JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah harus adil dalam memberlakukan seluruh isi renegosiasi terhadap pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara. Selain itu, pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus patuh terhadap segala aturan hukum di Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik di Jakarta, Sabtu (12/7), pemerintah terkesan mengistimewakan pemegang kontrak karya yang bermodal besar dalam penerapan isi renegosiasi. Padahal, mereka punya kewajiban yang sama dengan pemegang izin usaha pertambangan (IUP).
”Kesan yang ada, pemerintah kurang tegas terhadap pemegang kontrak karya. Itu menyangkut keengganan beberapa perusahaan membayar royalti sesuai aturan yang baru, yaitu 3,75 persen untuk emas dari sebelumnya yang hanya 1 persen. Selain itu, mereka juga enggan melakukan pengolahan dan pemurnian konsentrat,” ujar Ladjiman.
Ada enam poin dalam renegosiasi yang diajukan pemerintah terhadap pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Keenam poin itu adalah mengenai luas wilayah pertambangan, penerimaan negara (royalti), kewajiban divestasi, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral, kelanjutan operasi, serta pemanfaatan barang dan jasa di dalam negeri.
Ladjiman menambahkan, dalam organisasi yang ia pimpin, terhimpun sekitar 200 perusahaan pemegang IUP. Mereka sudah patuh membayar royalti sebesar 3,75 persen, serta melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Hal itu sudah dilakukan dalam kurun 2-3 tahun terakhir.
”Masa kontrak karya yang modalnya lebih besar tak mau dan mampu membuat pengolahan dan pemurnian? Pemerintah harus perhatikan itu,” kata Ladjiman.
Ladjiman mengakui, pemerintah turut berperan terhadap lambannya proses renegosiasi berjalan. Contohnya adalah mengenai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. PP itu terbit tiga tahun setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Hal yang sama diutarakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Sumberdaya Alam Indonesia Marwan Batubara. Menurut dia, pemerintah agak lamban membuat aturan turunan dari UU Nomor 4/2009 tersebut.
”Aturan turunan dari UU Nomor 4/2009 baru terbit tiga tahun kemudian. Wajar jika kontraktor juga terlambat membangun fasilitas pengolahan. Artinya, pemerintah juga berkontribusi terhadap keterlambatan tersebut,” kata Marwan. (APO)
Kompas, Senin 14 Juli 2014, hal. 14