JAKARTA – Indonesia membutuhkan UU tentang Kelautan yang memuat dasar filosofis, sosiologis, yuridis, serta sesuai dengan konsepsi geopolitik bangsa, agar dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan. Keberadaan UU yang saat ini masih berbentuk draf Rancangan UU (RUU) tentang Kelautan itu akan mengatur pemanfaatan wilayah laut secara komprehensif. Saat ini, sedikitnya ada 23 UU sektoral terkait bidang kelautan, tetapi belum ada UU yang mengintegrasikan berbagai UU tersebut.
Menteri Kelutan dan Perikanan (KP) Sharif Cicip Sutardjo mengatakan, RUU Kelautan diharapkan dapat menjadi instrumen regulasi untuk mewujudkan kelautan sebagai bidang andalan (leading sector) dalam pembangunan nasional, sehingga Indonesia bisa disebut sebagai negara maritim. Negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut, meski negara tersebut mungkin tidak punya banyak laut tetapi mempunyai kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan, dan lain-lain untuk mengelola dan memanfaatkan laut dari ruang maupun kekayaan alamnya. Banyak negara kepulauan atau negara pulau yang tidak atau belum menjadi negara maritim. “Indonesia adalah negara kepulauan yang sedang menuju atau bercita-cita menjadi negara maritim,” kata dia di Jakarta, Senin (25/8).
Menurut dia, saat ini belum ada peraturan yang dapat dijadikan landasan untuk membuat tata ruang laut nasional. Sebab yang ada saat ini baru tata ruang laut hingga 12 mil sebagaimana diamanatkan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian disempurnakan dengan UUNo 1 Tahun 2014. “Kehadiran UU Kelautan yang saat ini masih berupa RUU tentang Kelautan sangat diperlukan agar kebijakan nasional pengelolaan laut terintegrasi,” ujar Sharif.
Sharif menyatakan, UU Kelautan mempunyai fokus di antaranyamainstreamingdan percepatan pembangunan kelautan nasional ke depan. Lalu, breakthrough terhadap permasalahan peraturan perundangan yang ada, outward looking terhadap kepentingan kelautan bagi bangsa Indonesia ke depan. Di sisi lain, menetapkan yang belum diatur dalam UU yang sudah ada di bidang kelautan dan mengacu pada UNCLOS dan kondisi geografis Indonesia.
Sekjen Kementerian KP Sjarief Widjaja menjelaskan, secara historis RUU tentang Kelautan sudah sangat lama dibahas, baik di pemerintah, DPR, DPD, maupun antara pemerintah, DPD, dan DPR. Pemerintah, DPD, dan DPR saat ini tengahmelakukan finalisasi terhadap RUU Kelautan tersebut dan diharapkan akan disahkan pada kabinet saat ini.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut 5,8 juta km persegi, terdiri atas perairan teritorial 3,1 juta kilometer persegi dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia 2,7 kilometer persegi. Indonesia juga terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang pantai 104 ribu kilometer. Indonesia juga memiliki berbagai potensi sumberdaya alam yang melimpah sehingga diperlukan payung hukum yang mengatur keseluruhan sektor yang terkait dengan sumber daya kelautan secara terpadu. Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan diawali dengan Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Pada 1982 ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III 1982 yaitu United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.
Sebagai konsekuensi dari UNCLOS 1982, Indonesia dituntut untuk menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumberdaya kelautan berdasarkan ketentuannya. Diantaranya, menyelesaikan penataan batas maritim (perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen). Tentunya seluruh wilayah laut tersebut harus dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dan secara berkelanjutan.
Kemenko Maritim
Pada kesempatan itu, Sharif juga memberikan komentarnya terkait wacana penyatuan Kementerian KP dan Kementerian Per tanian (Kementan). Selama 10 tahun terakhir, KKP berupaya terus memperbaiki kinerja. Sejak 2012-2013, KKP telah memperoleh pengakuan atas tata kelola yang baik, ombudsman, wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan penerapan teknologi informasi yang cukup baik. “Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekonomi produk primer perikanan tahun lalu Rp 300,6 triliun dan diperkirakan mencapai Rp 512 triliun jika dihitung dengan produk olahan perikanan. Sedangkan Kementan belum WTP. Itu adalah pertumbuhan yang cukup baik. Kalau digabung dengan Kementan, KKP sudah di atas, jangan sampai KKP melorot lagi,” ujar dia.
Selain itu, kata dia, kelautan juga telah berhasil memberi kontribusi dalam meningkatkan perekonomian. Itu tercermin dari produk domestik bruto (PDB) kelautan dan perikanan pada 2013 sebesar 6,9% yang lebih tinggi ketimbang PDB nasional 5,6%, atau bahkan PDB pertanian yang hanya 3,5%. Ekspor produk perikanan mencapai Rp 45 triliun dan impor hanya 4-6 triliun. Nilai tukar nelayan juga lebih baik dibanding nilai tukar petani. Selain itu, KKP berhasil mendorong konsumsi ikan dalam negeri. Konsumsi ikan saat ini mencapai 35 kilogram (kg) per kapita per tahun, jauh lebih tinggi dibanding konsumsi daging yang hanya 2,5 kg per kapita per tahun. Produksi perikanan juga naik tajam menjadi 19,59 juta ton dibanding 10 tahun lalu yang hanya 2 juta ton. “Masalah darat dan laut berbeda. Apalagi, prestasi perikanan sudah cukup maju sehingga harus ada yang mampu mengkoordinir dengan baik. Kami sangat setuju kalau ada Kemenko Maritim, perlu orang yang bisa mengatur dan konsepnya jelas,” kata Sharif. (ina)
Investor Daily, Selasa 26 Agustus 2014, Hal. 25