JAKARTA –Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) akan melakukan uji materi (judicial review) atas PP No 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut kepada lembaga peradilan terkait. Itu dilakukan karena PP tersebut bukan saja mengancam investasi perkebunan kelapa sawit yang ada senilai Rp 136 triliun, tapi juga menghambat masuknya investasi baru.
Sekjen Gapki Joko Supriyonomeng ungkapkan, hingga saat ini perkebun an kelapa sawit yangmenggunakan lahan gambut mencapai 1,7 juta hektare (ha) dengan nilai investasi yang sudah masuk senilai Rp 136 triliun dan mampu menyerap 340 ribu tenaga kerja, itu termasuk investasi pembangunan infrastruktur dan pabrik kelapa sawit (PKS). Dari perkebunan kelapa sawit seluas itu, devisa negara yang diperoleh mencapai US$ 6,8 miliar per tahun. “Implementasi PP Gambut akan membuat investasi perkebunan kelapa sawit seluas 1,7 juta ha di lahan gambut kolaps, investasi baru yang akan masuk juga akan terhambat, investor akan lari,” kata dia saat diskusi Dampak Regulasi Gambut Terhadap Kelestarian Investasi Minyak Sawit Lestari di Jakarta, akhir pekan lalu.
Joko mengungkapkan, kehadiran PPGambut juga akanmembuat potensi investasi perkebunan kelapa sawit ke depan tidak bisa diraih Indonesia. Diperkirakan, investasi perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan lahan gambut dalam beberapa tahun ke depan mencapai Rp 240 triliun dengan penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 400 ribu orang dan tidak langsung 300 ribu orang berupa petani plasma. “Dampak dari terbitnya PP Gambut bukan hanya perusahaan perkebunan kelapa sawit eksiting, tapi juga investor yang hendak masuk menjadi ragu, belum lagi petani sawit rakyat juga ikut terimbas,” kata dia.
Menurut Joko, seharusnya peme rintah memikirkan dampak sosial dan ekonomi sebelum mengeluarkan PP Gambut. PP tersebut dinilai peng usaha terlalu kaku, penerapan aturan itu bisa membuat ribuan tenaga kerja yang selama ini mengandalkan kebun sawit sebagai mata pencahariannya menjadi menganggur. Selain perkebunan kelapa sawit, pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) yang selama ini juga memanfaatkan lahan gambut akan terdampak hal yang sama. “Peme rintah harus segera merevisi aturan tersebut. Kalau isinyamerugikan dunia usaha, tidak menutup kemungkinan kami akan melakukan judicial review, teknisnyakami akan libatkanpara pakar gambut,” ungkap dia.
Dalam catatan Gapki, Indonesia memproduksi sedikitnya 26 juta ton minyak sawit yang mampu menghasilkan devisa US$ 21,2 miliar pada 2013. Sementara itu, Indonesia saat ini hanyamemiliki 7% dari 385 juta ha luas lahan gambut di seluruh dunia atau sekitar 14 juta ha. Dari luas lahan gambut di Indonesia, yang sesuai untuk kegiatan budidaya 6 juta ha dan yang telah diberikan izin termasuk untuk kebun sawit seluas 1,7 juta ha. “Hal paling mendasar yang dinilai mengganggu iklim investasi dalam regulasi gambut adalah ketentuan tinggi muka air wajib dipertahankan minimal 40 cm. Kondisi ini membuat akar tanaman keras seperti akasia dan kelapa sawit akan terus terendam sehingga tidak bisa hidup,” ungkap Joko.
Joko juga menegaskan, dengan mi nimnya lahan gambut yang digunakan untuk sawit, adanya anggapan bahwa sawit perusak lahan gambut oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan tidaklah tepat. Alasan ini diperkuat data penelitian Tropenbos Indonesia yangmenyebutkan, kelapa sawit dari lahan gambut tak terganggu di Indonesia hanya 3%. “Pembukaan kelapa sawit lebih banyak dari lahan terlantar dan lahan pertanian,” ungkap Joko.
