JAKARTA – The Housing Urban Development (HUD) Institute akan melakukan uji materi (judicial review) terhadap UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP). Undang – undang tersebut dinilai meresahkan pengembang, khususnya terkait pasal tentang hunian berimbang.
Direktur The HUD Institute Zulfi Syarif Koto mengatakan, UU PKP masih banyak kelemahan, termasuk soal penafsiran dan implementasi di lapangan yang sudah salah jalan. Karena itu pihaknya akan melakukan uji materi terhadap UU tersebut, khususnya untuk pasal 34 sampai 37.
“Kami siap ajukan uji materi supaya masalah perumahan tidak dijadikan alat politik. Sebab, rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) merupakan beban dan tanggung jawab pemerintah,” kata Ketua The HUD Institue Zulfi Syarif Koto, dalam Diskusi “Menyoal Kriminalisasi Hunian Berimbang,” di Jakarta, Jumat (11/7).
Hadir dalam diskusi tersebut, di antaranya pakar perumahan dari Pusat Kajian Kebijakan Perumahan Rakyat Universitas Gajah Mada (UGM) Budi Prayitno, Pemerhati Sosial Perumahan Publik Institut Teknlogi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar, Pemerhati Sosiologi Permukiman Perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriyanta, praktisi hukum Muhammad Joni dan pengamat properti Ali Tranghanda.
Joni menilai kasus pengaduanMenteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz terhadap pengembang yang tidak melaksanakan hunian berimbang dianggap cacat hukum. Sebab, UU tersebut belum memiliki turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP). Sedangkan Peraturan Menteri (Permen) tidak kuat dasar hukumnya untuk memberikan sanksi. Di samping itu, sanksi tersebut seharusnya berada di daerah masing-masing, di mana payung hukumnya adalah Perda (Peraturan daerah).
“Kalau saya lihat pelaporan itu tidak memiliki kekuatan hukum, UU ada, PP tidak ada, Permen ada dan Perda tidak ada untuk pelaksanaan di bawahnya. Dengan demikian, kekuatan hukum nya lemah,” tegas dia.
Menurut Jehansyah, pelaporan masalah hunian berimbang menimbulkan ketidakpastian iklim berusaha, kepemilikan rumah hingga hukum. Sebab, persoalan hunian berimbang sudah masuk dalam ranah hukum dan pengembang seolah dituduh melakukan kejahatan atau tindakan kriminal.
Jalan Pintas
Merujuk kepada UU Kementerian Negara Nomor 39 tahun 2008, fungsi kementerian adalah melakukan perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, bukan mengkriminalisasikan kebijakan tersebut. “Kami lihat Kemenpera tidak menjalankan tugasnya secara optimal sesuai UU. Sebaliknya, mencari jalan pintas dengan menjadikan kelemahan pelaksanaan tugasnya sebagai kasus hukum. Kriminalisasi pengembang dalam masalah hunian berimbangmengindikasikan pelaksanaan kebijakan perumahan yang jauh dari efektif,” papar Jehansyah.
Pemerintah seharusnya belajar dari masa lalu, ketika pada 1990-an hunian berimbang ditetapkan melalui SKB tiga menteri untuk mengurangi backlog perumahan, yang ternyata tidak efektif. Sebab, pemerintah berkutat pada kewajiban pengembang dan angka-angka untukmemaksa pengembang membangun rumah murah.
Budi Prayitno menilai, laporanMenpera Djan Farids terhadap pengembang kepada pihak berwajib, menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menyediakan hunian bagi rakyatnya sesuai amanat UUD. Kebijakan peme rintah terhadap perumahan belum menjadi agenda nasional. Penanganan sektor perumahan masih lintas sektoral dan karut-marut antara Kementerian Perumahan dan Kementerian Pekerjaan Umum.
“Perumahan merupakan hak dasar yang wajib dilakukan oleh pemerintah. Bukan pengembang yang diwajibkan untuk membangun rumah MBR,” tegas dia.
Hanya Membantu
Pengamat properti dari Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda berpandangan senada. Dia juga menilai, bahwa posisi pengembang hanya membantu tugas pemerintah dalammembangun rumah bersubsidi. Sebab, inti bisnis dari pengembang adalah mencari keuntungan.
“Hunian berimbang itu sebetulnya menciptakan keseimbangan. Namun bila dilimpahkan ke pengembang semua, nggakbenar dong. Pengembang itu dalam porsi membantu,” kata Ali.
Dalam amatan Ali, pemerintah menyerahkan realisasi target pembangunan 121 ribu rumahMBR pada 2014 kepada pengembang. Seharusnya, pemerintah tidak begitu saja melimpahkan tanggungjawabnya membangun rumah MBR kepada pengembang. Jika tetap ingin melimpahkan kepada pengembang, pemerintah harus bersedia menyediakan lahan.
Investor Daily, Senin 14 Juli 2014, hal. 24