PROLEGNAS PRIORITAS 2021: Pertimbangkan Urgensi Pembentukan RUU

JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mempertimbangkan dengan seksama penentuan Program Legislasi Nasional 2021 agar sesuai dengan kebutuhan hukum publik. Pembahasan rancangan undang-undang yang berpotensi untuk menimbulkan kegaduhan dan memantik kontroversi sebaiknya dihindari. Situasi pandemi Covid-19 yang belum usai memerlukan fokus semua pihak untuk selamat dari krisis.

Dalam rapat terakhir, Selasa (17/11/2020) lalu, di Jakarta, Badan Legislasi DPR memproyeksikan ada 37 RUU yang masuk sebagai RUU Prioritas di dalam Prolegnas 2021. Sebagian besar dari RUU yang dicantumkan di dalam daftar prioritas itu adalah sisa dari prioritas Prolegnas 2020 yang tidak berhasil dituntaskan, atau merupakan hasil evaluasi Baleg DPR.

Dari 37 RUU yang diproyeksikan menjadi prioritas Prolegnas 2020, dua di antaranya kini menjadi perhatian publik karena berkembang pro dan kontra yang tajam, yakni RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Larangan Minuman Beralkohol. Kedua RUU tersebut saat ini masih sedang berproses di dalam tahapan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di Baleg DPR. Masing-masing panitia kerja harmonisasi juga telah dibentuk dan menggelar rapat. Namun, pembahasan keduanya berjalan cukup alot.

Alot

Dalam rapat Baleg, Rabu (18/11), yang sedianya diagendakan untuk pengambilan keputusan untuk meneruskan pembahasan RUU Ketahanan Keluarga ke tahap selanjutnya ataukah tidak, misalnya, berjalan alot. Dari sembilan fraksi, empat fraksi mendukung, empat fraksi menolak, dan satu fraksi lainnya menginginkan pendalaman substansi. Karena posisi relatif berimbang, maka pengambilan keputusan oleh pimpinan rapat Baleg tidak dapat dilakukan. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Akhmad Baidowi.

Baca Juga: MENGINTIP LOGIKA DI BALIK RUU KETAHANAN KELUARGA 

Fraksi yang menolak RUU Ketahanan Keluarga untuk dibahas sebagai RUU inisiatif DPR ialah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Demokrat. Fraksi yang menyetujui ialah Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam fraksi menyetujui, dua di antaranya, yakni PAN dan PPP memberikan persetujuan dengan catatan. Selain itu, ada satu fraksi yang menginginkan pendalaman substansi, yakni Nasdem.

“Dari sembilan fraksi, empat fraksi mendukung, empat fraksi menolak, dan satu fraksi lainnya menginginkan pendalaman substansi. Karena posisi relatif berimbang, maka pengambilan keputusan oleh pimpinan rapat Baleg tidak dapat dilakukan”

Pengusul RUU Ketahanan Keluarga ini adalah perseorangan anggota DPR, yakni Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari PKS; Sodik Mujahid dari Gerindra; dan Ali Taher dari PAN.

Anggota fraksi PDI-P Diah Pitaloka mengatakan, keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat memiliki dampak penting dalam masyarakat. Namun, urgensi adanya RUU Ketahanan Keluarga itu dinilai belum terlihat.

“Urgensi adanya RUU Ketahanan Keluraga sejauh ini berdasarkan UU yang ada, belum terlalu terlihat, karena sudah ada UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Selain itu, sudah ada program pemerintah yang secara khusus mengatur keluarga secara terstruktur,” kata Diah.

Anggota Fraksi Golkar Ferdiansyah mengatakan, partainya belum dapat bersepakat atas RUU Ketahanan Keluarga untuk menjadi inisiatif DPR, karena sudah ada UU No 52/2009, yang dipandang perlu perbaikan agar selaras dengan tantangan zaman, bukannya membentuk UU baru. “Ini sama saja dengan memberikan celah bagi orang untuk turut campur dalam urusan domestik keluarga. Keluarga bukan lagi menjadi ruang sakral,” katanya.

Menurut Fraksi Golkar, UU seharusnya dibentuk sesuai dengan kebutuhan publik secara luas. Dalam kaitannya dengan RUU Ketahanan Keluarga, Golkar tidak melihas esensi dan urgensinya. “Ada hal yang perlu diperhatikan, yakni kehasilgunaan dna kedayagunaan. Kalau memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat, serta di dalamnya mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka agar tidak tumpang tindih antara kebutuhan rakyat dengan kepentingan kelompok,” ucap Ferdiansyah.

