Tajuk Rencana Kompas 18 November 2020 mengambil judul ”Korupsi Masih Masif, Terus…”. Jika tajuk dipahami sebagai teropong dan refleksi redaksi atas apa yang menjadi kegelisahan publik, atau apa yang tengah dipikirkan publik secara penad, tentu pesan di dalamnya perlu menjadi perhatian bersama.
Ulasan tajuk itu merupakan respons atas dua hasil penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): (1) penelitian bersama UP4 Anti Corruption Resources Center, menemukan buruknya pengawasan di sektor kehutanan, yang mengakibatkan kian masifnya korupsi di sektor itu; (2) penelitian terkait pilkada, 82 persen calon dibiayai oleh cukong atau bandar politik.
Baca juga: Korupsi Masih Masif, Terus…
Ini diduga akan membawa akibat pada korupsi kebijakan yang mengancam kelangsungan pembangunan, lingkungan hidup, dan bahkan dikatakan demokrasi dapat menjadi hamba dari kekuatan pemodal. Karena itu, KPK diharapkan bertindak lebih dari sekadar melakukan kajian dan penyuluhan karena ”yang justru dibutuhkan bangsa ini adalah langkah konkret untuk membersihkan korupsi dari negara ini”.
Kita ada dalam satu garis dengan harapan tersebut.
Kita ada dalam satu garis dengan harapan tersebut. Namun, jika term itu dibaringkan di atas lintasan sejarah pemberantasan korupsi, barangkali soalnya akan berbeda. Tajuk Rencana Kompas 55 tahun lalu, tepatnya 14 September 1965, menggambarkan bahwa korupsi berurat berakar dan tak mungkin bisa diatasi dengan nasihat.
Lewat tajuk berjudul ”Pentjolengan Ekonomi”, Kompas menulis, ”Soal pentjoleng ekonomi sekarang ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu rakjat sekarang bukanlah pembitjaraan lagi, tapi tindakan konkrit: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!”
Baca juga: ”Pentjoleng” Ekonomi
Aspirasi bagi ”langkah konkret” memberantas korupsi ternyata tertanam dalam sejarah bangsa. Oleh sebab itu, besar kemungkinan persoalan yang tengah disorot sesungguhnya tidak terletak pada kinerja KPK, tetapi pada eksistensi KPK.
Apakah tindakan meng-ada-kan masuk dalam kategori antisipasi, yakni merespons apa yang akan terjadi, ataukah sebagai jawaban atas apa yang telah terjadi, yang keberadaannya dipandang telah merusak penyelenggaraan negara dan jika tidak dihilangkan, tidak saja membahayakan yang kini berjalan, tetapi juga mengancam kesehatan negara di masa depan.
Untuk memahaminya, kita dapat pergi kepada peristiwa 22 tahun lalu, tepatnya 13 November 1998, di mana MPR RI, dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, telah membuat keputusan penting, menerbitkan Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Baca juga: Tidak Gampang Bersih-bersih
Dalam Tap MPR tersebut diungkapkan: pertama, dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berakibat tak berfungsinya dengan baik lembaga tertinggi negara dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, serta tak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai saksi, Tap MPR XI/MPR/1998, jelas menunjuk adanya persoalan dalam penyelenggaraan negara: pemusatan kekuasaan.
Salah satu akibatnya, dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
Sebagai saksi, Tap MPR XI/MPR/1998, jelas menunjuk adanya persoalan dalam penyelenggaraan negara: pemusatan kekuasaan.
B Herry Prijono, dalam bunga rampai Korupsi yang Memiskinkan dalam artikelnya, ”Apa yang Dibusukkan Korupsi”, menulis: ”Jadi apa yang dibusukkan korupsi? Yang dibusukkan bukan hanya para pelakunya, tetapi terlebih seluruh kinerja, maksud dan tujuan mengapa semua institusi itu berdiri”. Dan ”karena semua institusi itu prasyarat mutlak hidup bersama kita, maka luasnya kebusukan yang melanda semua institusi itu juga membuat hidup bersama kita menjadi busuk”.
Kedua, sebagaimana tertulis pada huruf c, dikatakan: tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Baca juga: Kebangkitan Kesadaran Politik Mahasiswa
Rupanya, penglihatan MPR tidak saja mampu membaca ”yang tampak”, tetapi juga dapat menangkap aspirasi yang dirumuskan sebagai ”tuntutan hati nurani rakyat”. Hendak dikatakan bahwa rakyat menghendaki agar dilakukan pemulihan terhadap organisasi negara sehingga keberadaannya tidak lagi menyimpang dari maksud asali dibentuknya setelah bangsa menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Untuk sampai pada maksud tersebut, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada negara, melalui pengungkapan jati diri penyelenggara negara, sedemikian rupa sehingga rakyat dapat memastikan semua mereka benar-benar bekerja untuk melayani seluruh rakyat, dan bukan untuk melayani diri, keluarga, atau kelompok tertentu saja.
