JAKARTA – Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali menggelar rapat terbuka untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman SistemKeuangan (JPSK). Pembahasan RUU JSPK ditargetkan rampung pada 18 Desember 2015, sehingga UU JPSK dapat disahkan tahun ini.
Target waktu tersebut sebenarnya molor dari kesepakatan sebelumnya pada Oktober 2015. Pada rapat kerja (raker), Senin (30/11), Komisi XI menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari RUU JPSK kepada pemerintah untuk dibahas bersama. Ketua Komisi XI Fadel Muhammad menyebutkan ada 409 DIM, sebanyak 70 DIM di antaranya tidak perlu dibahas lebih lanjut dan 339 DIM lainnya perlu ada perubahan.
“Pada substansi ada 315 DIM, yang tetap cuma 70 DIM. Untuk redaksional 23 DIM, penjelasan hanya 1 DIM. Semuanya sudah kami buat kluster yang disampaikanMenteri Keuangan di tiap-tiap kluster apa yang berbeda,” ujar Fadel usai rapat kerja dengan pemerintahmembahas RUU JPSK di Ruang Komisi XI DRP, Jakarta, Senin (30/11).
Menanggapi inti perdebatan substansi dalam RUU JPSK, Fadel mengatakan, fraksi-fraksi di Komisi XI DPR menginginkan penanggung jawab terakhir dalam menentukan kondisi krisis keuangan adalah Presiden, bukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Itu pertimbangan kami di DPR. Jika bisa, pernyataan terakhir penentu krisis itu adalah Presiden. SebelumnyakanMenteri Keuangan, mana berani,” kata Fadel.
Menurut Fadel, mayoritas substansi yang terdapat DIM adalah ikhwal penanggung jawab terakhir kondisi krisis tersebut. “Penentuan krisis dalamsistemkeuanganharus diambil alih oleh Presiden, mengingat jumlah aset yang begitu besar dan dampaknya yang sangat signifikan bagi perekonomian nasional,” ujar dia.
Fadel mengungkapkan, terlalu berisiko jika penanggung jawab terakhir penentuan kondisi krisis diemban oleh KSSK yang terdiri atas empat otoritas yaitu Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).“Apalagi sekarang tidak ada hak imun bagi keempat lembaga itu, hanya ada pendampingan hukum,” kata dia.
Pertimbangan dari Komisi XI itu akan dibahas dalam tingkat panitia kerja (Panja) RUU JPSK yang dimulai Senin (30/11) malam. Di samping soal penanggung jawab terakhir, lanjut Fadel, pertimbangan lain dari Komisi XI adalah tidak adanya lagi ketentuan untuk pemberian dana talangan dari APBN atau bail out.
Dia meminta jika terdapat kondisi keuangan “tidak normal” dan berdampak terhadap kondisi likuiditas bank, KSSK cukup mengoptimalkan dana talangan dari Bank Indonesia (BI) atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Pokoknya kita ingin meminimalisir penggunaan uang dari APBN, dari LPS atau BI saja,” kata dia.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, yang terpenting adalah pembahasan substansi. Terkait adanya usulan presiden sebagai penentu kondisi keuangan, menurut dia, masih harus dibahas lebih lanjut.
“Kalau untuk penambahan modal oleh BI atau LPS tidak masalah. Tapi kalau pakai uang negara, kami tentu harus diskusikan dan diputuskan oleh Presiden,” kata Bambang.
Bambang optimistis pembahasan RUU JPSK dalam Panja dapat selesai sebelummasa sidang Desember 2015 berakhir. Sehingga, dengan proses yang masih berjalan, dia meyakini UU JPSK dapat disahkan pada 2015 ini.
Penanganan Bank Gagal
Sementara itu, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) menyamakan persepsi terkait penetapan dan penanganan bank gagal. Keempat pemangku kepentingan stabilitas keuangan yakni Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sepakat nantinya akan diminimalisasi penggunaan dana publik dalam penanganan bank gagal.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan perlunya penyeragaman kesepahaman terkait bank gagal sebagai respons FKSSK terhadap DIM dari RUU JPSK. Penetapan kondisi krisis dan bank gagal akan ditetapkan oleh OJK dengan berkonsultasi dengan BI, dan kemudian dilaporkan kepada FKSSK sebagai bank berdampak sistemik (domestic systemically important banks/D-SIBs).
