JAKARTA, KOMPAS — Implementasi kebijakan tarif bea meterai tunggal Rp 10.000 masih menunggu produksi meterai tempel selesai dan infrastruktur meterai elektronik siap. Oleh karena itu, masyarakat masih bisa menggunakan meterai lama dengan nilai paling sedikit Rp 9.000 hingga 31 Desember 2021.
Tarif bea meterai tunggal Rp 10.000 seharusnya berlaku mulai 1 Januari 2021 sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020. UU tentang bea meterai itu disahkan dan diundangkan pada 26 Oktober 2020. Sebelumnya, bea meterai diatur dalam UU No 13/1985.
Dalam UU 10/2020, tarif bea meterai ditetapkan senilai Rp 10.000 per dokumen dan tidak ada lagi bea meterai Rp 3.000 atau Rp 6.000. Kebijakan satu tarif ini berlaku untuk meterai tempel dan meterai elektronik. Batasan bea meterai juga disederhanakan dari minimal Rp 250.000 menjadi Rp 5 juta.
Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Kementerian Keuangan Nurfransa Wira Sakti yang dihubungi pada hari Selasa (5/1/2020) menuturkan, bea meterai tunggal Rp 10.000 tidak serta-merta berlaku. Ada ketentuan peralihan selama satu tahun dari 1 Januari sampai 31 Desember 2021 berdasarkan UU No 10/2020.
Meterai yang telah dicetak berdasarkan UU No 13/1985 atau meterai lama Rp 3.000 dan Rp 6.000 masih bisa digunakan dengan syarat nilai total meterai yang dibubuhkan pada dokumen paling sedikit Rp 9.000. Ketentuan ini berlaku sampai dengan satu tahun setelah UU No 10/2020 terbit.
”Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan desain dan mencetak meterai baru Rp 10.000. Kami harapkan dapat segera selesai dan diedarkan ke masyarakat,” ujar Nurfransa.
Baca juga : RUU Bea Meterai Diundangkan Paling Cepat pada 2020
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dalam lamannya menyebutkan, ada tiga ketentuan penggunaan meterai lama selama masa peralihan. Pertama, menempelkan meterai lama Rp 6.000 dan Rp 3.000 berdampingan. Kedua, menempelkan meterai Rp 3.000 sebanyak tiga buah. Ketiga, menempelkan meterai Rp 6.000 sebanyak dua buah.
Terkait pencetakan meterai, Head of Corporate Secretary Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) Adi Sunardi mengatakan, proses produksi meterai tempel Rp 10.000 telah selesai sesuai pesanan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Saat ini, meterai dalam proses distribusi dari Peruri ke pihak yang ditunjuk pemerintah.
”Peruri sudah menyelesaikan produksi meterai tempel 10.000 dan saat ini sudah proses distribusi ke PT POS sebagai pihak yang akan mendistribusikan meterai tempel,” kata Adi.
Tidak serius
Dihubungi secara terpisah, Selasa, anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, berpendapat, proses produksi dan distribusi meterai Rp 10.000 seharusnya sudah selesai. Pasalnya, ketentuan tarif bea meterai tunggal dalam UU No 10/2020 harus berlaku 1 Januari 2021. Ketentuan peralihan bukan berarti menunda kebijakan yang telah disepakati.
”Kesiapan dan keseriusan pemerintah dipertanyakan. Apalagi, kebijakan bea meterai tunggal ini berimplikasi ke potensi penerimaan pajak,” kata Misbakhun.
Kendala dalam proses produksi meterai tempel dan kesiapan infrastruktur meterai elektronik bukan alasan. Terlebih, revisi UU No 13/1985 diusulkan sendiri oleh pemerintah. Proses pembahasan revisi UU bea meterai juga telah berlangsung lama, yakni sejak 2014-2015 dan baru disahkan pada tahun 2020.
Misbakhun menekankan, meterai Rp 10.000 sebaiknya sudah terdistribusi ke masyarakat paling lambat akhir semester I-2020. Potensi penerimaan pajak dokumen dari pembayaran bea meterai cukup besar. Jangan sampai potensi pajak itu hilang di tengah kesulitan penerimaan akibat krisis.
”DPR bisa meminta KPK untuk menyelidiki potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kegagalan penerapan UU Bea Meterai per 1 Januari 2020. Ini masuk dalam korupsi kebijakan,” ujar Misbakhun.
Baca juga : Pemulihan Perlu Ditopang Reformasi Kebijakan, Termasuk soal Dongkrak Penerimaan
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menuturkan, potensi penerimaan pajak dari kenaikan tarif bea meterai bisa mencapai Rp 12,1 triliun pada tahun 2021. Potensi penerimaan cukup besar karena selain meningkatkan tarif, pemerintah juga memperluas pengenaan tarif ke meterai elektronik.
Penggunaan dokumen digital semakin meningkat di tengah aktivitas fisik yang kian terbatas. Pemerintah perlu mengakomodasi perubahan tersebut melalui regulasi untuk memberikan kepastian bagi masyarakat. Selain itu, aturan sebelumnya dinilai tidak relevan lagi dengan kondisi ekonomi, sosial, dan kemajuan teknologi informasi.
Menurut Suryo, kenaikan tarif bea meterai menjadi tunggal Rp 10.000 per dokumen tidak memberatkan. Tarif bea meterai selama 20 tahun tidak pernah naik sehingga apabila dihitung dengan inflasi masih cukup murah. Di sisi lain, batasan bea meterai juga ditingkatkan untuk melindungi bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah bernilai uang di bawah Rp 5 juta.
KOMPAS, RABU 06 Januari 2021 Halaman 9.