Surplus Perdagangan TPT Menyusut US$ 1,5 Miliar

JAKARTA – Surplus perdagangan tekstil dan produk tekstil (TPT) tahun 2014 diperkirakan menyusut hingga US$ 1,5 miliar (17,54 triliun) menjadi hanya US$ 3,8 miliar. Penurunan surplus perdagangan tersebut akibat meningkatnya impor.
“Kenaikan biaya ini mengakibatkan banyak produsen yang melakukan subtitusi produk. Mereka tidak lagi membeli bahan baku dari dalam negeri, tapi impor. Akibatnya, surplus perdagangan TPT kita bisa menyusut tahun ini. Sekitar US$ 1-1,5 miliar dari tahun lalu,” kata Direktur Industri Tekstil dan Aneka Ditjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ramon Bangun di Jakarta, Kamis (28/8).
Ramon melanjutkan, kerusakan infrastruktur juga turut memperberat kinerja industri TPT nasional. Dia mencontohkan, rusaknya jembatan Comal di Jawa Tengah telah mengganggu kinerja industri TPT di sekitarnya.
“Industri garmen di wilayah Jawa Tengah terganggu, karena bahan baku yang dikirimkan dari Jawa Barat terhambat sampai di tempat tujuan. Sementara kalau mereka mau ekspor hasil produksinya juga kesulitan. Karena jika diekspor langsung dari Semarang, kapalnya jarang. Bisnis disana terganggu,” jelas Ramon.
Di sisi lain, lanjut dia, terjadi tren peningkatan impor garmen di pasar domestik. Dalam 2-3 tahun terakhir, porsi garmen impor di pasar domestik meningkat dari 60%menjadi 70% terhadap total penjualan di dalam negeri.
Produk garmen impor yang masuk, kata Ramon, terutama dari Tiongkok dan Vietnam. “Vietnam memang menjadi saingan kita di kelas bawah, dan buat kita memang agak berat. Karena itu, sekarang kita fokus di pasar menengah. Saat ini, kami sedang memikirkan bagaimana cara mengatasi persaingan dengan produk TPT Vietnam,” ungkap dia.
Ramon menambahkan, bermain di pasar TPT kelas menengah, mene­ ngah ke atas, dan atas, juga semakin sulit. Sebab, pasar yang akan dinikmati juga semakin kecil.
“Pasar TPT di dunia itu berkarakter seperti piramida. Semakin bawah, pasarnya semakin besar. Semakin ke atas, pasarnya semakin kecil,” kata Ramon.
Cegah Penyusutan
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman mengatakan, pelaku industri di dalam negeri tengah berupaya mencari jalan keluar agar potensi penyusutan surplus perdagangan TPT tidak semakin bertambah.
“Kami masih melakukan pembahasan, mencari solusi yang tepat. Berbagai upaya masih bisa dilakukan, seperti misalnya pemberlakuan kuota impor atau kebijakan antidumping,” kata Ade.
Dia menegaskan, penyusutan surplus memang akan terjadi pada tahun ini. “Tahun lalu, kita bisa surplus US$ 5,3 miliar. Tapi tahun 2014 tidak bisa sebesar itu lagi. Impor tahun ini me­ lonjak, mulai dari kain, garmen, dan serat,” jelas dia.
Sepanjang 2014, menurut Ade, Industri TPT harus mengimpor bahan baku senilai US$ 8,5 miliar (Rp 101,97 triliun) untuk memenuhi kebutuhan produksi nasional. Impor dilakukan karena harganya yang lebih murah ataupun atas permintaan buyer.
“Secara total, impor bahan baku untuk industri TPT tahun ini diperkirakan mencapai US$ 8,5 miliar. Bahan baku itu biasanya didatangkan dari negara-negara seperti Tiongkok dan Korea Selatan,” kata Ade.
Dia menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan ekspor, industri TPT nasional mendatangkan bahan baku dari luar negeri sebesar US$ 6 miliar. Besarnya impor tersebut tidak bisa dihindari karenabuyer telah menentukan bahan baku yang akan digunakan, misalnya harus memakai kain dari Korea Selatan atau Tiongkok.
“Bea masuk (BM) bahan baku impor untuk produksi tujuan ekspor memang dinolkan. Kalau bukan untuk tujuan eks­por, BM bahan baku impornya berlaku ketentuan yang ada,” tutur Ade.
Selain untuk kepentingan ekspor, lanjut Ade, industri di dalam negeri juga lebih memilih bahan baku impor karena harganya yang lebih murah. Hal itu salah satunya disebabkan oleh biaya listrik yang ditanggung industri di Indonesia lebih mahal. Sebagai perbandingan, industri di Indonesia harus menanggung beban listrik sebesar 12 sen per kilowatt hour, sedangkan industri negara lain hanya 6 sen per kilo watt hour.
“Dari sisi biaya listrik saja, sudah kalah daya saingnya. Padahal, listrik itu hampir 20% dari total komposisi struktur biaya. Belum apa-apa sudah kalah bersaing. Jadinya, mereka lebih memilih bahan baku impor,” kata Ade.
Investor Daily, Jumat 29 Agustus 2014, hal. 6

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.