“Ada beberapa pasal (dalam RUU JPSK) yang kami diskusikan untuk meyakinkan ada kesamaan pandangan. Kami menyamakan pandangan terkait penetapan status dan D-SIBs. Kemudian bagaimana proses koordinasi dan kondisi kalau krisis dan adanya bank gagal, kami sepakat nanti dijajaki OJK dan dilaporkan ke FKSSK. Nantinya dari nama-nama bank tersebut, yang mana yang masuk D-SIBs (hasil konsultasi dengan BI) perlu ada kewajiban untuk memperkuat modal,” kata Agus, di Jakarta, Senin (30/11).
Hal lain yang juga disepakati FKSSK yakni tidak akan ada fasilitas jika kondisi krisis terjadi, namun pemerintah setuju untuk memberikan dana pinjaman saat kondisi krisis. “Kami juga meyakini bahwa kalau dalam keadaan krisis harus sedikit mungkin menggunakan dana negara, supaya jelas termasuk kalau seandainya akan ada diberikan satu fasilitas. Kami yakini itu namanya bukan fasilitas tapi pinjaman,” ujar Agus.
Agus menambahkan, dalam rapat FKSSK yang berlangsung 4 jam di Gedung Kementerian Keuangan tersebut, tidak ada pembahasan baru soal RUU JPSK.
Sebelumnya, BI memandang perlu adanya lock-up period atau periode tertentu bagi bank yang ditetapkan sewaktu-waktu dalamdaftar bank yang berdampak sistemik (SIB) untuk dapat dinyatakan eliglible terhadap seluruh opsi resolusi yang diatur dalam RUU JPSK. Bank-bank tersebut harus melaksanakan kewajiban sebagai SIB antara lain memperkuat permodalan serta menyusun rencana pemulihan dan resolusi bank.
Dalam RUU JPSK yang telah disampaikan pemerintah kepada DPR RI untuk dibahas, tidak terdapat poin terkait lock up period tersebut. Dalam poin terkait penetapan SIB, RUU JPSK tersebut hanyamencantumkan penetapan bank SIB oleh OJK berkoordinasi dengan BI dalam kondisi SSK normal, pengkinian bank SIB yang dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu pada kondisi SSK normal dan telah memperoleh persetujuan KSSK.
Adapun sesuai RUU JPSK, penanganan permasalahan SIB terdiri atas penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank. Dalam penanganan permasalah likuiditas bank, bank SIB dapat memperoleh pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah (PLJP/S) dan pinjaman likuiditas khusus atau pembiayaan likuiditas khusus berdasarkan prinsip syariah (PLK/S).
Sedangkan pinjaman likuiditas khusus diberikan melalui persetujuan KSSK atas rekomendasi OJK kepada bank yang masih memenuhi ketentuan solvabilitas, tingkat kesehatan bank, dan memiliki kemampuan pengembalian pinjaman likuiditas khusus tersebut. Pemerintah pun harus memberikan jaminan atas PLK yang jatuh tempo saat bank SIB tidak mampu melinasi PLK/S tersebut.
Sedangkan penanganan permasalahan solvabilitas bank, sesuai dengan RUU JPSK, menurut dia, dilakukan oleh LPS berdasarkan keputusan KSSK. Penganangan bank bermasalah dapat dilakukan LPS dengan cara pengalihan aset dan kewajiban bank SIB kepada bank atau pihak lain (purchase and assumption), pengalihan aset dan kewajiban bank SIB kepada bank perantara (bridge bank), dan melakukan penyertaan modal sementara. Jika LPS mengalami kesulitan likuiditas dalam penanganan bank SIB, maka pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS.
Agus menegaskan, pihaknya akan memastikan pinjaman likuiditas yang diberikan BI hanya kepada bank yang kesulitan likuiditas tetapi masih solvent.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menuturkan, pada prinsipnya, pihaknya ingin meminimalkan penggunaan uang negara dalam penyelamatan bank. Untuk itu, pihaknya ingin mendorong prinsip penyelamatan bank melalui bail indibandingkan bail out.
