukur tingkat independensi dan akuntabilitas pengawasan di 55 negara, menjelaskan persamaan dan perbedaan antara pengawasan industri jasa keuangan oleh bank sentral dan di luar bank sentral. Analisis empiris menunjukkan bahwa kualitas tata kelola sektor publik memainkan peran yang menentukan dalam membangun pengaturan akuntabilitas, lebih dari pengaturan independensi. Dengan demikian, keputusan mengenai tingkat independensi dan akuntabilitas tidak berkorelasi satu sama lain.

Ketiganya menyimpulkan, kemungkinan membangun pengaturan tata kelola yang sesuai untuk pengawasan lebih baik adalah ketika pengawas berada di luar bank sentral.

Pada prinsipnya, peran bank sentral suatu negara adalah mendorong stabilitas sistem keuangan. Kawai, Masahiro dan Michael Pomerleano (2010)menyebutkan, dari 84 negara yang dibahas, 30 memiliki satu pengawas prudensial yang terintegrasi, 20 memiliki agensi pengawasan dalam bentuk dua tipe financial intermediari, dan 34 memiliki pengawas multisektor. Bank sentral 48 negara (57% dari total) memiliki otoritas pengawasan perbankan.

Dari 48 negara tersebut, 39 di antaranya (81%) merupakan negara berkembang. Artinya, dalam negara yang memiliki pengawasan multisektor, bank sentral hampir seluruhnya memiliki otoritas pengawasan.

Pada prinsipnya, peran bank sentral suatu negara adalah mendorong stabilitas sistem keuangan.

Model alternatif

Ada beberapa model regulasi stabilitas sistem keuangan, termasuk yang sepenuhnya terintegrasi. Di Singapura; model dipimpin oleh bank sentral seperti Inggris pasca terbentuknya PRA; dan model dengan komite koordinasi (council).
Meskipun model yang sepenuhnya terintegrasi bisa jadi ideal dari sudut pandang penguatan stabilitas sistem keuangan, pembentukannya banyak tidak dikehendaki.

Model yang dipimpin oleh bank sentral seperti Inggris saat ini juga mungkin, namun mengandung risiko intervensi pemerintah khususnya ketika pengelolaan krisis dan resolusi, yang mengancam independensi dari bank sentral.

Ada beberapa bentuk yang dapat dipilih untuk memutuskan bagaimana regulator stabilitas sistem keuangan, termasuk yang sepenuhnya terintegrasi seperti Financial Service Agency Jepang, yang dipimpin oleh bank sentral seperti UK pasca terbentuknya PRA, dan komite koordinasi (Indonesia).

Terlepas dari usulan DPR agar OJK dibubarkan, lebih baik kita mengajak semua pemangku kepentingan mendorong kredibilitas lembaga OJK yang independen, berintegritas, dan penuh amanah. Biarkanlah OJK sendiri yang menentukan, bukan karena keputusan MK, bukan pula karena Badan Pemeriksa Keuangan, Ombudsman, dan DPR. Kalau OJK secara internal benar-benar solid dan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan, OJK akan tidak tergoyahkan.

Terlepas dari usulan DPR agar OJK dibubarkan, lebih baik kita mengajak semua pemangku kepentingan mendorong kredibilitas lembaga OJK yang independen, berintegritas, dan penuh amanah.

Dalam hal ini penulis setuju dengan Darmin Nasution, yang mengatakan bahwa ketika keputusan politik sudah diambil dan OJK sudah terbentuk, keputusan itu harus didukung penuh agar sistem pengawasan yang dibentuk, bisa bekerja dengan baik.

(Nugroho Agung Wijoyo Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan dan Anggota Tim Kerja Penyusunan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan (2000-2011))

KOMPAS, 04022020 Hal. 6.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.