Pengolahan Mineral Molor Industri Pembiayaan Terkena Dampak

JAKARTA, KOMPAS — Laba bersih industri pembiayaan turun 32,4 persen pada triwulan I-2014 dibandingkan periode yang sama tahun 2013 karena melemahnya kinerja sektor pembiayaan pertambangan. Hal ini terjadi karena fasilitas pengolahan banyak yang belum terbangun.
Dalam laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triwulan I-2014, laba bersih industri pembiayaan triwulan I-2013 masih mencapai Rp 3,44 triliun, berasal dari selisih beban operasi Rp 12,7 triliun dan pendapatan operasional Rp 16,21 triliun. Namun, laba bersih industri pembiayaan triwulan I-2014 turun menjadi Rp 3,2 triliun karena pendapatan operasional turun signifikan menjadi Rp 12,26 triliun, sementara beban operasional hanya turun Rp 9,72 triliun.

Direktur Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Nonbank OJK Firdaus Djaelani mengatakan, kinerja pembiayaan sektor pertambangan sangat terpengaruh oleh belum siapnya pabrik pengolahan bahan mentah mineral.
”Ketentuan mengenai pembangunan pabrik pengolahan sebetulnya sudah lama terbit, tetapi saat efektif diimplementasikan, belum banyak perusahaan yang siap beroperasi. Akibatnya, banyak perusahaan mengurangi operasional sehingga kebutuhan pembiayaan sektor pertambangan menurun,” kata Firdaus, Minggu (13/7).
Pemerintah menggulirkan program hilirisasi sektor pertambangan sebagai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang efektif berlaku sejak awal 2014. Sejak undang-undang itu berlaku, ekspor bahan mentah mineral dilarang.
Pabrik pengolahan
Perusahaan-perusahaan pertambangan mineral, baik sendiri atau berkelompok, diwajibkan membangun pabrik pengolahan untuk memproses bahan mentah tambang supaya bisa diekspor. Namun, saat undang-undang itu berlaku, target pembangunan pabrik pengolahan umumnya belum sesuai perencanaan sehingga produksi, terutama untuk ekspor terganggu.
Pengaruh pembiayaan pertambangan terhadap industri pembiayaan sangat besar. Penurunan laba bersih terjadi saat aset industri pembiayaan dan industri keuangan nonbank tumbuh. Triwulan I-2014, aset industri pembiayaan Rp 401,96 triliun, tumbuh 15,9 persen dibandingkan aset triwulan I-2013 Rp 346,93.
Piutang industri pembiayaan juga tumbuh dari Rp 309,59 triliun pada triwulan I-2013 menjadi Rp 351,05 triliun pada triwulan I-2014.
”Penurunan memang hanya terjadi di sektor pembiayaan pertambangan karena secara umum, kinerja perusahaan pembiayaan dan kredit konsumer tetap tumbuh,” kata Firdaus.
Piutang perusahaan pembiayaan sektor sewa guna usaha (leasing) masih tumbuh dari Rp 105,53 triliun pada triwulan I-2013 menjadi Rp 115,2 triliun pada triwulan I-2014. Sementara, piutang sektor pembiayaan konsumer tumbuh dari Rp 198,53 triliun menjadi Rp 228,03 triliun.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Natsir Mansyur menjelaskan, sektor pertambangan kemungkinan besar belum akan pulih dalam jangka pendek. Akibatnya, sektor-sektor yang terkait dengan pertambangan seperti pembiayaan juga belum akan pulih dalam jangka pendek.
”Kebijakan mengenai hilirisasi sudah berjalan tujuh bulan, tetapi kebutuhan gas, listrik, dan insentif untuk pabrik pengolahan belum siap. Akibatnya, bisnis pertambangan tak bisa beroperasi,” kata Natsir.
Saat ini, menurut Natsir, bisnis pertambangan mineral stagnan. Kondisi ini mengakibatkan kredit macet dan pemutusan hubungan kerja.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Asosiasi Pembiayaan Indonesia Suhartono mengatakan, pertumbuhan pembiayaan antara lain didorong oleh strategi pabrikan sepeda motor.
”Agen tunggal pemegang merek memperkirakan, pertumbuhan produksi 2015 sekitar 6-8 persen. Industri pembiayaan kendaraan bermotor kira-kira juga akan tumbuh di rentang itu tahun depan,” katanya. (AHA)
Kompas, Senin 14 Juli 2014, hal. 14

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Leave a Comment