Insentif Pajak Ekspor Minim Daya Saing Produk Industri Indonesia Masih Rendah

BANDUNG, KOMPAS — Kinerja ekspor produk-produk industri dari Indonesia selama ini kalah dibandingkan produk industri dari negara pesaing seperti Tiongkok dan Vietnam. Kondisi kalah bersaing ini, antara lain, akibat minimnya dukungan di sisi perpajakan bagi eksportir.
”Tiongkok, misalnya, mengembalikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekitar 14 persen bagi eksportir,” kata Menteri Perindustrian MS Hidayat di Bandung, akhir pekan lalu.
Kebijakan pengembalian atau pengurangan pajak ini menguntungkan bagi para eksportir. Hal ini yang membuat harga produk ekspor Tiongkok menjadi murah dan kompetitif dalam menguasai pasar dunia.
Pengusaaan pasar internasional oleh produk-produk ekspor Tiongkok yang volumenye besar tersebut akhirnya kembali menghasilkan devisa besar bagi negeri tersebut. ”Bayangkan saja besarnya akumulasi pendapatan devisa jika kebijakan itu diterapkan serentak bagi ribuan eksportir,” kata Hidayat.
Hidayat mengatakan, pihaknya sudah menanyakan kepada Kementerian Keuangan mengenai kemungkinan penerapan kebijakan serupa untuk mendorong kinerja ekspor. Namun, sejauh ini kebijakan tersebut belum bisa diberlakukan di Indonesia.
Ditanya apakah ada kemungkinan pemerintahan baru mempertimbangkan penerapan kebijakan itu, Hidayat secara diplomatis meminta menanyakannya kepada pemerintahan baru saja.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menilai, keengganan penerapan kebijakan pengembalian PPN dalam waktu dekat dilatarbelakangi rasa tidak saling percaya antara wajib pajak dan pengelola pajak.
”Misalnya, seharusnya 10 persen, tetapi yang dikembalikan hanya 8 persen sehingga ada biaya yang mengakibatkan saling tidak percaya,” ujarnya. Ade menuturkan, pengembalian pajak pernah dilakukan pada 1990-an, tetapi pelaksanaannya tak berjalan dengan baik.
Kondisi itu, antara lain, akibat masih digunakannya sistem manual dalam pengurusan prosesnya sehingga membuka peluang terjadinya kesalahan manusia. Komputerisasi baru dilakukan sekitar tahun 2006 dan itu pun belum sepenuhnya.
Menurut Ade, kinerja ekspor dapat didorong melalui perjanjian perdagangan bebas dengan negara maju yang produknya komplementer atau bersifat saling mengisi dengan Indonesia.
”Menurut saya, Indonesia perlu menjalin perdagangan bebas dengan negara maju. Vietnam sudah melakukannya dan Tiongkok pun menjadikan AS dan Eropa sebagai pasar,” ujar Ade.
Daya saing rendah
Sebagai gambaran, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia sekarang hanya 12,6 miliar dollar AS per tahun. ”Nilai ini kalah dibandingkan Vietnam yang mampu mengekspor TPT senilai 19,2 miliar AS. Apalagi dibandingkan Tiongkok yang nilai ekspornya 298 miliar dollar AS,” kata Ade, Minggu (20/7).
Tarif listrik bagi industri di Vietnam murah karena menggunakan tenaga nuklir, yakni 6 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). ”Tarif listrik di Indonesia 10 sen dollar AS per kwh,” kata Ade.
Rendahnya daya saing produk industri ini tak lepas dari daya saing global produk ekspor Indonesia. Merujuk data Global Competitiveness Report 20122013, daya saing Indonesia peringkat ke-50 dari 144 negara. Jauh di bawah Singapura di posisi ke-2, Malaysia (25), Brunei (28), dan Thailand (38).
Daya saing yang rendah ini membuat total ekspor Indonesia ke ASEAN juga rendah. Berdasarkan data Sekretariat ASEAN, pada 2012, Singapura mengekspor ke ASEAN sebesar 130,235 miliar dollar AS dan mengimpor 80,087 miliar dollar AS.
Disusul Malaysia dengan nilai ekspor 50,592 miliar dollar AS dan impor 55,078 miliar dollar AS. Thailand mengekspor ke ASEAN 56,729 miliar dollar AS dan impor 42,805 miliar dollar AS. Indonesia mengekspor 41,831 miliar dollar AS dan impor 53,823 miliar dollar AS. (CAS)
Kompas 21072014 Hal.18

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Leave a Comment