JAKARTA – Indonesia akhirnya memiliki UU Kelautan. UU tersebut diyakini mampu mendukung Indonesia menjadi negara maritim terkemuka yang disegani dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan juga bisa memanfaatkan potensi ekonomi kelautan yang selama ini belum optimal, padahal nilainya diperkirakan mencapai US$ 1,2 triliun per tahun.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutradjomengungkapkan, sidang paripurna X DPR pada Senin (29/9) malam akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kelautan (RUU Kelautan) menjadi UU setelah lebih dari 10 tahun dalam proses pembahasan. “Pengesahan UU ini merupakan langkah pertama bagi Indonesia untuk menjadi negara maritim. UU ini membereskan semua tumpang tindih aturan kelautan,” kata dia di Jakarta, Selasa (30/9).
Sharif Cicip mengatakan, Indonesia harus melewati beberapa tahap lagi untuk menjadi negara maritim yang sesungguhnya. Setelah pembentukan UU Kelautan yang terdiri atas 13 bab dan 74 pasal, Indonesia harus mempunyai teknologi dan inovasi yang canggih di sektor kelautan. “Ini digunakan untuk memanfaatkan potensi kelautan minimal 30-40%, saat ini Indonesia baru memanfaatkan 20%, sehingga Indonesia belum dapat dibilang negara maritim. Indonesia bisa menjadi negara maririm terkemuka pada 5-25 tahun mendatang,” ungkap Sharif.
Menurut dia, UU Kelautan mempunyai wewenang yang jauh lebih besar untuk mengatur seluruh tata ruang kelautan. Selama ini baru ada UU yang mengatur zonasi tata ruang sampai 12 mil, namun di atas 12 mil-200 mill termasuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) termasuk landas kontinen belum pernah diatur. UU itu juga mengkoordinir UU yang ada di perhubungan, wisata, dan lingkungan. “Nanti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mengatur daerah laut mana yang untuk mineral, gas bumi, wisata, perikanan, telekomunikasi, pipa maupun pipa gas. Nanti semua dibereskan, UU ini tidak mengintervensi UU lain, hanya mengkoordinir,” ujar dia.
Sharif menambahkan, salah satu substansi penting yang menjadi muatan UU Kelautan adalah penegasan Indonesia sebagai negara kepulauan yangmana menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, selain memiliki laut teritorial, wilayah yurisdiksi, dan kawasan dasar laut, juga mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan potensi maritim di laut lepas. “Penegasan ini mengisyaratkan bahwa Indonesia selain akan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya lautnya sendiri, juga akan mulai berkiprah di laut lepas,” kata Sharif.
Sharif mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai US$ 1,2 triliun per tahun. Potensi ekonomi tersebut dibagi menjadi empat kelompok sumber daya kelautan. Pertama, sumber daya alam terbarukan (renewable resources) antara lain perikanan, terumbu karang, mang rove, rumput laut (seaweed) dan padang lamun (seagrass). Kedua, sumber daya alam tak terbarukan (nonrenewable resources) meliputi minyak, gas bumi, bahan tambang, dan mineral lainnya.
Kemudian, energi kelautan berupa energi gelombang (wave power), energi pasang surut (tidal power), energi arus laut (current power), dan energi panas laut (ocean thermal energy conversion/OTEC). Selanjutnya, laut sebagai environmental service di antaranya berupa media transportasi, komunikasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim dan sistem penunjang kehidupan lainnya.
Di tempat yang sama, Dirjen Kepulauan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil KKP Sudirman Saadmenyatakan yang paling penting setelah pengesahan UU Kelautan adalah apa yang akan dilaksanakan oleh pemerintah mendatang dengan UU tersebut. Setelah UU Kelautan disahkan, terjadi perubahan paradigma yang mana laut tidak lagi diperlakukan sebagai open acces yang siapa pun boleh datang dan datang pertama yang dilayani. Melainkan untuk menggunakan laut Indonesia harus sesuai dengan tata ruang yang ada. “Ini tugas pemerintah mendatang untukmembuat tata ruang laut nasional,” ungkap Sudirman Saad.
Sudirman mengatakan, disahkan UU Kelautan merupakan bukti ke seriusan Indonesia untuk mengelola potensi kelautan. Lebih jauh lagi, Indonesia mengibarkan bendera kepada dunia bahwa ikut bertarung di laut lepas dan kawasan landas kontinen di bawah laut lepas itu. “Selama ini Indonesia tidak berkiprah disitu. Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, sudah mempunyai kaveling di landas kontinen di bawah laut lepas,” ujar dia.
