JAKARTA – Format Badan Penerimaan Negara (BPN) akan diserahkan kepada pemerintahan baru. Namun kajiannya dilakukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) yang harus dirampungkan dalam 100 hari terakhir Pemerintahan SBY. Sampai saat ini Pemerintah masih terus membahas mengenai pembentukan BPN yang independen atau memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah naungan Kementerian Keuangan.
“Apapun nanti hasil kajian, keputusan nantinya kita (pemerintah) harus lewat Undang-Undang Pajak atau Cukai juga, kalau nanti meliputi cukai. Selain itu, harus jelas mana otoritas Menteri Keuangan atas badan atau unit tersebut,” kata Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (29/8).
Dia mengatakan, kejelasan otoritas BPN bisa terlihat dan kebijakan pajak (tax policy) dan pengumpulan pajak (tax collection). Menurut dia, tax policy harus tetap ada di Menkeu karena posisinya sebagai bendahara negara yang harus mengetahui belanja dan sumber anggaran untuk belanja. Selain itu, Menkeu juga harus memperha tikan apakah ekonomi akan dila kukan ekspansi atau kontraksi dengan penuh pertimbangan.
“Menkeu kan bendahara. Jadi, Jangan sampai Menkeu hanya ta hu belanja, tetapi sumber duitnya darimana dia (Menkeu) masih ngira-ngira. Ini bahaya, “ ujarnya.
Disisi lain, kata dia, Menkeu harus hati-hati agar kebijakan pajaknya tidak over agresif, dan terus menaikkan tarif. “Padahal kenaikan tarif pajak itu memukul ekonomi,” tegas Bambang.
Sementara itu, Sekretaris Jendral Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin berpendapat, pengelola pendapatan dan penerimaan harus di bawah koordinasi Ke menkeu.
“Prinsipnya Kemenkeu, karena kebijakan fiskal itu menyangkut belanja dan pendapatan maka ini harus dikoordinasikan,” kata Kiagus.
Ia mengatakan, apabila belanja dan pendapatan dipisah akan menimbulkan masalah koordinasi di Indonesia. Padahal, Kemenkeu inginmerumuskan kebijakan fiskal yang sustainable dan sehat.
Tim Transisi
Bambang mengatakan, belum ada rencana pertemuan antara pe merintah dengan tim transisi dari presiden terpilih, untukmembahas kemungkinan masuknya program pemerintahan baru dalam RAPBN 2015. “Sejauh ini belum ada,” kata Bambang.
Ia menambahkan belummenge tahui kapan ada pertemuan tersebut, karena saat ini belum ada arahan selanjutnya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau surat resmi dari tim transisi terkait keinginan untuk membahas RAPBN 2015.
“(Surat) yang resmi melalui pak Sekjen atau pejabat di Kemenkeu, belum ada,” ucapnya.
Menurut Bambang, pemerintah an baru bisa saja mengusulkan pro gram maupun visi dan misi untuk masuk dalamRAPBN 2015, namun hal itu tergantung dari pembicaraan serta kesepakatan antar-fraksi di Badan Anggaran DPR RI.
“DPR juga harus sepakat dulu, apakah ini cukup ‘baseline’ saja, atau pemerintahan baru dapat segera merevisi sebisa mungkin. Ini baru bisa sepakat, kalau disetujui seluruh anggota fraksi,” ujarnya.
Sementara itu, Kiagus Badaruddin menambahkan, pemerintah menyambut baik apabila tim transisi ingin bertemu dan memberikan saran terkait program yang belum tercantum dalam RAPBN 2015.
“Kalau mereka mau datang, kita welcome, kebetulan juga di Kementerian Keuangan ada transformasi kelembagaan. Dengan adanya pertemuan ini, kalau nanti tim transisi resmi ditunjuk, maka kedua belah pihak bisamendapatkan kebaikan,” tuturnya.
Menurut dia, dari pertemuan tersebut, pemerintah bisa men dapatkan solusi dari tim transisi terkait kemungkinan penambahan dana belanja untuk program kese jahteraan masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan di RAPBN 2015.
“Kita bisa melihat apa yang akan direncanakan dan yang perlu diperbaiki menurut perkiraan tim transisi. Kita tetapopen minduntuk menyempurnakan apa yang ada di Kementerian Keuangan,” kata Kiagus. (c02)
Investor Daily, Senin 1 September 2014, hal. 20