RI Mampu Capai Kedaulatan Energi

Surabaya – Kendati cadangan minyak dan gas sudah menipis, Indonesia mampu mencapai kedaulatan energi jika pola pengelolaan sumber daya alam ini ditata kembali. Indonesia memiliki energi terbarukan –seperti panas bumi (geothermal ), tenaga air, dan bahan bakar nabati (biofuel ) — yang cukup besar. Dengan meningkatkan bauran energi (energy mix), pembangunan infrastruktur migas, dan kepemimpinan yang kuat, kedaulatan energi bisa diwujudkan dalam waktu dekat.
“Kedaulatan energi bisa diwujudkan dan tidak butuh waktu lama asal didukung kepe­ mimpinan yang kuat,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Johanes Widjonarko saat ber­ diskusi dengan para pemimpin redaksi media massa nasional di kantor SKKMigas Surabaya, Kamis (9/10). Hingga saat ini banyak kebijakan yang tidak mendukung terwujudnya kedaulatan energi. Begitu pula dengan produk hukum dan koordinasi antarkementerian dan lembaga yang menjerumuskan negeri ini ke dalam krisis energi. Kedaulatan energi, kata Sekretaris SKK Migas Gde Pradyana, tidak boleh dimaknai sebagai anti-asing dengan solusi nasonalisasi. Kedaulatan energi harus dipahami sebagai kemandirian atau pemenuhan kebutuhan energi denganmengoptimalkan semua potensi energi di dalam negeri. Keterlibatan para kontraktor asing tidak mengurangi kedaulatan selama energi yang dihasilkan digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bangsa ini Saat ini terdapat 329 kontrak di bidangmigas yang ditangani SKKMigas. Dari jumlah itu, terbesar adalah para kontraktor asing. Chevron, misalnya, mengontribusi sekitar 300.000 barel per hari (bph). Dengan total lifting minyak sebesar 815.000 bph, peran Chevron sangat dominan. “Kalau Chevron batuk, Indonesia langsung demam berat,” ungkap Widjonarko. Solusi Masa keemasanminyakmentah sudah lewat. Sejak 2004, Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak (net oil importer). Bila tidak ada penemuan cadangan baru, Indonesia pun akan mengalami defisit gas pada tahun 2020. Kondisi migas saat ini, kataWidjonarko, sudah sangat kritis. Tanpa penataan kembali sektor energi, Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Karena itu, di bawah kepe­mimpinan baru, sejumlah penataan ulang harus dilakukan. Undang-Undang No 30 tahun 2007 tentang Energi sudah cukup menjadi payung hukum untuk menata ulang sektor energi. Pertama, penggunaanenergy mixatau baur­ an energi. Energi fosil, minyak dan gas alam, takkan bisa menjadi andalan. Saat ini, subsidi energi sudah jauhmelebihi penerimaan negara dari migas.
Kedaulatan energi bisa dicapai lewat percepatan diversifikasi energi, khu­ susnya penggunaan energi terbarukan dan energi baru. Indonesia memiliki energi geothermal atau panas bumi berlimpah. Pengembangan energi panas bumi harus menjadi prioritas. Di samping geothermal, negeri ini memiliki banyak sungai dan danau untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Dengan daratan yang luas, iklim tropis, dan wilayah yang terbentang di garis kathulistiwa,
Indonesia mampu mem­ produksi energi nabati atau biofuel dari sawit.
Ketergantungan terhadap minyak perlu segera dikurangi dengan kon­ versi energi dari BBMke bahan bakar gas, penggunaan energi batubara, panas bumi, PLTA, dan biofuel. “Bila bauran energi sudah bisa segera diimplementasi, pasokan energi untuk kebutuhan dalam negeri akan tercu­ kupi.” ungkap Widjonarko.
Kedua, untuk menekan biaya dis­ tribusi energi dan meningkatkan efisiensi, infrastruktur energi dari hulu hingga hilir, dari sumber energi hing­ ga konsumen perlu segera dibangun. Pembangkit listrik dibangun di mulut tambang dan pemenuhan kebutuhan energi konsumen terdekat menjadi prioritas. Ke depan, tidak boleh mas­ yarakat di wilayah gas menggunakan BBMdanmasyarakat di wilayah panas bumi menggunakan energi batubara, atau sebaliknya.
Kendati produksi minyak bumi menurun, pembangunan kilang baru perlu direalisasikan. Indonesia mem­ butuhan banyak kilang yang dibangun dekat sumber minyak ataupun dekat konsumen. “Kilang ukuran portebel sangat efisien,” ujar Wijonarko.
