JAKARTA, KOMPAS — Peran industri sebagai motor penggerak ekonomi belum tergantikan, terutama dalam menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa. Terkait dengan hal itu, pemerintah mengarahkan implementasi paket kebijakan untuk mendorong pertumbuhan industri.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, di Jakarta, Selasa (16/2), menegaskan hal itu dalam pembukaan Rapat Kerja Kementerian Perindustrian tahun 2016 bertema “Hilirisasi Pembangunan Industri Berbasis Sumber Daya Alam”.
Darmin mengingatkan, harga komoditas hasil sumber daya alam terus merosot sejak 2011 hingga saat ini. Pelemahan tersebut diperkirakan masih akan berlanjut karena perekonomian dunia belum menunjukkan tanda-tanda pulih kembali.
Di tengah perlambatan ekonomi dunia, Indonesia harus berupaya agar tak terseret arus pelambatan tersebut. “Tidak ada rumus lain, sektor industri harus bangkit kembali,” ujar Darmin.
Terkait dengan hal itu, pemerintah berkomitmen mengembangkan industri berorientasi ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, dan industri bahan baku barang modal, termasuk hilirisasi industri pengolah sumber daya alam.
Menurut Darmin, sejumlah lembaga di dunia menilai kondisi perekonomian Indonesia bagus karena mampu tumbuh 4,8 persen di tengah perlambatan ekonomi dunia. Meski peranannya belum pulih seperti sebelum krisis 1998, sektor industri tetap berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut.
Namun, Darmin mengakui, daya serap angkatan kerja tidak cukup optimal jika pertumbuhan ekonomi di bawah 6 persen. Deregulasi yang dibuat pemerintah melalui sepuluh paket kebijakan, termasuk revisi daftar negatif investasi, dirancang untuk meningkatkan peran industri menyerap tenaga kerja.
Dalam pengembangan pusat- pusat wisata baru, misalnya, modal asing dibuka untuk bisnis hotel bintang 1 atau 2. Langkah itu dipandang perlu karena kebutuhan investasi yang besar dan bersifat segera.
Namun, pada sektor perikanan diterapkan perlakuan berbeda. Pemerintah mengutamakan penangkapan ikan oleh pelaku usaha dengan modal dalam negeri. “Hal ini karena penangkap ikan dari luar negeri sukar dikendalikan. Jadi, untuk sektor perikanan agak beda desainnya,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, harga energi yang kompetitif wajib dipenuhi agar sektor industri di Indonesia berdaya saing.
Dari data Global Competitiveness Report 2015-2016, peringkat daya saing Indonesia di antara negara Asia Tenggara masih berada di bawah peringkat Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Merujuk pada data IHS Global Insight dan analisis McKinsey Global Institute, Indonesia berada di posisi ke-13 negara yang bergerak menuju negara pemanufaktur. “Posisi ke-13 di peta dunia ini tercapai meski masih terkendala, belum bangkit sepenuhnya sebagai pemanufaktur. Ini juga karena sumber daya alam melimpah,” kata Harjanto.
Peluang restoran
Berkaitan dengan perubahan aturan daftar negatif investasi (DNI), pemerintah sepakat memberlakukan 100 persen kepemilikan asing untuk 15 bidang usaha di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Salah satunya, usaha restoran yang semula hanya memperbolehkan porsi asing 51 persen kini sepenuhnya dibuka.
Ketua Komite Tetap Industri Makanan dan Protein Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Thomas Darmawan mengungkapkan, saat ini sudah banyak restoran asing berdiri. Dampak perubahan aturan DNI itu terasa di kota besar.
“Selera konsumen kan berbeda-beda. Penanaman modal asing restoran barangkali menyasar ke konsumen ataupun turis mancanegara. Investor tersebut juga menyewa tempat di Indonesia,” ujar Thomas.
Pengusaha restoran ini umumnya mempunyai modal melimpah. Jika pemerintah memberi lebih banyak insentif, hal itu dikhawatirkan akan menggeser perusahaan yang sudah berdiri sejak lama. Pemerintah perlu menjaga agar tidak terjadi dumping berlebihan.
Thomas berpendapat, perubahan aturan DNI itu akan memaksa pemasok bahan makanan dan minuman mempunyai sertifikat standar internasional.
“Itu akan memaksa pemain lokal, seperti pemasok industri pangan, perusahaan penyedia jasa gudang pendingin (cold storage), logistik, petambak, dan petani, memakai standar nasional maupun internasional. Mahal dan rumit. Jika kondisi itu susah dijalankan, pemerintah harus membuka keran impor juga,” ujarnya.
Jasa makanan mengambil porsi besar dalam rantai suplai makanan. The Economic Research Services (Februari 2011) menyebutkan, pemrosesan makanan menyumbang 18,6 persen dan jasa 33,7 persen dari total rantai industri makanan.
“Perubahan aturan DNI restoran tidak akan mematikan pemain lokal, seperti pemasok. Sebaliknya, ini akan memaksa mereka meningkatkan kualitas produk, pelayanan, distribusi, bahkan harga,” lanjut Thomas.
Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman berpendapat, sudah waktunya berkompetisi dengan adanya perubahan aturan DNI restoran. Ini perlu dilihat sebagai peluang positif. Sebagai contoh, pemasok bahan baku makanan lokal akan semakin banyak memiliki saluran distribusi.
Nilai tambah, lanjut Adhi, juga bisa terjadi karena restoran di Indonesia dengan investor asing dimungkinkan untuk berkembang hingga ke pasar regional. (CAS/MED)
Kompas 17022016 Hal. 17