Pelonggaran Izin Diisyaratkan : Pembangunan Smelter Tak Tepat Waktu

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengisyaratkan akan adanya pelonggaran dalam pengaturan ekspor mineral serta pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral. Rendahnya harga komoditas tambang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah.

Pelonggaran tersebut akan diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemerintah kini tengah mematangkan rencana revisi itu, antara lain dengan meminta pendapat akademisi dalam penyusunan naskah akademik. Revisi UU No 4/2009 sudah dimasukkan ke Program Legislasi Nasional 2016.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, jika UU No 4/2009 tak direvisi, akan banyak aturan turunan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut. Ia mencontohkan soal pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Berdasarkan undang-undang tersebut, pembangunan smelter harus tuntas pada 2014. Namun, aturan turunannya memperpanjang hingga 2017.
“Saat UU No 4/2009 dimunculkan, harga komoditas mineral tambang sedang jatuh. Dampaknya, banyak sekali perusahaan tambang kesulitan keuangan. Menjadi pertanyaan, apakah realisasi smelter bisa tepat waktu atau tidak lantaran kemampuan keuangan perusahaan tambang sedang berat,” tutur Sudirman, Selasa (16/2), di Jakarta.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menambahkan, kemajuan pembangunan smelter yang saat ini sudah mencapai 80-90 persen tercatat sebanyak 25 unit. Dari jumlah itu, yang diperkirakan benar-benar rampung tahun ini sampai awal 2017 sebanyak enam atau tujuh unit saja.
“Dari data statistik, produksi bijih mineral saat ini jumlahnya dua kali lipat dari kapasitas smelter. Ini sedang dalam pembahasan, apakah harus ada penyesuaian antara produksi bijih dan daya serap smelter atau produksi (bijih) banyak lalu diserap orang luar sehingga nilai tambah yang kita dapat sedikit,” ucap Bambang.
Opsi pengunduran tenggat penyelesaian pembangunan smelter tentu akan berdampak pada pengaturan ekspor konsentrat mineral yang merupakan hasil pengolahan di dalam negeri. Aturan saat ini menyatakan, mulai 2017, seiring dengan tenggat pembangunan smelter, hanya mineral hasil pengolahan dan pemurnian yang boleh diekspor.

Perpanjangan izin

Tak hanya itu, pemerintah juga kembali mewacanakan perubahan pengajuan izin perpanjangan operasi perusahaan tambang yang semula paling cepat diajukan dua tahun sebelum kontrak berakhir menjadi lebih panjang. Usulan ini pernah dilontarkan Sudirman pada akhir 2014.
Saat itu diusulkan, kontraktor dapat mengajukan perpanjangan izin operasi secepatnya 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Pemerintah memberi alasan, investasi sektor tambang membutuhkan dana besar dan kepastian berinvestasi. Namun, hingga kini belum ada realisasi soal perubahan tersebut.
Selain itu, pemerintah juga memandang perlu adanya perubahan masa berlaku izin usaha pertambangan (IUP). Dalam UU No 4/2009, masa produksi IUP paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang dua kali, masing- masing 10 tahun. Pemerintah mengusulkan perubahan periode pemberian IUP disesuaikan dengan umur cadangan.
“Jika perlu, IUP diberikan selama umur cadangan yang ada sehingga tidak perlu ada perpanjangan setiap 10 tahun. Tetapi, dalam pelaksanaannya tetap dilakukan kajian secara rutin oleh pemerintah. Apabila tidak memenuhi syarat-syarat minimal yang ditentukan, bisa saja IUP tersebut ditinjau kembali, dibekukan, atau dicabut,” kata Sudirman.
Soal wacana usulan pemerintah tersebut, Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) Budi Santoso mengatakan, perlu kehati-hatian dalam menyikapi hal tersebut. Usulan pemerintah itu bisa menjadi dasar bagi PT Freeport Indonesia (PT FI) untuk memiliki hak operasi hingga 2041. Padahal, masa operasi PT FI akan berakhir pada 2021.
“Usulan tersebut ada bagusnya karena umur tambang bisa lebih panjang. Sebab, banyak cadangan tambang yang dipaksakan habis lebih cepat demi mengejar masa berlaku izin operasi,” ujar Budi.
Sementara itu, Direktur Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik mengatakan, apabila wacana itu benar-benar direalisasikan dalam revisi UU No 4/2009, validitas laporan cadangan bahan tambang harus benar-benar dijaga dan diawasi secara ketat. Pengawasan yang kendur akan memungkinkan data cadangan bahan tambang dimanipulasi. Hal ini dapat berujung pada kerugian negara.
“Untuk menjaga validitas data cadangan tambang, para ahli harus dilibatkan. Tugas untuk mendata secara valid cadangan bahan tambang itu sangat berat. Hasilnya harus benar-benar akurat dan tak boleh abal-abal,” ucap Ladjiman. (APO)
Kompas 17022016 Hal. 19

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Leave a Comment