Perkuat Manajemen Risiko Bank Indonesia Siapkan Aturan untuk Swasta

JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia meminta perusahaan swasta nonbank untuk meningkatkan manajemen risiko pengelolaan utang luar negeri. Utang luar negeri swasta jumlahnya terus meningkat mencapai 151,5 miliar dollar AS atau Rp 1.773,459 triliun per Mei 2014.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menegaskan, utang luar negeri swasta (ULN) nonbank perlu diatur lebih detail.
”Sudah ada regulasi ULN badan usaha milik negara dan perbankan sehingga sejauh ini masih aman. Dalam waktu dekat ini, BI akan mengeluarkan ketentuan mengenai pengelolaan ULN swasta dan nonperbankan,” kata Agus di Jakarta, pekan lalu.
Utang luar negeri perbankan tidak boleh lebih dari 30 persen total utang. Utang badan usaha milik negara harus disetujui oleh tim pinjaman komersial luar negeri (PKLN). Tim PKLN terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur BI, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan menteri teknis.
Total ULN Indonesia pada Mei 2014 mencapai 283,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.320,99 triliun, meningkat 9,7 persen dibandingkan Mei 2013. Utang swasta telah mencapai 53 persen dari total utang luar negeri Indonesia periode Mei 2014.
ULN swasta didominasi utang perusahaan nonlembaga keuangan. Dari total ULN swasta sebanyak 151,5 miliar dollar AS, utang milik perbankan 27,523 miliar dollar AS dan utang perusahaan nonbank 123,968 miliar dollar AS. Utang perusahaan nonbank terdiri dari utang lembaga keuangan nonbank 8,749 miliar dollar AS dan utang perusahaan nonlembaga keuangan 115,219 miliar dollar AS.
Nilai tukarAgus mengatakan, ketentuan ULN swasta nonbank akan mengatur beberapa hal, antara lain risiko nilai tukar, likuiditas, dan pinjaman produktif.
”Harus diyakinkan bahwa tidak terdapat risiko nilai tukar, likuiditas tetap terjaga, dan arah pinjaman adalah untuk keperluan produktif,” kata Agus.
Risiko nilai tukar adalah risiko yang harus ditanggung debitor jika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah akan membuat utang dalam denominasi rupiah menjadi lebih besar meski dalam dollar AS sama besarnya. Dampak paling fatal adalah perusahaan bisa gagal bayar jika beban utang terlalu besar.
Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Revrisond Baswir, mengingatkan, pertumbuhan utang luar negeri perusahaan dipengaruhi inefisiensi penggunaan modal. Sebagian perusahaan terlalu bo-
ros menggunakan anggaran sehingga mengalami kesulitan likuiditas.
”Setelah kesulitan likuiditas, perusahaan lalu berutang. Model perusahaan seperti ini yang harus terus dipantau supaya tidak menyebabkan masalah yang lebih besar di masa mendatang,” kata Revrisond. (AHA)
Kompas 21072014 Hal.17
Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Leave a Comment