Kehadiran Negara
Dihubungi secara terpisah, Ketua Dewan Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI) Riza Damanik mengapresiasi upaya DPR dan pemerintah dalam menuntaskan dan kemudian mengesahkan UU Kelautan. “UU Kelautan memang sudah sangat mendesak untukmemperbesar kehadiran negara di laut dan mempercepat konsolidasi kelembagaan dan instrumen hukumdi laut sehingga pengelolaan laut menjadi lebih optimal ke depan,” kata dia.
Namun demikian, kata dia, tidak ada gading yang tak retak. Dalam UU Kelautan, masih ada beberapa pasal yang mengecewakan. KTNI sangat menyayangkan di pasal 2 yang tidak memasukkan asas kehati-hatian dini (precautionary principle), padahal asas ini penting dalam upaya perlindungan lingkungan laut Indonesia yang rentan dicemari. Lalu, pasal 14 tidaklah tepat memasukkan prinsip ekonomi biru. “Selain tidak dikenal dalam konsepsi ekonomi nasional Indonesia yang menganut faham demokrasi ekonomi (sesuai UUD 1945), memasukkan prinsip ekonomi biru adalah tindakan ceroboh karena belum teruji pencapai annya dalam praktik pengelolaan laut di Indonesia,” ungkap Riza.
Riza menerangkan, terjadi ambiguitas di pasal 27 soal kegiatan reklamasi. Padahal saat ini pengaturan reklamasi telah digunakan oleh Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, KKP, dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan terbukti destruktif. KNTI menilai pasal 47 perlu lebih hati-hati, terlalu absurd apabila UU Kelautan berbicara tentang izin lokasi. Pertama, UU ini semangatnya harus konsisten untuk konsolidasi regulasi dan kelembagaan di laut, bukan eksploitatif. Kedua, KKP sudah mengeluarkan skema perizinan melalui UU Pesisir di perairan kurang dari 12 mil laut, sekarang melalui UU Kelautan justru mempromosikan skema izin lokasi di atas 12 mil hingga 200 mil laut. “Ini ceroboh, karena Indonesia sendiri belum mengetahui persis kekayaan di perairan pesisir, apalagi ZEEI. Peluang dilibatkannya swasta asing dalam pemanfaatan laut ZEEI menjadi terbuka lebar dengan instrumen ini, khususnya untuk pertambangan dan industri perikanan,” ucap dia.
Riza mengatakan, perlu ada perhatian lebih saat penyusunan peraturan turunan dari UU tersebut. Apabila ceroboh, arus liberalisasi di laut akan meluas, semakin sempitnya kesempat an rakyat memanfaatkan potensi laut Indonesia dan rapuhnya kedaulatan. Di sisi lain, pada pasal 53 tidak mema sukkannya cuaca ekstrem akibat badai tropis dan asidifikasi (pengasaman) air laut sebagai bencana pemanasan global. “Keduanya penting disebutkan karena memberi dampak nyata bag inelayan dan laut Indonesia,” ujar Riza.
Terakhir, teroboson UU Kelautan mendorong politik anggaran pro provinsi/kabupaten/kota kepulauan patut diacungi jempol. Hanya saja di sahkannya UU Pilkada mengandaikan semakin rentannya partisipasi publik dlm penyusunan anggaran dan pembangunan di daerah.
Celakanya, UUKelautan tidakmengeluarkanskemadisinsentif bilamanadana daerah tidak digunakan pembangunan berperspekstif kepualuan dan melin dungi warganya. “Dengan kata lain, UU Kelautan menyelesaikan sebagian persoalan di laut, namun belum menjawab kepentingan strategis lainnya seperti mewujudkan kedaulatan ekonomi di laut agar Indonesia sungguh-sungguh menjadi tuan rumah di lautnya sendiri,” pungkas Riza.
Sementara itu, dalamsidang paripurna X DPR Senin (29/9) malam juga disahkan RUU Perkebunan menjadi UU Perkebunan. UU tersebut merupakan amendemen dari UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang sempat diuji materil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2011 lalu dan memutuskan pasal 21 dan 47 dari UU itu dicabut. (tl)
Investor Daily, Rabu 1 Oktober 2014, hal. 22