JAKARTA – Fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas industri perasuransian semakin ditekankan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perasuransian. RUU yang memuat 92 pasal tentang perasuransian tersebut mencantumkan OJK selaku pihak yang berwenang mengatur dan mengawasi industri perasuransian.
Sekretaris Panitia Kerja (Panja) RUU Perasuransian Ahmad Fauzi menjelaskan, hal-hal yang menekankan OJK sebagai pihak pengatur industri perasuransian salah satunya tercantum dalam Bab IV tentang Perizinan Usaha.
Pada RUU tersebut, seluruh pihak yang ingin menyelenggarakan usaha perasuransian wajib mendapat izin dari OJK. Bab tersebut juga memuat kewenangan OJK untuk menyetujui ataupun menolak seluruh izin yang masuk. “Penolakan ini dilakukan secara tertulis dengan disertai alasan,” ujar Fauzi yang juga anggota Komisi XI DPR di Jakarta, baru-baru ini. Pada Bab V tentang Penyelenggaraan Usaha, OJK memberikan persyaratan khusus mengenai kemampuan dan kepatutan manajemen perusahaan perasuransian. OJK juga diberi kewenangan untuk meminta data, laporan, dan informasi keuangan yang menjadi pengawas industri perasuransian.
Salah satu bab penting yang memuat peran OJK sebagai pihak berwenang adalah pada Bab X tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Asuransi. Bab tersebut menyatakan OJK berhak mengetahui terlebih dahulu rencana penghentian kegiatan usaha. Selama proses penghentian ke giatan usaha hingga terjadinya likuidasi untuk membayarkan kewajiban, OJK ber wenang untuk menjadi pengawas.
Fauzi menjelaskan, Fungsi OJK sebagai pihak pengatur dan pengawas industri per asuransian juga dijelaskan dalam bab tersendiri pada Bab XIII tentang Pengaturann dan Peng awasan. Bab tersebut memuat 14 kewenangan OJK, yaitu berhak menyetujui atau menolak memberikan izin usaha per asuransian, mencabut izin usaha perasuransian, menyetujui atau menolak pendaftaran para pelaku pemberi jasa kepada perusahaan perasuransian, membatalkan pernyataan pendaftaran bagi pihak pemberi jasa kepada perusahaan perasuransian, dan mewajibkan perusahaan perasuransian menyampaikan laporan berkala.
Selain itu, OJK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan perasuransian, menetapkan pengendali perusahaan perasuransian, menyetujui atau mencabut persetujuan pengendali perusahaan perasuransian, mewajibkan suatu pihak untuk berhenti menjadi pengendali perusahaan perasuransian, melakukan penilaian kepatutan dan kemampuan manajemen per usahaan perasuransian, menonaktifkan manajemen perusahaan perasuransian, memberikan perintah tertulis kepada perusahaan asuransi, mengenakan sanksi kepada perusahaan asuransi, dan menyelenggarakan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Monitor Kegiatan Asuransi
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Firdaus Djaelani menjelaskan, saat ini masih ada perusahaan asuransi yang mendapatkan sanksi pembekuan kegiatan usaha (PKU) dan tidak menyelesaikan kewajiban secara tuntas kepada nasabah. Akibatnya, banyak nasabah yang mengadu ke OJK agar bisa menjadi mediator proses penyelesaian.
Menurut Firdaus, sumber dari permasalahan ini adalah pihak pengawas asuransi kurangmeng awasi kesehatan dan tata kelola perusahaan sejak awal. Oleh karena itu, ketika permasalahan asuransi sudah kompleks dan sulit ditangani, izin perusahaan asuransi tersebut harus dicabut dan kewajiban kepada nasabah tidak bisa diselesaikan.
Terkait itu, ujar Firdaus, OJK har us memonitor kegiatan asuransi secara berkala sehingga apabila ditengarai ada kejanggalan atau permasalah an, OJK bisa mengetahui dan menindaklanjuti secara cepat. RUU Perasuransian akan menjadi landasan pertama OJK untukmenindaklanjuti perusahaan asuransi yang bermasalah. Ke depan, OJK akan menjelaskan RUU Perasuransian dalam atur an yang lebih teknis melalui Peraturan OJK.
Sebelum RUU Perasuransian dirumuskan, OJK sudah meng antisipasi risiko munculnya perusahaan asuransi bermasalah dalam pengawasan berbasis super visi (risk based supervision). Dalam RBS, OJK akan mengklasifikasikan perusahaan asuransi dan sektor jasa keuang an lain dalam skala tertentu berdasarkan tingkat kesehatan.
Sebelumnya, industri perasu ransian diatur dalamUUNomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha perasuransian. Pada Pasal 25, menteri keuangan sebagai pihak pengawas.
Menteri keuangan memiliki kewenangan sebagai pembina dan pengawas industri perasu ransian, seperti tercantumdalam Bab IX tentang Pembinaan dan Pengawasan dalam UU Nomor 2 Tahun 1992. Namun, peran menteri sebgai pihak pengawas hanya meliputi pengawasan tentang kesehatan keuangan dan penyelenggaraan usaha perasuransian.
Sedangkan jika terkait de ngan persoalan kepailitan, pembubaran, likuidasi, serta ketentuan pidana tidak mencantumkan peran menteri sebagai pihak yang menjadi pengawas. Untuk menyatakan kepailitan atau pembubaran suatu perusahaan asuransi, menteri keuangan harus meminta keputusan dari pengadilan.
Investor Daily, Selasa 23 September 2014, hal. 22