Keterangan singkat ini menjelaskan: pertama, jika ketetapan MPR RI itu dasar bagi terbitnya UU yang membentuk KPK, maka jelas bahwa KPK merupakan anak kandung reformasi.
Baca juga: KPK Menjawab Keraguan
Kedua, jika reformasi merupakan langkah konkret dari gerakan demokrasi untuk mengakhiri KKN di masa Orde Baru, dengan sendirinya pada diri KPK tak tersedia pengertian lain selain sebagai lembaga yang hanya memiliki satu dasar keberadaan sebagaimana maksud diadakannya, yakni menyelenggarakan langkah-langkah konkret—dalam kerangka pemberantasan korupsi.
Kalaupun ada nuansa antisipatif, pengertian itu tak berada di luar jalur penyelenggaraan langkah konkret, atau dapat dikatakan bahwa langkah antisipatif KPK adalah tindakan konkret, karena dengan itu: yang sedang berlangsung dihilangkan, dan yang akan terjadi dihindari. Oleh karena itu, hadirnya frasa ”yang justru dibutuhkan bangsa ini adalah langkah konkret untuk membersihkan korupsi dari negara ini”, terasa seperti bertemu pohon anggur merah berbuah kersen. Mengapa?
Demokratisasi ”demokrasi”
Apa yang terjadi sehingga harapan tak tiba pada kenyataan? Mengapa pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai penyelenggaraan negara dan harapan-harapan warga, yang ikut mendorong lahirnya reformasi, seperti kembali beredar di dalam ruang batin publik? Apakah hal ini berarti telah berlangsung keadaan di mana agenda reformasi tidak sedang diwujudkan, atau jika menggunakan term publik belakangan ini: reformasi dikorupsi?
Apa yang terjadi sehingga harapan tak tiba pada kenyataan?
Jika kita ambil pengertian korupsi dari Transparansi Internasional, yakni corruption as the abuse of entrusted power for private gain, maka ketika korupsi (tetap) berlangsung, bahkan dengan skala yang meluas, dapat dikatakan bahwa ”pengingkaran mandat” jabatan publik tengah berlangsung. Suatu keadaan yang justru jadi dasar pertimbangan Tap MPR No XI/MPR/1998.
Artinya, pada satu sisi gelombang demokrasi telah mampu melakukan koreksi melalui reformasi yang kemudian meletakkan aspirasi rakyat (pemberantasan KKN) sebagai mandat baru kepada negara, dan di sisi yang lain, demokrasi seperti tidak cukup tenaga untuk memastikan agenda berjalan secara konkret sehingga apa yang diemohi dalam kenyataan masih eksis.
Baca juga: Pelestarian Demokrasi
Apakah demokrasi demikian mudah disrimpung? Mengapa tata hidup bersama yang dihasilkan melalui proses demokrasi dapat menghasilkan keputusan yang tak memperkuat praksis demokrasi, dan sebaliknya justru mendangkalkan demokrasi? Mengapa mereka yang masuk lewat pintu pemilu tak serta-merta pada dirinya ”melekat” jiwa demokrasi?
Mungkin, jawabannya tersembunyi dibalik pengertian demokrasi. Peristiwa demokrasi dapat berjumlah banyak, tetapi kejelian meletakkan kedudukannya dalam rute demokratisasi akan membantu menjelaskan mengapa suatu proses yang disebut demokratik tidak menghasilkan buah demokrasi.
Uraian Ignas Kleden (Kompas.com, 10/4/2015) tentang hubungan parpol dan demokrasi menarik untuk jadi pikiran pembanding. Ignas mengungkapkan, ”Secara lebih tajam, partai-partai politik di Indonesia tidak ada peranannya dalam produksi demokrasi di Indonesia, tetapi hanya jadi konsumen utama demokrasi yang diproduksi oleh kekuatan-kekuatan sosial lainnya, seperti media, kelompok masyarakat sipil, gerakan mahasiswa dan kalangan akademisi, gerakan buruh dan nelayan, gerakan kaum perempuan dan berbagai kelompok penekan yang muncul silih berganti dalam perkembangan politik.”
Baca juga: Zona Nyaman Partai Politik
Dengan jalan pikiran ini, dapat dikatakan kekuatan-kekuatan sosial kemasyarakatan telah bekerja memproduksi demokrasi, dan tahap selanjutnya ”buah demokrasi” tersebut dikonsumsi oleh kekuatan-kekuatan yang pada dirinya tak tertanam demokrasi.
Hal ini berarti bahwa produk suatu proses demokrasi, yang diupayakan oleh kekuatan-kekuatan demokratik, hanya akan menjadi buah demokrasi manakala tetap ”dikonsumsi” oleh proses yang sepenuhnya dikerjakan atau digerakkan oleh kekuatan-kekuatan demokratik. Inilah demokratisasi ”demokrasi”. Soalnya, apakah proses itu akan terbit begitu saja akibat kesadaran internal institusi tersebut, ataukah tetap dibutuhkan desakan dan kontrol publik? Apa yang sebaiknya dilakukan?
