JAKARTA – PTPLN (Persero) akan membangun jaringan transmisi listrik sepanjang 60 ribu kilometer (km) sampai 2022 nanti. Transmisi harus dibangun agar listrik bisa sampai ke masyarakat.
Direktur Konstruksi dan Energi Terbarukan Nasri Sebayang menga takan, transmisi sepanjang 60 ribu km tersebut diperlukan untukmenya lurkan daya yang diproduksi oleh pembangkit listrik. Transmisi tidak hanya dibangun di Jawa, tetapi di se luruh wilayah Indonesia.
“Tahun ini kami targetkan bisa se lesai 4.800 km,” kata dia di Jakarta, Kamis (28/8). Selain transmisi, pi haknya juga akan menambah gardu induk sebesar 115 ribu mega volt ampere (mVA).
Baru-baru ini, PLN mulai lelang proyek transmisi listrik 500 kilovolt (kV) di Sumatera. Proyek ini terbadalam dua tahap, yakni Aur Duri hingga Garu da Sakti dan Aur Duri hingga Muara Enim. Keduanya ditargetkan selesai seluruhnya pada 2020 sehingga bisa meningkatkan keanda lan listrik di Sumatera.
Di Kalimantan, PLN juga akan membangun transmisi yang meng hubungkan selur uh sistem kelistrikannya. Pembangunan seluruh jaringan listrik dari Ka limantan Selatan ke Ka limantan Timur hingga Kalimantan Barat itu di targetkan selesai pada 2019.
Namun, lanjut Nasri, pembangunan trans misi tidak mudah ka rena sering terkendala masalah pembebasan lahan. Pembangunan transmisi sering kali memakan waktu sa ngat lama karena sulit membebaskan lahan. Bahkan, di beberapa proyek transmisi, PLN kadang sampai harus mengubah lokasi be berapa tower transmisinya.
“Selama ini kami low profile kalau ada masalah saat membangun trans misi, coba selesaikan sendiri. Tetapi walau semua orang ngomong soal pembangkitan, kalau tidak ada trans misi ya tidak jalan pembangkitnya,” jelas dia.
Dia menjelaskan, ada dua meka nisme pembebasan lahan yang selama ini dilakukan oleh PLN, yaitu dilaku kan sendiri atau melalui pemerintah. Namun, keduanya tetap harus mela lui proses negosiasi harga dengan masyarakat berdasarkan harga ap praisal tertinggi. Proses inilah yang kemudian berlangsung lama karena beberapa pihak menginginkan harga lebih tinggi.
“Sementara PLN dan pemerintah tidak bisa membayar di atas harga appraisal karena bisa ditangkap KPK. Di sisi lain, jika proyek mundur satu hari saja, itu sama rugi Rp 5 miliar,” tutur Nasri.
Dia menilai, masalah ini muncul karena tidak adanya unsur pak saan dalam aturan yang lama. Karenanya dia berharap UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang memiliki unsur paksaan bisa menjadi solusi atas masalah tersebut.
Aturan itu, tutur dia, menyebutkan bahwa masyarakat harus melepaskan tanah sepanjang harga yang ditawar kan adalah harga wajar jika itu untuk kepentingan umum. Jika masyarakat keberatan, maka bakal dilakukan konsinyasi di pengadilan.
“Kalau pengadilan memutuskan harga lebih tinggi, kami bayar. Kalau pengadilan memutuskan harga yang wajar, masyarakat harus menerima,” papar dia. (ayu)
Investor Daily, Jumat 29 Agustus 2014, hal. 9