Tahun 2020 merupakan ujian berat bagi berbagai sektor, tak terkecuali ketenagakerjaan. Masyarakat pekerja kini menghadapi tantangan disrupsi ganda. Pertama, resesi dan menipisnya lapangan kerja akibat Covid-19. Kedua, era otomasi yang tiba lebih cepat akibat tak terbendungnya laju digitalisasi di tengah pandemi.
Skenario distopia tentang robot yang mengambil alih pekerjaan manusia bukan lagi plot novel atau film fiksi ilmiah belaka. Situasi itu diperkirakan terjadi dalam waktu dekat, lengkap dengan narasi distopia lainnya: peradaban yang menghadapi ancaman virus mematikan dan meningkatnya populasi pengangguran.
Laporan The Future of Jobs yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada Oktober 2020, memprediksi 85 juta pekerjaan akan punah, digantikan robot dan kecerdasan buatan pada 2025. Seiring dengan itu, 97 juta jenis pekerjaan baru yang lebih relevan dengan konteks perkembangan teknologi dan industri akan muncul.
Tentunya, kondisi ini berbeda di setiap negara. Di Indonesia, perusahaan konsultan Mckinsey & Company pada 2019 telah memprediksi, dalam waktu 11 tahun, 23 juta pekerjaan akan diambil alih robot dan akan muncul 46 juta pekerjaan baru.
Namun, ketika baru mau bersiap menyambut revolusi industri itu, Covid-19 muncul. Dalam sekejap, sektor usaha terpukul, lowongan kerja menipis. Bertambahnya angka pengangguran dan munculnya pekerja muda lulusan baru membuat persaingan di pasar kerja semakin ketat. Kompetisi semakin ketat karena pandemi yang memaksa peralihan teknologi lebih cepat membuat perusahaan kian selektif membidik pekerja dengan keahlian khusus yang relevan.
Kompetisi semakin ketat karena pandemi yang memaksa peralihan teknologi lebih cepat membuat perusahaan kian selektif membidik pekerja dengan keahlian khusus yang relevan.

WEF memetakan jenis keterampilan atau pekerjaan yang bakal tergerus di Indonesia, antara lain, akuntan dan auditor, penginput data, buruh pabrik, sekretaris, teknisi reparasi mesin, dan bagian personalia atau sumber daya manusia (SDM). Sebagai gantinya, pekerjaan di ranah teknologi informasi, spesialis mahadata, kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan insinyur teknik akan dicari.
Disrupsi ganda ini dihadapi pekerja di seluruh dunia. Masyarakat termarjinal, pekerja berpendidikan dan berketerampilan rendah, menjadi yang paling terdampak pandemi. Mereka juga akan menjadi korban pertama digitalisasi dan otomasi.
Baca juga: Optimisme Vaksin dan Pesimisme Lapangan Kerja
Peta jalan komprehensif
Bicara konteks Indonesia, mayoritas angkatan kerjanya masih minim pendidikan dan keterampilan (low-skilled). Itu berarti hampir separuh populasi. Mereka yang tidak cepat beradaptasi akan tergerus. Tanpa kebijakan proaktif dan inklusif, kesenjangan sosial-ekonomi akan semakin menjadi-jadi. Lantas, apa terobosan pemerintah untuk menyikapi tantangan itu?
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah selalu menggaungkan dan mengandalkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Persoalannya, regulasi untuk menarik sebanyak-banyaknya investasi itu baru menanggapi tantangan pertama disrupsi ganda dari sisi permintaan, yakni mengatasi kurangnya lapangan kerja.
UU Cipta Kerja belum menunjukkan solusi konkret atas disrupsi kedua berupa ketimpangan antara suplai kapasitas pekerja dan tuntutan revolusi industri. Satu-satunya klausul yang menyerempet ke ranah pendidikan dan peningkatan keterampilan adalah program pelatihan lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan. UU Cipta Kerja belum menunjukkan solusi konkret atas disrupsi kedua berupa ketimpangan antara suplai kapasitas pekerja dengan tuntutan revolusi industri.
Saat ini masih belum ada terobosan peta jalan yang komprehensif, radikal, dan strategis dari pemerintah untuk perbaikan kualitas SDM. Kementerian berjalan dengan program masing-masing yang sifatnya parsial dan sektoral. Padahal, kementerian yang berurusan dengan isu kualitas angkatan kerja bukan hanya Kementerian Ketenagakerjaan.
Ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengurus pendidikan vokasi dan program ”nikah massal” dengan dunia usaha, Kementerian Perindustrian yang berkaitan dengan sisi permintaan alias para pelaku usaha yang menyediakan lapangan kerja, serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang baru-baru ini ikut mengurusi peningkatan keterampilan pekerja lewat program Kartu Prakerja.
Indonesia bisa belajar dari Jerman yang berhasil menerapkan model pendidikan vokasi atau dual education system yang efektif menekan pengangguran. Model itu mengharuskan kerja sama antara pemerintah dan swasta yang dikoordinasikan di bawah satu badan. Keterlibatan swasta bersifat wajib, bukan sukarela.
Sistem vokasi dual system menggabungkan teori dan praktik dengan titik berat di praktik. Dalam sepekan, siswa vokasi di Jerman belajar di sekolah selama 1-2 hari dan sisanya dihabiskan di perusahaan. Perusahaan tidak hanya menyediakan program magang ala kadarnya seperti on the job training, tetapi juga ikut menyediakan fasilitator pelatih.
Tak hanya pelatihan, siswa juga mendapat uang magang yang sepadan dengan kontribusinya. Alhasil, ketika lulus, siswa telah dibekali keterampilan praktik yang relevan untuk masuk dunia kerja. Industri pun tidak ragu merekrut siswa yang lahir dari sistem tersebut.
Baca juga: Sinergikan Kawasan Industri Pantura Jawa dan Lembaga Pendidikan

Di sisi lain, platform peningkatan keterampilan (reskilling dan upskilling) yang lebih inklusif untuk pekerja juga perlu diperbanyak. Dengan evaluasi dan pembenahan komprehensif, Kartu Prakerja sebenarnya dapat menjadi instrumen efektif. Namun, pemerintah harus mau berbenah, tidak bisa terus terlena dengan hasil survei yang positif dan kepuasan jangka pendek.
Kesadaran pelaku usaha untuk berinvestasi pada peningkatan kapasitas pekerjanya tidak kalah penting. Saat ini baru segelintir perusahaan yang mau mengadakan pelatihan dan pengembangan karyawan dengan alasan menghemat biaya. Perspektif ini perlu diubah karena ketika pekerja semakin ahli dan produktif, yang akan diuntungkan adalah perusahaan itu sendiri.
Baca juga: Siapkan Tenaga Kerja, Peran Industri Krusial
Peran dunia industri juga krusial untuk menjawab sisi lain dari tantangan disrupsi ganda ini, yakni sisi penciptaan lapangan kerja. Tanpa penciptaan lapangan kerja yang berkualitas dan perlindungan terhadap pekerja yang terjadi adalah surplus tenaga kerja yang tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan kerja.
Nasi belum menjadi bubur. Pandemi menjadi momentum untuk mengevaluasi ulang kebijakan dan kebiasaan lama. Alih-alih terus mengeluhkan tenaga kerja yang tak terampil dan produktif, kini saatnya semua pihak bersatu padu agar selamat melewati tantangan disrupsi ganda di depan mata.
KOMPAS, KAMIS 03 Desember 2020 Halaman 9.