Menurut Joko, pengesahan PP Gambut tersebut sejatinya merupakan blunder dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemerintah dalam menyusun aturan PP tersebut juga tanpa melibatkan dunia usaha dan kalangan akademisi. “Aturan ini mengambaikan perkembangan teknologi dan kemampuan swasta mengelola kawasan gambut secara lestari,” ujar Joko.
Teknologi Ekohidro
Pakar gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata mengatakan, Indonesia telah memiliki teknologi ekohidro untuk mengelola gambut secara lestari de nganmengatur tata air sehingga tetap menggenangi areal tanpa mematikan tanaman. Perkembangan teknologi itu mampu membuat lahan gambut bisa ditanami sawit dan akasia secara lestari. Kehadiran PP Gambut justru akan memicu transmigran di Jambi dan Sumatera Selatan yang mulai menikmati hasil panen kelapa sawit tidak dapat mengolah kebunnya lagi. “Pemerintah melarang rakyat me ngelola lahan gambut karena alasan merusak lingkungan. Apakah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bisa menunjukkan cara mengelola gambut yang lestari?” tanya Basuki Sumawinata.
Senada dengan itu, peneliti senior dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Nuzul Achyar menjelaskan, idealnya PP Gambut mempertimbangkan aspek dampak regulasi karena memberikan dampak besar sekali kepada negara. Tidak boleh sebuah peraturan, dalam hal ini PP Gambur, membuat berat sebelah kepada lingkungan, tetapi sebaliknya harus memperhatikan kepentingan ekonomi, masyarakat, dan peme rintah juga. “Yang terjadi saat ini PP Gambur justru berjalan sendirisendiri dan tidak melewati proses konsultasi serta uji publik,” kata dia.
Sementara itu, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Gamal Nasir mengatakan, pihaknya masih memperbolehkan tanaman kepala sawit ditanam di atas lahan gambut dengan syarat maksimal kedalamannya 3 meter. “Tentu harus ada perlakuan khusus untuk sawit yang ditanamdi lahan gambut, seperti drainase harus jalan dan terus berair dan tidak boleh kering. Di pedoman teknis sudah ada soal ini,” ujar Gamal Nasir.
Sedangkan Joko Supriyono mengatakan, lahan gambut sesungguhnya dapat dimanfaatkan dan dikelola untuk mendukung peningkatan perekonomian rakyat. Namun untuk pengelolaannya perlu tindakan tepat guna melindungi lahan tersebut dari degradasi. Kunci penting dalam pengelolaan lahan gambut dapat dilakukan melalui pengelolaan tata air secara profesional yang membatasi drainase untuk kawasan budidaya danmelindungi ekosistemhutan rawa gambut yang dilestarikan.
Untuk pengelolaan lahan gambut yang berbasis ilmu pengetahuan, membutuhkan investasi riil, teknologi, dan sumber daya alam manusia yang mumpuni sehingga ekosistemgambut tetap lestari.
Praktik pengelolaan kawasan gambut yang lestari untuk jangka panjang dengan menanami pohon penyerap emisi karbon seperti kelapa sawit merupakan salah satu strategi melestarikan lingkungan. “Langkah ini dapat membantu pemerintah meng optimalkan penyerapan emisi karbon sekaligus meningkatan kesejahteraan rakyat di perdesaan,” ungkap dia.
Joko mencontohkan, banyak kisah sukses sawit yang ditanam di lahan gambut. Misalnya, Kebun Ajamu milik PTPN 4. Kebun itu ada di lahan gambut yang telah berusia 60 tahun. Lalu kebun sawit di Indragiri Hilir Riau telah ditanam sejak tahun 1990an dan terbukti memberi hasil baik. Terakhir kebun sawit di Negeri Lama milik PT Socfindo telah berusia 80 tahun dan tetap berproduksi dengan baik karena produktivitas tandan buah segar (TBS) mencapai 25 ton per ha per tahun. (tl)
Investor Daily, Senin 6 Oktober 2014, hal. 7