Produsen Global Didesak Bangun Basis Produksi di Indonesia

JAKARTA – Pelaku usaha yang tergabung dalam Aliansi Sembilan Asosiasi mendorong produsen merek global menjadikan Indonesia sebagai basis produksi. Pasalnya, saat ini, sejumlah produk konsumsi yang di­jual di toko tradisional dan modern masih didominasi produk impor. Padahal, produkproduk tersebut bisa saja diproduksi di da­lam negeri.
Sembilan asosiasi yang tergabung adalah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), National Meat Processor Association (Nampa), Asosiasi Pemilik Merek Lokal Indonesia (Amin), Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia (Apgai), Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium (Aprogakbob), Gabungan Elektronik (Gabel), dan Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim).
Himbauan itu disampaikan terkait implementasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 70/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Per­mendag tersebut menetapkan, pusat perbelanjaan dan toko modern wajib menyediakan barang dagangan produksi dalam negeri setidaknya 80% dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan. Ketentuan tersebut dapat dikecualikan jika toko terkait mendapat rekomendasi dari Forum Komunikasi (Forkom) Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
“Saat ini, kontribusi produk impor di toko modern dan tradisional masih sama-sama ba­ nyak. Karena itu, kami aktif mensosialisasikan Permendag ini, supaya pelaku usaha nasional, termasuk pasar-pasar tradisional di daerah juga sadar. Permendag ini berdampak positif untuk mendorong pencipataan nilai tambah di dalam negeri dan akan menciptakan lapang­an kerja serta membantu mengatasi defisit neraca perdagangan kita,” kata Ketua Aliansi sembilan Asosiasi Putri K Wardani saat jumpa pers di Jakarta, Senin (25/8).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), saat ini baru minimarket dan supermarket yang memenuhi ketentuan untuk menjual 80% produk dalam negeri di gerai masing-masing. Sedangkan toko-toko stand alone seperti butik dengan produksi massal, specialty store, dan department store baru menjual produk lokal kurang dari 80%. Sementara untuk segmen hipermarket, belum ada audit yang dilakukan.
Wakil Ketua UmumGapmmi bidang UMKM BetsyMonoarfamengatakan, produkmakanan dan minuman (mamin) olahan impor mendominasi toko-toko modern, terutama milik ­asing dan yang target pasarnya warga asing. Sedangkan untuk segmen secondary market, sekitar 90% produk mamin olahan yang dijual adalah produksi lokal.
Sementara itu, Wakil Ketua UmumGabel Ali Soebroto Oentaryo mengatakan, sekitar 40% barang elektronik yang dipasarkan di dalam negeri adalah produk lokal. Sedangkan 60% sisanya merupakan impor.
Menurut Ali, barang yang diimpor biasanya produk dengan ukuran kecil, seperti misalnya TV.Sementara itu, home appliances yang kecil seperti juicer lebih banyak diimpor. Barangbarang elektronik yang diproduksi lokal biasanya adalah produk dengan ukuran besar, seperti kulkas dan mesin cuci.
Sementara itu, Putri yang juga Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi (PPA) Kosmetika mengatakan, sekitar 20% dari omzet kosmetika tahun 2013 yang senilai Rp 80 triliun adalah barang ilegal. Sekitar 75-80% diantaranya merupakan produk impor.
“Dalam5-7 tahun terakhir, jumlahmasyarakat kelas menengah kita tumbuh menjadi sekitar 60 juta orang. Saat ini, Thailand sudah mencapai 70 juta orang. Kalau kita tidak cerdas menyikapi dan mengolah pasar domestik, Indonesia akan menjadi tujuan ekspor negara lain,” ungkap dia.
Putri menegaskan, pihaknya tidak anti terhadap merek luar, karena produk-produk tersebut bisa menambah pilihan bagi konsumen. “Tapi, kalau barang tersebut memang sudah bisa diproduksi di sini, kenapa tidak diajak investasi di sini,” kata dia. (eme)
Investor Daily, Selasa 26 Agustus 2014, Hal. 8

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.