Keempat, kedaulatan energi tak bisa dilihat dari produksi semata, melainkan juga dari sisi konsum­ si. Bila pola konsumsi tetap boros, krisis energi akan tetap mengan­ cam. Karena itu, menjual energi se­ suai harga keekonomian merupakan solusi penting. Langkah awal yang perlu diambil adalah menghapus subsidi harga BBM dengan menaik­ kan harga BBM dan tarif listrik. Selama ini, masalah energi di hilir dicarikan solusi di hulu. Produksi mi­ nyak dipaksa digenjot untuk menutup konsumsi. Kenikmatan konsumen ini terus dipertahankan hingga kebu­ tuhan BBM terpaksa harus ditutup oleh impor.
Kelima, meningkatkan koordinasi antarkementerian, antarlembaga, dan antar-BUMN. Selama ini, para kontraktor migas kurang terangsang untuk melakukan eksplorasi akibat kebijakan fiskal yang kurang men­ dukung. Kementerian Keuangan mengenakan pajak penjualan (PPN) dan bea masuk impor barang untuk kegiatan eksplorasi. Untuk kegiatan eksplorasi, bahkan di laut dalam pun, pemerintah mengenakan pajak bumi dan bangunan (PPN). Para kontraktor migas harus membayar kewajiban yang amat besar meski tak ada jami­ nan menemukan cadangan.
PT Pertamina, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, dan PT PLN, demikian Widjonarko, adalah tiga BUMN yang sulit bekerja sama. Pa­ dahal, ketiga BUMN energi ini berada di bawah instansi yang sama, yakni Kementerian BUMN.
“Jika ada koordinasi yang baik, ke­ tiga BUMN akan memberikan banyak nilai tambah bagi kedaulatan energi nasional,” ujar dia.
Keenam, pentingnya sinergi ke­ bijakan dan sinkronisasi peraturan perundangan-undangan. Selama ini, Indonesia mengekspor gas yang harganya lebih murah dan ramah ling­kung­an. Sementara pada saat yang sama, negara ini mengimpor minyak mentah dan BBM pada harga mahal. Indonesia mengekspor gas ke Singapura pada harga sekitar Rp 4.000 per barel, namun mengimpor BBM dari kilang Sungapura seharga Rp 11.000 per liter.
Untuk memproduksi energi, lanjut Widjonarko, peraturan dan perun­ dang-undangan di bidang migas, per­ tambangan, kehutanan, dan keuangan harus sinkron dan saling mendukung. Jika ada cagangan migas di wilayah kehutanan, harus ada solusi yang tidak melanggar aturan. Status SKK Migas Status hukum SKK Migas, kata Widjonarko, perlu segera diberikan kejelasan mengingat lembaga adhoc ini menangani sekitar 329 kontrak dan ber tanggung jawab terhadap penerimaan negara sekitar Rp 300 triliun. Sambil menunggu amandemen UU, status SKKMigas bisa dipertegas lewat peraturan pemerintah peng­ ganti undang-undang (Perppu) agar memberikan kepastian kepada para kontraktor.
“Para investor migas khawatir berkontrak dengan SKKMigas karena badan ini sewaktu-waktu bisa dibubar­ kan,” kata Widjonarko. Pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13November 2012mening­ galkan trauma mendalam.
Menurut Widjonarko, badan hukum yang cukup aman bagi SKK Migas adalah BUMN bukan perseroan ter­ batas (PT). BUMN ini bertanggung jawab langsung terhadap Presiden. Dengan BUMN status khusus, posisi SKK Migas akan bagus sebagai pihak yangmenandatangani kontrak dengan para investor migas dan efektif men­ jalankan tugas.
Isu pembubaran SKK Migas mere­ sahkan sekitar 1.200 karyawannya. Sebagian karyawan yang berkualitas tinggi, kata Widjonarko, sudah heng­ kang. Mereka bekerja di perusahaan kontraktor dan ke luar negeri. “Ini se­ buah kerugian karena mereka sudah memiliki keahlian dan tahu banyak tentang cara kerja SKK Migas,” ung­ kapnya.
Terus Menurun
Setelah mencapai masa keemasan tahun 1977 dengan produksi mencapai 1,6 juta bph, produksi minyak mentah Indonesia terus menurun. Tahun ini, lifting minyak diperkirakan hanya 807.000 bph, jauh di bawah target 870.000 bph yang dipatok awal tahun.
Pada era 1970-an, pengeboran minyak lebih banyak menghasilkan minyak ketimbang air sehingga cost recovery juga relatif lebih murah. Waktu itu, setiap liter yang disedot, minyak mencapai 90%, air hanya 10%. Tapi, sekarang kondisinya terbalik. Kandungan air 90% dan minyak 10%. Waktu itu, Chevron mampu meng­ hasilkan minyak 1 juta bph.
Pada tahun 1970-an hingga 1980an, lebih dari 60% penerimaan APBN berasal dari migas. Saat ini, kendati lifting minyak sudah jauh menurun, peran migas masih dominan. Pada tahun 2015, penerimaan migas yang menjadi tanggung jawab SKK Migas mencapai 300 triliun 20% dari peneri­ maan negara. (pd)
energi
Investor Daily, Jumat 10 Oktober 2014, hal. 1

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.