JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi mulai memeriksa perkara uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan itu, majelis panel mempertanyakan tentang kedudukan hukum dan kerugian konstitusional langsung para pemohon. Kedudukan hukum itu terutama dipertanyakan hakim saat pemohon menguji norma persyaratan calon hakim konstitusi.
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 96/PUU-XVIII/2020 dan no 90/PUU-XVIII/2020 itu digelar secara daring, Selasa (10/11/2020). Hanya majelis panel Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersidang dari gedung MK. Para pemohon mengikuti persidangan secara daring.
Dalam perkara no 96/PUU-XVIII/2020, bertindak sebagai ketua majelis panel Wahiduddin Adams, serta anggota Manahan MP Sitompul dan Daniel Yusmic P Foekh. Pemohon dalam perkara tersebut adalah seorang advokat bernama Priyanto. Priyanto menguji konstitusionalitas Pasal 87 Huruf a dan b UU No 7/2020 tentang MK. Pasal tersebut mengatur tentang jabatan ketua dan wakil ketua MK, serta usia pensiun hakim konstitusi 70 tahun sepanjang keseluruhan tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Batu uji dalam perkara tersebut adalah Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.
Baca juga : RUU MK Buka Potensi Yuristokrasi
Adapun untuk perkara no 90/PUUU-XVIII/2020 dipimpin oleh ketua majelis panel Aswanto serta anggota Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat. Pemohon dalam perkara ini adalah Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia Allan Fatchan Gani Wardhana. Pemohon menguji UU No 7/2020 baik secara formil maupun materiil. Uji materi yang diajukan adalah Pasal 1 angka 3, angka 6, angka 8, angka 9 dan angka 15 terhadap Pasal 1 Ayat (2) dan (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1), dan Pasal 28 D Ayat (3) UUD 1945. Pasal-pasal itu di antaranya mengatur tentang syarat usia minimal hakim konstitusi 55 tahun, ketentuan perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi, serta usia pensiun hakim konstitusi 70 tahun sepanjang keseluruhan tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Kedudukan hukum
Manahan MP Sitompul meminta pemohon untuk memperdalam aspek kedudukan hukumnya dalam menguji Pasal 87 A UU No 7/2020 yang mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Di dalam berkas permohonan, pemohon mengatakan kedudukan hukumnya sebagai warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi. Namun, dengan berlakunya pasal tersebut, Manahan mempertanyakan kerugian konstitusional apa yang diderita pemohon.
Kedudukan hukum pemohon yang belum menjadi hakim konstitusi, tetapi sudah mempermasalahkan norma yang mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dipertanyakan.
Selain itu, Manahan juga mempertanyakan kedudukan hukum pemohon yang belum menjadi hakim konstitusi, tetapi sudah mempermasalahkan norma yang mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
”Mengapa pemohon berhak mempersoalkan norma tersebut? Di mana kerugian konstitusionalnya? Ini harus diuraikan lebih jelas,” kata Manahan.
Baca juga : Masa Jabatan Dihapus, Hakim Konstitusi Akan Menjabat hingga Usia 70 Tahun
Daniel Yusmic juga mempertanyakan alasan permohonan (posita) pemohon. Daniel menilai, saat ini pemohon belum menjadi hakim konstitusi. Pemohon juga tidak memiliki bukti yang menunjukkan pernah mengajukan diri sebagai hakim. Oleh karena itu, ketika mempertanyakan soal norma masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, harus dielaborasi lebih dalam. Pemohon diminta untuk meyakinkan mahkamah terkait dengan petitumnya terutama Pasal 8 Huruf a UU No 7/2020.
Ketua majelis panel Wahiduddin juga mengatakan bahwa dalil yang dimohonkan cukup unik karena pemohon dianggap mengandaikan diri sebagai hakim konstitusi. Pengandaian tersebut dianggap kurang tepat dan harus diluruskan secara lebih logis. Sebab, hal itu sangat berkaitan dengan kedudukan hukum pemohon.
Dalil yang dimohonkan cukup unik karena pemohon dianggap mengandaikan diri sebagai hakim konstitusi. Pengandaian tersebut dianggap kurang tepat dan harus diluruskan secara lebih logis.
Di sidang perkara no 90/PUU-XVIII/2020, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih selaku anggota majelis panel juga mempertanyakan terkait kedudukan hukum dan kerugian konstitusional pemohon. Pemohon diminta memperdalam penjelasan kerugian konstitusional yang diderita. Kerugian harus diuraikan secara jelas hubungan sebab akibatnya karena pemohon bukanlah hakim konstitusi. Sementara itu, beberapa pasal yang diuji, misalnya, mengatur tentang masa jabatan hakim dan ketua, wakil ketua MK.
”Penting sekali diuraikan hubungan sebab akibat antara norma yang diuji dan kerugian konstitusional pemohon supaya bisa meyakinkan mahkamah,” kata Enny.
Ketua majelis panel Aswanto menambahkan, norma yang mengatur tentang syarat menjadi hakim konstitusi dalam UU No 7/2020 dipermasalahkan. Namun, sebenarnya persyaratan menjadi hakim konstitusi bersifat kumulatif. Untuk menjadi hakim MK, misalnya, harus sudah menjadi doktor di bidang hukum.
”Saya mengerti jalan pikiran saudara karena akademisi, sudah S-2, potensial menjadi S-3 dan bisa menjadi doktor. Namun, untuk bisa memberikan legal standing, seharusnya juga sudah harus memenuhi persyaratan sebagai hakim MK,” kata Aswanto.
Pemohon harus dapat membuktikan prosedur mana saja yang tidak dilalui di DPR.
Bukti formil
Selain itu, karena pemohon juga mengajukan pengujian formil, Enny meminta pemohon agar dapat melampirkan bukti-bukti yang menunjukkan ada persoalan dalam pembentukan UU No 7/2020. Pemohon harus dapat membuktikan bagaimana proses penyusunan UU di DPR sehingga UU tersebut dianggap cacat prosedural. Misalnya, tentang pembentukan UU yang dianggap cepat, harus ada buktinya. Pemohon harus dapat membuktikan prosedur mana saja yang tidak dilalui di DPR. Menurut Enny, dalam berkas permohonan, data yang dilampirkan masih normatif karena berasal dari pandangan ahli. Bukti tersebut belum menunjukkan di mana letak cacat formil dari UU tersebut.
Hakim panel Arief Hidayat justru meminta agar MK dibantu supaya bisa memeriksa perkara uji formil lebih baik. Sebab, dalam sejarahnya, MK belum pernah sekalipun membatalkan UU karena dianggap cacat formil. Hanya satu UU, yaitu UU MA, yang pernah dikabulkan karena cacat prosedur, tetapi tidak dibatalkan.
Oleh karena itu, pemohon diminta membangun argumentasi teoritik untuk mendalami pengujian formil UU No 7/2020. Arief juga menyebutkan bahwa batu uji terkait prosedur pembentukan perundang-undangan di konstitusi sangat terbatas. Hakim justru meminta pemohon agar memberikan formula supaya MK mendapatkan kajian tentang pengujian formil UU yang baik.
”Tentang UU dibentuk tanpa partisipasi publik yang baik, misalnya, tolong ditunjukkan di mana letak tidak adanya partisipasi publik itu? Jangan hanya didasarkan pada pernyataan dan asumsi-asumsi,” kata Arief.
KOMPAS, RABU, 11 Nopember 2020 Halaman 2.