Salah satu perubahan terhadap sistem pemungutan pajak yang dicanangkan untuk diatur dalam Omnibus Law adalah penerapan asas teritorial dalam pemungutan Pajak Penghasilan (PPh). Secara konseptual, asas ini menghendaki pemungutan pajak oleh negara hanya dilakukan atas obyek pajak yang bersumber (dalam konteks pajak personal, terutama PPh) atau berlokasi (dalam konteks pajak kebendaan, atau PPh atas penghasilan yang berkaitan dengan benda tak bergerak) di wilayah hukum suatu negara (Larking, 2005: 414).
Dalam konteks pemungutan PPh, asas ini sering diasosiasikan dengan asas sumber, yaitu asas yang menghendaki PPh dipungut oleh negara di mana penghasilan yang jadi obyek PPh bersumber.
Dalam praktiknya, asas sumber diterapkan secara simultan dengan asas domisili, yaitu asas yang menghendaki PPh dipungut terhadap orang-orang yang berdomisili di suatu negara atas penghasilannya dari seluruh dunia (worldwide income). Dengan demikian, asas teritorial pada hakikatnya asas sumber yang diterapkan secara ketat. Menurut PBB, pada 2014 hanya 13 negara menerapkan asas ini.
Derajat penerapan asas teritorial yang diatur pada Omnibus Law (OL) hanya dapat ditentukan setelah produk hukum itu diundangkan. Dalam menentukan derajat tersebut, ada empat kriteria yang dapat digunakan. Pertama, lingkup obyektif asas teritorial yang diterapkan dalam Omnibus Law. Dalam hal ini, pembentuk UU dapat menerapkan asas teritorial dalam memungut PPh atas seluruh atau sebagian jenis penghasilan yang menjadi obyek PPh.
Berdasar informasi yang dihimpun penulis, pengecualian penghitungan penghasilan luar negeri hanya dilakukan terhadap obyek PPh tertentu, yaitu dividen dan laba Bentuk Usaha Tetap (BUT). Selain itu, ada syarat khusus yang mengatur pengecualian penghitungan penghasilan luar negeri hanya dapat dilakukan jika penghasilan itu diinvestasikan kembali di Indonesia.
Artinya, asas teritorial diterapkan secara parsial dan dengan syarat. Dalam klasifikasi yang disusun Darussalam et al, penerapan asas teritorial yang demikian termasuk dalam varian ‘Territorial plus Remittance based.’
Kedua, penentuan sumber penghasilan. Prima facie, penerapan asas teritorial mendukung terciptanya pemungutan pajak yang sederhana, karena penghitungan PPh terutang hanya didasarkan pada obyek PPh yang bersumber dari dalam negeri. Namun, jika aturan penentuan sumber penghasilan (sourcing rule) tidak jelas, potensi sengketa pajak akan menjadi besar.
Bahkan, secara konseptual, ada tendensi negara-negara memformulasikan sourcing rule yang justru beririsan dan menimbulkan konflik dengan sourcing rule negara lain. Secara unilateral, Indonesia telah mengatur sourcing rule pada Pasal 24 Ayat (3) UU PPh.
Sengketa pajak dapat muncul ketika wajib pajak (WP) mengecualikan penghitungan penghasilan tertentu yang menurut interpretasinya merupakan objek PPh yang berasal dari luar negeri, sedangkan menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) penghasilan itu merupakan obyek PPh yang berasal dari dalam negeri.
Rangkaian sengketa pajak yang timbul dapat menggugurkan manfaat dari penerapan asas teritorial dalam pemungutan PPh, yaitu adanya repatriasi penghasilan luar negeri untuk memicu pertumbuhan ekonomi domestik (Darussalam et al). Oleh karena itu, penerapan asas teritorial yang baik ditandai adanya sourcing rule yang memiliki kepastian hukum dan relatif sederhana untuk diterapkan pada praktik di lapangan.
Oleh karena itu, penerapan asas teritorial yang baik ditandai adanya sourcing rule yang memiliki kepastian hukum dan relatif sederhana untuk diterapkan pada praktik di lapangan.
Penghindaran pajak
Ketiga, implikasi penerapan asas teritorial terhadap upaya pencegahan praktik penghindaran pajak. Sebagaimana diidentifikasi oleh Darussalam et al, penerapan asas teritorial dalam pemungutan PPh dapat menimbulkan distorsi alokasi biaya dan penghasilan, karena WP Badan Dalam Negeri yang merupakan perusahaan multinasional (sehingga memiliki entitas usaha di lebih dari satu negara) akan terpicu untuk memusatkan penghasilan di entitasnya di luar negeri.
Selain itu, terkait kriteria kedua, aturan penentuan sumber penghasilan (sourcing rule) yang tak jelas dapat mengakibatkan tergerusnya penerimaan negara akibat pengecualian penghitungan penghasilan yang berdasarkan karakteristiknya merupakan obyek PPh yang berasal dari dalam negeri. Oleh karena itu, penerapan asas teritorial yang baik ditandai adanya aturan yang mencegah penggerusan basis pajak (anti-base erosion rules) (Darussalam et al). Perlu juga penerapan aturan penentuan harga transfer (transfer pricing rules) yang ketat.
Keempat, penerapan asas teritorial dalam pemungutan PPh berpotensi menempatkan Indonesia sebagai negara yang menerapkan rezim perpajakan yang menguntungkan (preferential tax regime). Dalam Harmful Tax Practices – 2018 Progress Report on Preferential Regimes, OECD menekankan, suatu rezim perpajakan dapat dianggap menguntungkan jika memenuhi lima faktor sekunder, salah satunya pengecualian penghitungan penghasilan luar negeri.
Tentu, karena sifatnya yang sekunder, faktor ini hanya jadi bukti awal—dan bukan faktor utama yang dapat dengan sendirinya menentukan—ada atau tidaknya preferential tax regime. Oleh karena itu, penerapan asas teritorial yang baik ditandai adanya ketaatan pada paradigma dan ketentuan yang terdapat pada hukum pajak internasional, khususnya tentang harmful tax practices.
Akhirnya, pengaturan pemungutan pajak seyogianya memerhatikan aspek ketaatan pada asas pemungutan pajak dan kemudahan dalam penegakan hukum di lapangan.
Dalam konteks penerapan asas teritorial pada rancangan OL di bidang perpajakan, penulis sepakat dengan Prastowo (Kompas, 4/12) bahwa agenda OL di bidang perpajakan harus komplementer dan sinergis dengan agenda reformasi perpajakan, terutama perihal kesederhanaan dan standardisasi administrasi perpajakan. Kepercayaan WP terhadap sistem pemungutan pajak yang diterapkan DJP akan mendukung kesukarelaan WP memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(Adrianto Dwi Nugroho Dosen Hukum Pajak FH UGM, Mahasiswa Doktoral di University of Helsinki, Finlandia)
KOMPAS, 08012020 Hal. 7.