JAKARTA – Rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah memutuskan rumusan akhir mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perasuransian. Namun, dalam RUU tersebut, batasan kuantitatif kepemilikan asing di perusahaan asuransi Indonesia belum ditentukan.
Sekretaris Panja RUU Perasuransian Ahmad Fauzi menjelaskan, penjelasan Pasal 7 di RUU Perasuransian tentang bentuk badan hukum dan kepemilikan perasuransian menyatakan kepemilikan asing dibatasi secara kualitatif dan kuantitatif.
Secara kualitatif, pihak asing yang bisa memiliki usaha perasuransian adalah perusahaan asing yang memiliki jenis usaha perasuransian atau perusahaan induk, yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha perasuransian.
Persyaratan badan hukum harus memiliki usaha perasu ransian yang sejenis dimaksudkan agar mitra asing yang akan menjadi pemilik di perusahaan asuransi Indonesia tersebut merupakan perusahaan yang benar-benar berpengalaman di bidangnya. “Dengan demikian, bisa mentransfer modal dan pengetahuan serta teknologi kepada pihak Indonesia,” jelas dia dalam acara Rapat Dengar Pendapat Pandangan Akhir RUU Perasuransian di Gedung DPR, Senin (15/9).
Sementara itu, mengenai pembatasan secara kuantitatif di dalam peraturan penjelas an tidak disebutkan secara spesifik mengenai persentase maksimum. Ahmad menjelaskan, pembatasan kuantitatif membutuhkan fleksibilitas agar bisa sesuai dengan dinamika kebutuhan dan ketersediaan dana di dalam negeri. Batas kepemilikan itupun harus dikonsultasikan dengan DPR dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, Ahmad yang juga anggota Fraksi Hanura menjelaskan, pihaknya mengusulkan pemilik saham domestik harus menjadi mayoritas dalam usaha perasuransian. Sementara pihak asing menjadi minoritas. “Kami mengusulkan asing setidaknya dibatasi menjadi 40%,” tegas dia.
Dia menjelaskan, dengan menjadi pihak mayoritas, investor domestik bisa menjadi pemegang saham pengendali dalam perusahaan patungan tersebut. Hal ini yang menjadi tujuan utama dari pembatasan kepemilikan asing di Indonesia.
Pada kesempatan itu, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Firdaus Djaelani mengungkapkan, DPR memang menghendaki porsi kepemilikan investor dalam negeri ditambah. “Mungkin tidak lagi 80%,” jelas dia.
Namun, peraturan tersebut hanya berlaku untuk perusahaan asuransi baru. Sementara untuk perusahaan asuransi yang sudah berdiri, menurut Firdaus, harus diberi waktu terlebih dahulu. Bahkan, untuk perusahaan yang sudah berdiri, Firdaus lebih cenderung untuk mendorong agar menjadi perusahaan terbuka. “Tujuannya biar lebih banyak masyarakat menjadi pemegang saham perusahaan asuransi,” kata dia.
Inti pembatasan kepemilikan tersebut adalah investor asing yang ingin menjadi pemilik perusahaan asuransi di Indonesia tidak bisa secara individu, namun harus patungan. Kendatipun mereka memperoleh saham perusahaan asuransi itu dari pasar modal, OJK tidak mempermasalahkan.
Sampai saat ini, OJK juga belum memiliki angka yang tepat mengenai batasan maksimum kepemilikan asing di industri perasuransian Indonesia. Menurut Firdaus, investor asing itu tidak harus memiliki sebesar 80% saham. “Hal yang terjadi baru-baru ini juga tidak lebih dari 80%. Di Asuransi Sinarmas, Panin Life, dan BNI Life, ratarata kepemilikan asingnya tidak lebih dari 40%,” ungkap dia.
Firdaus menjelaskan, hal-hal teknis mengenai pembahasan kepemilikan asing tersebut akan dibahas lagi dalam peraturan teknis yang ada di OJK. Sementara untuk RUU Perasuransian, setelah mendengar pandangan akhir dari Komisi XI DPR, RUU tersebut akan masuk ke Badan Musyawarah DPR untuk selanjutnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Investor Daily, Selasa 16 September 2014, hal. 22