KANDIDAT CALON KEPALA DAERAH: Petahana Cenderung Makin Mendominasi di Pilkada 2020

JAKARTA, KOMPAS  – Jumlah petahana di Pilkada Serentak 2020 lebih tinggi dibandingkan tiga gelombang pilkada serentak terdahulu. Hal ini menandai semakin dominannya petahana dalam pencalonan pilkada. Pragmatisme partai politik dan pandemi Covid-19 ditengarai menjadi penyebabnya.

Di Pilkada Serentak 2020 yang berlangsung di 270 daerah, ada 331 petahana dari total 1.324 bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ini berarti porsi petahana mencapai sekitar 25 persen dari total bakal calon.

Sebagai pembanding, catatan Kompas, dari hasil olah data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan, di Pilkada Serentak 2015 yang berlangsung di 269 daerah, terdapat 16,7 persen petahana dari 1.486 bakal calon. Sementara itu, di Pilkada Serentak 2017 di 101 daerah, ada 15,5 persen petahana dari total 674 bakal calon. Adapun di Pilkada 2018 yang berlangsung di 171 daerah, ada 19 persen petahana dari 1.162 bakal calon kepala daerah-wakil kepala daerah.

Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, dihubung dari Jakarta, Rabu (9/9/2020) mengatakan, tren ini menunjukkan para petahana masih punya minat tinggi untuk mengikuti pilkada. Hal ini baik untuk mempertahankan posisinya saat ini, maupun untuk mencapai posisi lebih tinggi seperti gubernur.

Selain itu, dia menilai, hal ini juga menandakan sikap parpol yang pragmatis, sehingga lebih memilih calon yang paling berpeluang untuk menang.

Pengaruh pandemi

Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies Jakarta, Arya Fernandes mengatakan, banyaknya petahana yang terjun di pilkada terutama di daerah dengan pasangan calon tunggal, tidak terlepas dari faktor pemodal politik yang berhitung untuk investasi ke kandidat, di tengah pandemi Covid-19.

Pemodal politik yang umumnya berasal dari kalangan pengusaha, usahanya pasti terdampak pandemi sehingga banyak pertimbangan sebelum mendukung paslon. Sementara itu, dari sisi paslon, pilkada di tengah pandemi juga membutuhkan biaya besar.

Terbatasnya kampanye, membuat mereka harus bergerilya mengenalkan diri kepada publik. Dengan alasan biaya politik mahal itu, kemudian kandidat yang berpeluang maju adalah dari kalangan petahana dan pengusaha. Menurut dia, hal ini juga terlihat di 28 daerah yang memiliki pasangan bakal calon tunggal di Pilkada 2020.

Baca juga: Saat Calon Tunggal Jadi ”Jurus Sakti” Menangi Pilkada

“Sebanyak 23 di antaranya diikuti calon petahana baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Sepuluh di antaranya diikuti kepala daerah yang kembali berpasangan dengan wakilnya,” kata Arya.

Petahana berpeluang kuat mencalonkan kembali karena faktor elektabilitas tinggi dan kekuatan finansial yang kuat. Dengan asumsi kinerja mereka sudah dikenal masyarakat, mereka tak perlu berkampanye masif. Kinerja bisa menjadi modal politik untuk berkampanye.

Selain itu, dari sisi partai politik, tingkat fragmentasi politik di DPRD yang tinggi karena efek dari multi partai ekstrem juga membuat partai menjadi pragmatis. Dengan pragmatisme politik, parpol sulit membentuk koalisi di DPRD. Jika dimungkinkan, biayanya mahal. Apalagi, untuk bisa mencalonkan, parpol harus memiliki alokasi minimal 20 kursi atau 25 persen suara sah pemilu legislatif. Sehingga, akhirnya mereka mencari jalan pintas dengan mendukung calon yang potensi kemenangannya tinggi seperti petahana.

“Fragmentasi politik di DPRD itu juga membuat partai kecil-menengah kesulitan untuk berkoalisi sehongga akhirnya tidak punya inisiatif untuk berkoalisi,” kata Arya.

Padahal, munculnya banyak pasangan calon tunggal di daerah ini, juga akan berdampak pada tata kelola pemerintahan daerah. Menurut Arya, jika sampai pasangan calon tunggal terpilih, mereka akan dihadapkan pada kondisi di mana harus mengakomodasi kepentingan politik partai. Misalnya, saat membentuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dia harus membagi-bagi kue kekuasaan bagi partai (pork barrel).

Selain itu, juga ada potensi korupsi dalam proses pengesahan kebijakan karena akomodasi kepentingan politik tadi. Ketika semua kepentingan diakomodasi, tidak ada kontrol yang kuat di parlemen terhadap kinerja kepala daerah. Dan ini akan merugikan masyarakat karena kepala daerah dapat menjadi pemimpin dengan kekuasaan absolut.

Politik kekerabatan

Sementara itu, dalam kajian Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem) juga ada temuan hubungan kekerabatan antara calon kepala daerah dengan petahana maupun elite parpol. Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, dari 28 daerah yang muncul paslon tunggal, ada lima daerah yang memiliki politik kekerabatan.

Hal tersebut menunjukkan adanya anomali dalam demokrasi. Anomali itu ditunjukkan dengan gurita oligarki politik maupun ekonomi yang muncul di daerah. Akibatnya, masyarakat di daerah tak mendapat alternatif pilihan calon pemimpin yang beragam dan berkualitas. Tidak ada kompetisi ideal dalam demokrasi.

“Oligarki ada di mana-mana, tapi bukan berarti tidak bisa dikalahkan. Kesadaran masyarakat bahwa mereka memiliki peran penting dalam memberikan reward and punishment itu harus terus didorong. Kalau pemilih suka dengan performa kepala daerah, bisa dipilih kembali. Kalau tidak suka ya tidak dipilih,” kata Khoirunnisa.

KOMPAS, KAMIS, 10092020 Halaman 8.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.