JAKARTA, KOMPAS — Aturan dan kebijakan pemerintah terkait energi terbarukan kerap terkesan kontraproduktif. Aturan yang dikeluarkan kadang kala menganulir aturan yang sebelumnya diterbitkan.
Situasi semacam ini membuat pengembangan energi terbarukan di Indonesia kurang agresif.
Kritik itu mengemuka dalam webinar ”Indonesia Solar Summit 2020”, Kamis (26/11/2020), sebagai rangkaian Indonesia EBTKE Connex 2020 Ke-9.
Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi sumber energi terbarukan di Indonesia sebesar 417.800 megawatt (MW).
Potensi terbesar berupa tenaga surya, yakni 207.800 MW peak (MWp). Selanjutnya, tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW.
Dari semua potensi itu, yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen.
”Tantangan mengembangkan energi terbarukan di Indonesia adalah aturan yang berubah-ubah. Sifatnya tidak berkelanjutan. Aturan yang sudah baik, misalnya, bisa dianulir oleh aturan yang terbit berikutnya,” kata Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi yang hadir sebagai narasumber webinar.
Para pengembang, lanjut Prijandaru, sangat berharap peraturan presiden tentang harga jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan bisa memberi kepastian berbisnis di Indonesia.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Didorong pada Pemanfaatan Energi Terbarukan
Menurut dia, investor hanya membutuhkan dua hal untuk mendukung target bauran energi nasional, yaitu kepastian hukum dan penetapan harga jual beli tenaga listrik energi terbarukan yang adil. Apabila dua hal itu dipenuhi, ia meyakini pengembangan energi terbarukan di Indonesia bakal optimal.
”Dari dulu sampai hari ini, masalah pengembangan energi terbarukan adalah masalah keekonomian. Berikan kepada investor penetapan harga yang tidak sepihak dan jaminan tak ada perubahan kebijakan. Apabila hal itu dilakukan, investor pasti akan fokus (pada pengembangan energi terbarukan),” ujar Prijandaru.
Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia Andhika Prastawa menambahkan, pihaknya telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan kebijakan yang mendukung pemanfaatan tenaga surya di sektor rumah tangga, gedung komersial, dan industri secara mandiri. Dalam kebijakan energi nasional, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia ditargetkan 6.500 MW pada 2025. Padahal, kapasitas terpasang saat ini baru 200 MW.
”Ada selisih yang luar biasa untuk mencapai target pada 2025. Untuk mencapai target tersebut, setidaknya perlu dibangun PLTS sebesar 1.000 MW setiap tahun. Diperlukan kebijakan yang tepat agar target tersebut bisa tercapai,” kata Andhika.
Baca juga : Kepemimpinan dan Iklim Investasi Kunci Pengembangan Energi Terbarukan
Menurut Andhika, mewujudkan target bauran energi di 2025 tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Pencapaian target itu perlu didukung banyak pihak, di antaranya BUMN dan swasta. BUMN memiliki peran strategis jika kebijakan pemasangan PLTS diterapkan di gedung-gedung perusahaan di bawah Kementerian BUMN.
Pencapaian target itu perlu didukung banyak pihak, di antaranya BUMN dan swasta.
Bergairah
Harapan yang sama disampaikan CEO PT Hywind Energy Solutions Chandra Soemitro Poendra.
Menurut dia, pengembang energi terbarukan tengah menunggu penerbitan peraturan presiden tentang harga jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan. Penerbitan aturan tersebut bakal menggairahkan investasi sektor energi terbarukan di Indonesia.
Dalam draft peraturan presiden tentang harga jual beli tenaga listrik energi terbarukan yang beredar, penetapan feed in tariff (patokan harga tenaga listrik berdasar biaya produksi) akan diatur untuk pembangkit listrik tenaga hidro, tenaga surya, tenaga biomassa, dan PLTS atap dengan kapasitas hingga 5 MW.
Adapun harga listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sistem peaker, bahan bakar nabati, dan gelombang laut ditetapkan berdasarkan mekanisme kesepakatan antara pengembang dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Grafis rasio elektrifikasi nasional dan desa berlistrik hingga triwulan I-2020. Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah penduduk yang mengakses listrik dengan jumlah populasi di suatu wilayah.
Dalam hal kemudahan memperoleh akses listrik, Indonesia ada di peringkat ke-33 berdasarkan data yang diterbitkan Bank Dunia tahun ini. Peringkat itu lebih baik dibandingkan dengan 2015, yakni di posisi ke-75.
Posisi Indonesia tepat di bawah Filipina yang ada di peringkat 32. Sementara, di kawasan ASEAN, peringkat tertinggi adalah Malaysia yang ada di posisi ke-4. Berikutnya, Thailand di posisi ke-6 dan Singapura di posisi ke-19. Adapun Vietnam di peringkat 27 dan Myanmar di peringkat 148.
Baca juga : Prospek Usaha Sektor Energi Terbarukan Kian Besar
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya mengakui, cukup berat menuju target 23 persen peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional di 2025.
Sampai kini, porsi energi baru dan terbarukan sebesar 10,9 persen dalam bauran sumber energi di Indonesia. Apalagi, dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, permintaan listrik di sejumlah wilayah menurun.
”Perlu akselerasi pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, seperti panas bumi dan tenaga air, karena konstruksinya memerlukan waktu yang lama,” katanya.
Cukup berat menuju target 23 persen peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional di 2025.

Harris menambahkan, peraturan presiden tentang harga tenaga listrik dari energi terbarukan akan memberi perubahan signifikan. Ketentuan feed in tariff bakal diberlakukan untuk pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas maksimal 5 MW. Dalam aturan sebelumnya, harga jual tenaga listrik dari energi terbarukan menggunakan patokan biaya pokok penyediaan listrik PLN di daerah pembangkit tersebut dibangun.
Pemerintah mematok batas tertinggi harga tenaga listrik energi terbarukan sebesar 85 persen dari biaya pokok penyediaan listrik setempat. Aturan ini yang dianggap tidak mendukung pengembangan energi terbarukan lantaran faktor keekonomiannya tak terpenuhi.
KOMPAS, JUM’AT 27 November 2020 Halaman 9.