Sodik Mujahid yang mewakili Fraksi Gerindra mengatakan, urgensi pembentukan RUU Ketahanan Keluarga itu didasarkan pada realitas keluarga saat ini yang dihadapkan sejumlah persoalan terkait globalisais, budaya, dan merebaknya teknologi informasi. Akibatnya, nilai-nilai sopan-santun luntur dan tatanan serta perwujudan keluarga yang berkualitas lahir dan batin sulit tercapai. “Selain itu, untuk mewujudkan tujuan bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dibutuhkan keluarga yang berkembang dan baik,” ujarnya yang juga pengusul.

“Substansi RUU ini sudah sangat baik, dan dapat dikolaborasikan dengan UU eksisting, seperti UU Perkawinan, UU Perempuan dan Anak, UU Disabilitas, dan UU Sisdiknas, termasuk nantinya dengan RUU Penanggulangan Bencana”

Anggota Fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, fraksinya menerima usulan RUU itu dengan catatan, yakni terkait dengan kekhawatiran intervensi negara ke dalam  rumah tangga masyarakat Indonesia perlu ditelaah dan dikaji secara mendalam. “Substansi RUU ini sudah sangat baik, dan dapat dikolaborasikan dengan UU eksisting, seperti UU Perkawinan, UU Perempuan dan Anak, UU Disabilitas, dan UU Sisdiknas, termasuk nantinya dengan RUU Penanggulangan Bencana,” katanya.

Sementara itu, anggota Fraksi Nasdem, Ary Egahni Ben Bahat, mengatakan, RUU ini masih membutuhkan kajian untuk disandingkan dengan UU No 52/2009. Oleh karenanya, harus dilakukan pendalaman kembali dalam pembahasan substansi.

Karena masih ada perbedaan pendapat di antara fraksi-fraksi, dan relatif berimbang, maka pengambilan keputusan Baleg ditunda. “Kepada pengusul diberikan kesempatan untuk menjelaskan kepada fraksi-fraksi dan pimpinan dengan mekanisme yang ada, termasuk kepada Fraksi Nasdem yang belum menentukan sikap,” kata pimpinan rapat, Akhmad Baidowi.

Hindari Kontroversi

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, pembahasan Prolegnas 2021 harus serius. Adanya pembahasan yang alot bahkan sejak di dalam harmonisasi di Baleg terhadap sejumlah RUU menunjukkan pengusul belum mampu memperlihatkan urgensi RUU yang diajukan.

“Jadi, daripada DPR fokus membahas RUU yang kontroversinya tinggi dan jelas-jelas urgensinya rendah, kenapa tidak DPR sejak awal membuat pemetaan persoalan UU yang ada, potensi tumpang tindih, dan mengurangi hiperregulasi”

“Jadi, daripada DPR fokus membahas RUU yang kontroversinya tinggi dan jelas-jelas urgensinya rendah, kenapa tidak DPR sejak awal membuat pemetaan persoalan UU yang ada, potensi tumpang tindih, dan mengurangi hiperregulasi,” ungkapnya.

Baca Juga: EFEK RUU KETAHANAN KELUARGA, DOKTER TAK LAGI BERI ”JALAN” UNTUK SUROGASI

https://kompas.id/baca/humaniora/kesehatan/2020/02/20/efek-ruu-ketahanan-keluarga-dokter-tak-lagi-beri-jalan-untuk-surogasi/

Lucius mengatakan, DPR baru saja menuntaskan RUU Cipta Kerja dengan mekanisme omnibus law. Tujuannya antara lain untuk mengatasi hiperregulasi. Oleh karena itu, semangat yang sama mesti ditunjukkan DPR dalam menyusun Prolegnas 2021. DPR harus benar-benar selektif, dan mempertimbangkan kebutuhan hukum publik, agar tidak menambah UU yang tumpang tindih, apalagi bertentangan satu sama lain.

“Kebermanfaatan suatu RUU, dan kemendesakan RUU itu guna memenuhi kebutuhan publik seharusnya menjadi pertimbangan Baleg dalam menyusun Prolegnas 2021,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, ruang dialog dengan publik harus dibuka seluas-luasnya sebelum pemerintah dan DPR menyetujui Prolegnas 2021. Pengalaman pembahasan RUU Cipta Kerja yang diwarnai pro dan kontra yang tajam di saat pandemi menunjukkan efek negatif dari pembentukan legislasi yang kurang menghiraukan aspirasi publik. Hal yang sama sebaiknya tidak dilakukan DPR dan pemerintah dalam penentuan Prolegnas 2021.

“Bahkan, dalam masa pandemi, idealnya DPR tidak fokus pada proses legislasi, karena legislasi mengandaikan partisipasi publik yang luas. Dalam kondisi pandemi, hal ini sukar terpenuhi, sehingga dikhawatirkan RUU yang dihasilkan tidak benar-benar mencerminkan masukan dan aspirasi publik,” katanya.

KOMPAS, KAMIS 19 November 2020 Halaman 3.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.