“Harusnya bank-bank yang disebut D-SIB menyiapkan dirinya sendiri dengan menambah cadangan modal, menambahcapital buffer, sehingga ketika krisis mereka bisa menggunakan buffer-buffer itu,” terang dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJKMuliaman Hadad menuturkan, usulan lock up periodBI sejauh ini belummasuk dalamRUU JPSK. “Kami coba jelaskan ada yang namanya predetermined list. Nanti masih akan dibahas di DPR,” terang dia.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun mempertanyakan lamanyawaktupembahasanRUUJPSK. Pasalnya, pada rapatOktober lalu, sudah disepakati penyerahan DIM.
Menurut Misbakhun, salah satu yang menjadi pembahasan alot RUU JPSK adalah belum sepahamnya pemerintah dengan DPR soal posisi presiden dalam FKSSK. DPR menghendaki agar presidenmenjadi penentu dalam kondisi krisis, namun pemerintah menyatakan presiden cukup dilaporkan saja.
9 Kluster Pembahasan
Komisi XI dan pemerintah menetapkan ada 9 kluster yang akan dibahas dalam pembahasan RUU JPSK. Pertama, pencabutan Perppu JPSK yang sudah selesai dibahas. Kedua, DIM terkait sistem keuangan meliputi lembaga keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan dengan tujuanmencegahdomino effect meliputi permasalahan sistem pembayaran, likuiditas yang mengarah kepada insolvensi lembaga keuangan sehingga memicucontagion, dan permasalahan likuditas uang.
Ketiga, penyelenggaraan koordinasi dalam rangka pemantauan dan stabilitas sistem keuangan dilakukan oleh KSSK, penanganan krisis dilakukan oleh Dewan Manajemen Krisis, serta pemantauan dan mitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan (SSK), yakni: (a) SSK ditangani oleh berbagai lembaga/otoritas keuangan karena itu harus ada mandat atau wewenang yang jelas: BI, OJK, Kemenkeu dengan catatan di Jepang ada salah satu mandat Kemenkeu adalah prevention of systemic risk of fianncial market melaui financial stabilitation division.
Kemudian, (b) keterhubungan antara kondisi perusahaan/firm specific dan system issues; micro prudential, macro prudential, dan bussiness conduct. Lalu, (c) Koordinasi antarotoritas dan pertukaran informasi: BI, OJK, Kemenkeu, dan LPS; (d) Penetapan Bank SIB dan non SIB; (e) recovery and resolution plan: OJK, BI, dan LPS; (f) Intervensi awal terhadap permasalahan SSK: bantuan likuiditas, peran BI sebagai Lender of Resort.
Terakhir, penanganan krisis: (a)Mekanismemanajemen krisis, (b) Dewan Manajemen Krisis, (c) Penetapancredible contingency plan, (d) penjaminan data nasabah, (e) Penanganan melalui private solution, dan (f) Penggunaan dana publik.
Keempat, penetapan dampak sistemik mengikuti mekanisme manajemen krisis (3a). Kelima, penanganan masalah bank melalui private solution, mengikuti penanganan krisis poin 3e, dan sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK. Keenam, penangananmasalah likuiditas mengikuti penanganan krisis poin 3f, dan sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK.
Ketujuh, penanganan masalah solvalbilitas, mengikuti penanganan krisis poin 3e, dan sinkronisasi dengan UU OJK. Kesembilan, penanganan permasalahan sejumlah bank yang berjumlah masif, perlu penegasan fungsi LPS sebagai lembaga penjamin dan sebagai lembaga penanganan bank gagal (bank resolution), baik yang berdampak sistematik maupun non-sistematik sesuai UU LPS.
Terakhir, kesembilan, perlindungan hukum untuk KSSK, tersirat adanya keengganan pengambilan keputusan. Misalnya pengambilan keputusan dengan musyawarah tanpa hak veto sehingga perlindungan hukum perlu dipertegas. (nti/ant/jn)
Investor Daily, Selasa 1 Desember 2015, Hal. 1