NUSA DUA, KOMPAS — Pemerintah membantah telah memberikan keistimewaan kepada PT Freeport Indonesia terkait kelonggaran ekspor konsentrat. Pemerintah beranggapan bahwa masalah pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral tak hanya dialami perusahaan asal Amerika Serikat tersebut, tetapi juga banyak perusahaan tambang lain.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, tugas pemerintah adalah menjaga iklim usaha perusahaan dalam situasi apa pun. Menurut dia, kebijakan pemerintah tidak dikhususkan kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) semata, tetapi berlaku juga untuk perusahaan lain yang mengalami masalah sama.
“Menurut saya, fokus perhatian mesti dilebarkan (bukan hanya PT FI) karena yang kita urus bukan hanya satu perusahaan tambang. Banyak sekali yang punya masalah sama,” kata Sudirman, Kamis (11/2), di Nusa Dua, Bali.
Seperti diberitakan sebelumnya, PT FI kembali mendapatkan rekomendasi ekspor konsentrat dari Kementerian ESDM kendati kemajuan pembangunan smelter tidak sesuai dengan yang disyaratkan, yaitu sebesar 60 persen.
Sebagai kompensasi, pemerintah meminta uang jaminan kesungguhan sebanyak 530 juta dollar AS agar rekomendasi ekspor terbit. Pada akhirnya, rekomendasi untuk PT FI dikeluarkan pada 9 Februari lalu tanpa kewajiban membayar uang jaminan.
Membayar bea keluar
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, alasan pihaknya menerbitkan rekomendasi adalah PT FI bersedia membayar bea keluar ekspor konsentrat sebesar 5 persen. Selain itu, PT FI menyatakan kesanggupannya untuk membangun smelter.
“Mengenai kewajiban penyetoran dana kesungguhan sebesar 530 juta dollar AS, hal tersebut masih dalam proses pembicaraan dengan PT FI,” ujar Bambang saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR pada Selasa lalu.
Dijumpai di Nusa Dua, anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Satya Widya Yudha, mengatakan, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tak berjalan baik. Pasalnya, aturan turunan dari UU tersebut bertentangan. Untuk soal batas waktu pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter), yang tercantum dalam UU No 4/2009 dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 berbeda.
“Dalam UU No 4/2009 dinyatakan, batas akhir pembangunan smelter pada 2014. Namun, Permen ESDM No 1/2014 memperpanjang menjadi selambatnya pada 2017,” kata Satya.
Landasan hukum
Satya mengusulkan agar pemerintah memperbaiki landasan hukum terlebih dahulu. Sembari menunggu revisi UU No 4/2009 rampung, lanjutnya, Presiden bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU.
Soal pembangunan smelter oleh PT FI menjadi perhatian sejumlah kalangan.
Investasi smelter yang hendak didirikan perusahaan asal AS tersebut diperkirakan mencapai 2,3 miliar dollar AS.
Menginginkan jaminan
Sebelumnya, PT FI menginginkan jaminan, operasi mereka di Papua diperpanjang menyusul berakhirnya kontrak mereka pada 2021.
Pemerintah dan DPR sepakat bahwa pembahasan mengenai perpanjangan operasi PT FI baru akan dibahas pada 2019 atau dua tahun sebelum kontrak berakhir berdasarkan UU. (APO)
Kompas 12022016 Hal. 18