ENERGI: Soal Energi Terbarukan, Insentif adalah Kunci

Dalam sebuah webinar tentang pemakaian bahan bakar minyak ramah lingkungan, salah satu narasumber yang merupakan pejabat eselon I kementerian mengungkapkan sulitnya mendorong masyarakat memakai bahan bakar rendah emisi. Persoalannya pada harga. Bahan bakar kotor, tetapi berharga murah, cenderung lebih dipilih ketimbang bahan bakar yang lebih bersih, tapi mahal.

Ringkasnya, harga masih jadi pertimbangan utama. Jenis BBM yang diperkenankan digunakan untuk transportasi darat di Indonesia sesuai aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai baku mutu emisi adalah jenis pertamax dengan nomor oktan (RON) 92. Pertalite dengan RON 90 dan premium dengan RON 88 tidak memenuhi syarat lantaran batas minimum angka oktan dengan mengacu aturan tersebut adalah 91.

Dengan harga resmi yang ditetapkan pemerintah, premium dijual Rp 6.450 per liter. Sementara pertalite dan pertamax yang ditetapkan PT Pertamina (Persero) masing-masing dijual Rp 7.650 per liter dan Rp 9.000 per liter. Dengan demikian, selisih harga BBM kotor dengan yang lebih bersih berkisar Rp 1.350 per liter sampai Rp 2.550 per liter. Toh, aturan pemerintah tersebut di atas tak serta-merta menghilangkan penjualan premium dan pertalite.

Pemakaian energi bersih dan terbarukan menjadi perhatian global semenjak disepakatinya Perjanjian Paris 2015. Indonesia menjadi salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan tersebut. Berdasarkan perjanjian itu, seluruh negara bersepakat untuk menahan laju kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius.

Bahan bakar kotor, tetapi berharga murah, cenderung lebih dipilih ketimbang bahan bakar yang lebih bersih, tapi mahal.

Baca juga : Skema Pajak dan Insentif Percepat Pengembangan Kendaraan Listrik

Indonesia menindaklanjuti perjanjian tersebut dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim. Dengan kemampuan sendiri, Indonesia berambisi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dan sebesar 41 persen apabila didukung dunia internasional pada 2030.

Perangkat aturan yang mendukung pencegahan perubahan iklim di Indonesia salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Aturan ini menetapkan bauran energi primer pada 2025 yang terdiri dari batubara dengan porsi sebesar 30 persen; energi baru dan terbarukan 23 persen; minyak bumi 25 persen; dan gas bumi 22 persen. Adapun pada target bauran di 2050, porsi batubara diturunkan menjadi 25 persen; energi baru dan terbarukan naik menjadi 31 persen; minyak bumi turun menjadi 20 persen; dan gas bumi naik menjadi 24 persen.

Sampai tahun 2020, energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional baru mencapai 10,9 persen. Masih ada kekurangan lebih dari 22 persen hingga 2025. Indonesia sebenarnya punya peluang besar lantaran potensi sumber energi terbarukan mencapai 410.000 megawatt. Sementara pemanfaatannya sampai 2020 baru 10.476 megawatt atau sekitar 2,5 persen dari total potensi yang ada.

Sejumlah program yang dijalankan pemerintah untuk mengoptimalkan sumber energi bersih adalah pencampuran biodiesel dengan solar (B-30); co-firing pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan mencampurkan biomassa dan batubara; pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), baik skala besar atau pada atap bangunan; konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan gas atau energi terbarukan; pengembangan kendaraan listrik; serta pemanfaatan kompor listrik di skala rumah tangga.

Apabila harga kendaraan listrik dengan nilai pajak lebih rendah dari kendaraan berbahan bakar minyak, tentu harganya akan lebih murah.

Baca juga: Pemerintah Targetkan 15 Juta Kendaraan Listrik pada 2030

Program yang sifatnya masif atau bisa dilakukan publik adalah pemasangan PLTS atap; pemanfaatan kendaraan listrik; dan pemakaian kompor listrik. Sayangnya, belum ada kebijakan yang resmi mendukung kemudahan program tersebut. Misalnya, pajak yang lebih murah untuk pembelian kendaraan listrik ataupun insentif lain bagi masyarakat yang memasang PLTS atap atau pengguna kompor listrik.

Apabila pajak kendaraan listrik ditekan lebih rendah dan diberi insentif lain, harga jualnya tentu berpotensi lebih murah. Apabila harga lebih murah, tentu minat publik untuk memiliki kendaraan tersebut akan tinggi. Apalagi, penggunaan kendaraan listrik yang ditargetkan sebanyak 12 juta unit pada 2025 bisa menghemat konsumsi BBM 2,5 juta kiloliter dan menjadi 6 juta kiloliter di 2030.

Dampak ganda juga akan tercipta apabila pemerintah memberi insentif untuk mendorong pemanfaatan PLTS atap maupun kompor listrik. Insentif sebagai langkah awal untuk optimalisasi energi terbarukan di Indonesia dapat menjadi cara yang strategis. Toh, bukannya subsidi tarif listrik dari PLTU, harga premium dan biosolar, juga bisa disebut insentif?

Sebenarnya, banyak jalan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber bersih dan terbarukan. Semua bergantung pada kesungguhan, niat politik, dan kepemimpinan.

Baca juga : Jutaan Lapangan Kerja Baru Terbuka di Proyek Energi Terbarukan

KOMPAS, KAMIS 21 Januari 2021 Halaman 9.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.