JAKARTA – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Pemprov Kal teng) akan memetakan lahan kritis di provinsi tersebut guna dialokasikan bagi perkebunan kelapa sawit. Itu dilakukan sebagai upaya Pemprov Kal teng dalammemenuhi permintaan du nia internasional agar produk minyak kelapa sawit yang dikonsumsinya bukan dari proses perusakan hutan (deforestasi). Saat ini, di Kalteng ter dapat sedikitnya 1,6 juta hektare (ha) lahan kritis.
Gubernur Kalteng Teras Narang mengungkapkan, peluang industri perkebunan kelapa sawit sangat menjanjikan. Hanya saja ada kecende rungan bahwa dunia internasional mengingingkan produk minyak sa wit yang berasal dari daerah bebas deforestasi (zero deforestation). Per mintaan itu dilakukan oleh consumer goods forum yang mewakili 300 peru sahaan pembeli dan penjual minyak sawit. Pada 2020, seluruh produk mi nyak sawit ditargetkan sudah memen uhi zero deforestation. “Artinya, tidak ada lagi pembukaan lahan perkebunan sawit di lahan produktif. Karena itu, kami akan gunakan lahan kritis untuk sawit. Di Kalteng, banyak tersedia dan tidak dimanfaatkan. Tidak ada lagi penebangan hutan,” kata dia di Ja_karta, kemarin.
Teras mengungkapkan, Pemprov Kalteng telah mengusulkan kepada Kementerian Kehutanan (Kemen hut) untuk memetakan dua kawasan daratnya menjadi dua, yakni kawasan hutan 67% dan nonkawasan hutan 33%. Apabila dikabulkan, Pemprov Kalteng akan memberikan perizinan untuk kepentingan ekonomi, terma suk perkebunan sawit, pada lahan yang 33% dan tidak akan mengganggu yang 67%. “Kawasan yang 67% tersebut masuk kawasan hutan lindung, kon servasi, produksi, dan lain sebagainya, itu tidak akan diganggu. Kami hanya akan memanfaatkan lahan-lahan yang memang tidak ada lagi tegakan hutan apalagi hutan rawan,” kata dia.
Menurut Teras Narang, untuk merealisasikan komitmen Pemprov Kalteng tersebut memang dibutuhkan kesepakatan bersama tentang definisi minyak sawit bebas deforestasi. Selama ini, berbagai organisasi internasional telah mengajukan definisi deforestasi dari sudut pandang ilmiah. Sementara dalam kerangka sistem regulasi di Indonesia juga telah memberikan pedoman legal untuk mendefinisikan deforestasi. PemprovKaltengmenyata kan, saat ini ada 1,6 juta ha lahan kritis yangmasih tersedia untuk dikeluarkan izin pemanfaatannya, namun itu perlu dikaji lagi apakah bertambah atau jus tru berkurang.
Lebih jauh Teras menjelaskan, melalui proses perencanaan ketata ruangan, alokasi dan fungsi-fungsi keruangan ter tentu dialokasikan pada lahan negara. Sedangkan areal penggunaan lain (APL) secara spesifik ditujukan bagi berbagai kegiatan ber sifat produktif. Demikian pula untuk kawasan yang dialokasikan sebagai hutan produksi konversi (HPK) hanya dapat dikonversi setelah mendapat izin pelepasan dari Kemenhut. “Ideal nya, tidak ada tutupan hutan pada areal APL maupun HPK. Namun pada kenyataannya, tutupan hutan alami masih seringkali dijumpai di kedua areal tersebut. Itu disebabkan terbatasnya informasi yang tersedia dalam proses penentuan dan peneta pan klasifikasi hutan,” kata dia.
Di Kalteng, kata Teras, saat ini ter dapat sekitar 1,5 juta ha lahan yang diklasifikasikan sebagai APL dan HPK yang memiliki tutupan hutan pada 2011. Dari luas tersebut, pemerintah telah mengeluarkan izin penggunaan lokasi sekitar 700 ribu ha dan 300 ribu ha di antaranya diberikan kepada per usahaan perkebunan, termasuk sawit. Pada lokasi tersebut, hutan dapat dikonversi untuk penggunaan lain secara legal, sehingga tidak dapat di kategorikan sebagai kegiatan defores tasi dalam kerangka sistem hukum di Indonesia. “Pada pertemuan dengan pelaku usaha dan kementerian terkait, kami menyarankan agar pemerintah dapat menemukan formulasi tepat tentang definisi deforestasi yang bisa disepakati bersama baik berdasarkan kaidah ilmiah maupun sistem legal di Indonesia,” ujar dia. (c07)
Investor Daily, Kamis 28 Agustus 2014, Hal. 7