JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai Rancangan Undang-Undang tentang Perkebunan (RUU Perkebunan) yang merupakan revisi dari UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan secara keseluruhan sudah proinvestasi.
Itu dengan tidak dimuatnya per sentase pembatasan kepemilikan saham asing di perusahaan perkebunan dan akan mengaturnya secara khusus dalam peraturan pemerintah (PP).
RUU Perkebunan sudah diagendakan untuk disahkan menjadi UU pada sidang paripurna X DPR pada Senin (29/9). Namun hingga berita ini diturunkan, sidang paripurna tersebut belum juga membahas pengesahan RUU Perkebunan. Sidang tersebut malah sempat diskors untuk beberapa lama saat pembahasan RUU tentang Daerah Otonomi Baru (DOB).
Ketua Bidang Hukum dan Kebijakan Gapki Tungkot Sipayungmengungkap kan, pihaknya sebelumnya memang sudah memberi masukan kepada DPR agar persentase pembatasan saham asing tidak diatur dalamUU, melaikankan secara spesifik dimuat dalamPP. “Kami menilai RUU Perkebunan sudah proinvestasi. Sudah fleksibel. Karena kalau pembatasan diatur dalam UU, berarti itu berlaku untuk semua komoditas, jadi memang harus diatur spesifik di PP karena nanti kalau ada perubahan pemerintah tidak perlu mengamendemen UU,” ungkap Tungkot Sipayung saat dihubungi Investor Dailydi Jakarta, tadi malam.
Tungkot mengungkapkan, pengusaha kelapa sawit sendiri tidak mempersoalkan adanya pembatasan saham asing, toh RUU Perkebunan tersebut tidak berlaku surut. Namun demikian, besar kecilnya persentase pembatasan sahamasing di perusahaan perkebunan akan sangat tergantungkemauanpolitik (political will) dari pemerintah. Sebe lumnya, DPRmewacanakankepemikan sahamasing di perusahaan perkebunan dibatasi maksimal 30%. “Soal berapa persentasenya itu tergantung political will dari pemerintah, seberapa pen ting investasi asing bagi pemerintah. Apakah investasi dalam negeri sudah mencukupi,” ungkap Tungkot.
Menurut Tungkot, industri sawit membutuhkan investasi yang cukup besar. Sementara itu, investasi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan investasi tersebut, salah satunya karena masih tingginya suku bunga kredit di Tanah Air. “Suku bunga kredit di Indonesia tertinggi di Asean, kalau ini bisa dibenahi, investasi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan industri sawit. Tapi kalau susah dilakukan, tentu investasi asing masih dibutuhkan,” kata dia.
Dia juga mengatakan, efektivitas RUU Perkebunan akan sangat terkait dengan dua UU lainnya, yakni RUU Pertanahan dan RUU Masyarakat Hukum Adat. Contohnya, RUU Perkebunan tidak mengatur tentang pembatasan luas minimum kebun, namun apabila di RUU Pertanahan mengaturnya tentu RUU Perkebunan menjadi tidak bisa dijalankan. “Bisa dijalan atau tidak, RUU Perkebunan tergantung RUU Per tanahan dan RUU Masyarakat Hukum Adat, soal pertanahan dan masyarakat hukum adat inilah yang memang membedakan antara RUU Perkebunan dengan UUNo 18 Tahun 2004,” kata Tungkot.
Atasi Persoalan Perkebunan
Wakil Ketua Komisi IVDPRHerman Khaeronmengatakan, kehadiran RUU Perkebunan diharapkan bisa mengoptimalkan peran subsektor perkebunan dalam mendukung pembangunan nasional, terutama dalam memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sekaligus menjawab perkembangan dan tantangan terkini bidang perkebunan. Paradigma subsektor perkebunan perlu diubah melalui RUU Perkebunan. “RUUPerkebunan diharapkanmampu menjawab berbagai problematika subsektor perkebunan karena telah dibuat secara komprehensif, berimbang, dan proposional,” ungkap dia.
Pada 19 September 2011,Mahkamah Konstitusi (MK)mencabut pasal 21 dan 47 dari UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pasal 21 tentang larangan tindakanyangberakibat padakerusakan kebun, sedangkan pasal 47 soal sanksi hukumbagi yangmelanggar ketentuan dalam pasal tersebut. Pasal itu dicabut oleh MK dengan alasan kekhawatiran adanya kriminalisasi perusahaan perkebunan terhadap petani atau rakyat. Di sisi lain dalam peraturan menteri (Permen) tidak ada sanksi hukum, tetapi hanya sanksi administrasi.
UU Perkebunan yang baru memuat sembilan pokok materi penting yang telah disepakati pada hasil pembica raan tingkat I. Pertama, UU Perkebunan terdiri atas 19 bab dan 118 pasal. Kedua, kewajiban bagi pelaku usaha perkebunan yang memerlukan tanah berupa tanah hak ulayat untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dengan tujuan untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Ketiga, larangan untuk mengeluarkan sumber daya genetik tanaman perkebunan yang terancam punah dan atau yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Indonesia.
Keempat, kewajiban bagi perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan untuk budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain. Kelima kewajiban membangun kebun bagi unit pengolahan hasil perkebunan yang berbahan baku impor dalam jangka waktu paling lambat tiga tahun setelah unit pengolahannya ber operasi. Terakhir pembinaan teknis yang dilakukan oleh pemerintah untuk perusahaan perkebunan milik negara, swasta dan atau pekebun.
Catatan penting yang diberikan fraksi-fraksi adalah pemerintah dalam pengembangan usaha perkebunan harus mengutamakan penanaman modal dalam negeri. Dengan begitu, penanaman modal asing wajib dibatasi berdasarkan jenis tanaman perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu dan dilakukan pengawasan secara konsisten. Adapun dalam pelaksanaannya harus diatur secara tegas dalam peraturan pemerintah (PP). “Kami minta pemerintah segera melakukan sosialisasi setelah UU baru disahkan dan meminta agar peraturan turunan yang terdiri tiga PP dan 10 Permen yang diamanatkan UU ini segera terbit,” ungkap dia.
Menanggapi adanya pembatasan penanaman modal asing dalam UU Perkebunan yang baru, Direktur Tanaman Tahunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Herdrajat Natawijaya mengatakan, dalam UU ini dipastikan memberikan pembatasan investasi asing. Pembatasan itu perlu, namun tergantung pada komoditas, wilayah, dan skala tanaman kebun tersebut. “Pemerintah akan membuat angka turunan dari pembatasan investasi asing ini, sebelumnya harus bicarakan dengan para pengusaha perkebunan. Pasalnya, pembatasan investasi terlalu besar akan menghambat hilirisasi perkebunan,” ungkap dia.
Investor Daily, Selasa 30 September 2014, hal. 7