Inilah demokratisasi “demokrasi”.
Akhiri korupsi dengan demokrasi
Apakah demokratisasi demokrasi telah cukup memadai sebagai langkah mengakhiri korupsi? Kita berpandangan bahwa langkah demokratisasi demokrasi, yang artinya demokrasi dalam seluruh proses, perlu dilengkapi dengan demokratisasi di seluruh arena, yakni (1) state; (2) market (pasar); (3) civil society (masyarakat madani); dan (4) relasi di antara seluruh arena.
Pertama, demokratisasi pada seluruh institusi ”penyelenggara kekuasaan negara”, pun termasuk parpol (sebagai institusi publik). Demokratisasi berarti: (i) rekrutmen berlangsung secara demokratik, sedemikian sehingga ”pintu emas” untuk dapat masuk ruang publik hanya dapat dibuka oleh ”kunci keramat”: jiwa pengabdian pada bangsa, integritas moral, dan kapasitas.
Karya disertasi Burhanuddin Muhtadi, yang diterbitkan sebagai buku berjudul Kuasa Uang, Politik dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (2020), secara akademik mampu menyingkap tantangan nyata bangsa, yang jika boleh disederhanakan bahwa kuasa uang dalam praktik dapat menjebol ”pintu emas”, tanpa perlu ”kunci keramat”; (ii) proses demokratik, artinya yang dibahas untuk diambil keputusan daripadanya adalah suara kepentingan publik, dan seluruh proses bekerja dalam demokrasi; dan (iii) hasil demokratik, artinya keputusan merupakan jawaban atas persoalan publik dan dipastikan terselenggara sebagaimana maksud keputusan tersebut.
Baca juga: Ketika Politik Uang Menjadi ”New Normal”
Kedua, demokratisasi pasar. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa pasar beroperasi dalam ”ruang sosial-ekonomi-politik”, yang dengan demikian akan terpengaruh dan memengaruhi kebijakan publik. Demokratisasi pasar lebih dimaksudkan agar kinerja pasar ikut mendukung demokratisasi sektor publik, dan menghindari semua potensi di mana pasar justru memberikan kemungkinan bagi praktik yang sebaliknya.
Pasar tentu butuh ruang gerak yang lebih leluasa (baca: mudah), tetapi kehendak melahirkan kemudahan bagi market hendaknya didasarkan pada semangat memperkuat demokrasi karena hanya dengan itu, ekonomi biaya tinggi dapat ditekan.
Baca juga: Demokrasi, Stabilitas Politik, dan Kemajuan Negara
Ketiga, demokratisasi masyarakat madani. Meskipun masyarakat madani merupakan elemen utama yang memproduksi demokrasi, proses demokratisasi mutlak diselenggarakan, terutama pada institusi masyarakat madani, agar kinerjanya bersifat sepenuhnya mendukung bagi: (a) meningkatnya kesadaran publik, sehingga semua praktik yang bertentangan dengan demokrasi, termasuk politik uang, hendaknya menjadi ”musuh bersama” masyarakat madani; (b) meningkatnya kesadaran publik, sehingga yang berkembang adalah iklim (sosial politik dan sosial ekonomi) yang kondusif dan beradab.
Atau publik tidak mudah dibelah, tidak mudah mengonsumi hoaks dan turunannya; (c) serta meningkatnya kesadaran publik, bahwa hanya dengan publik yang sadar, akan tercipta politik yang sehat dan bermartabat.
Segala jenis relasi yang tidak menunjukkan bekerjanya kesetaraan harus diubah dan digantikan dengan relasi setara.
Keempat, demokratisasi relasi. Segala jenis relasi yang tidak menunjukkan bekerjanya kesetaraan harus diubah dan digantikan dengan relasi setara. Relasi yang demikian ini akan membuat semua arena akan bekerja bahu-membahu memperkuat kinerja bangsa dalam mencapai apa yang menjadi cita-cita bersama manakala bangsa membentuk negara.
Bagi langkah ke depan, dibutuhkan kerangka hukum agar terjamin terselenggaranya ”bentuk relasi” tersebut. Dan, sebagaimana diketahui bersama, terbitnya kebijakan bukanlah ujung, melainkan awal. Artinya, dibutuhkan kontrol publik yang berkesinambungan.
Proses inilah yang hendak kita sebut sebagai bekerjanya spiral demokratisasi, suatu gerak sejarah yang dari waktu ke waktu bersifat terus-menerus melakukan perbaikan, sehingga yang berlangsung adalah gerak membaik yang maju. Jika proses ini yang terjadi, korupsi akan menjadi sejarah.
Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri.
KOMPAS, RABU 09 Desember 2020 Halaman 6.