RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL: Organisasi Keagamaan Sepakat Hapus Kekerasan Seksual

JAKARTA, KOMPAS – Upaya penghapusan kekerasan seksual sejalan dengan nilai dan ajaran semua agama untuk menghargai harkat dan martabat manusia dan memandang semua manusia setara, baik laki-laki dan perempuan. Karena itulah, para tokoh agama dan organisasi agama sangat mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual  segera disahkan menjadi undang-undang, untuk melindungi para korban kekerasan seksual.

Kehadiran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bukan hanya semata-mata untuk melindungi perempuan, tetapi juga melindungi semua korban kekerasan seksual termasuk anak perempuan dan laki-laki. Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual akan membawa kesejahteraan bagi semua masyarakat.

Harapan ini mengemuka dalam Dialog Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Tokoh Agama dan Organisasi Keagamaan, yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Selasa (8/9/2020) secara daring.

Baca juga: Kekerasan Seksual di Sekolah Terus Terjadi

Dialog yang dibuka Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menghadirkan Marwan Dasopang (Anggota Komisi VIII DPR), KH Husein Muhammad (Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid, Cirebon), Valentina Sagala (Senior Independent Advisor and Legal Polucy and Human Rights), dan Siti Musdah Mulia (Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace/ICRP).

“Saya meyakini seluruh agama itu hadir untuk membimbing manusia ke jalan hidup utama, menciptakan kehidupan sosial yang baik, persaudaraan, keadilan, kasih sayang, dan cinta. Bukan untuk menciptakan kerusakan, membodohi, menciptakan permusuhan, tidak juga untuk saling membenci, apalagi melakukan kekerasan satu atas yang lain. Ini adalah tujuan semua agama,” ujar Husein.

Musdah Mulia menilai sosialisasi tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting, untuk menghilangkan berbagai kesalahpahaman, kecurigaan, dan pandangan negatif yang beredar dan sengaja diedarkan di tengah masyarakat. RUU tersebut mengatur sembilan jenis kekerasan seksual  karena selama ini ada pemaksaan dan kekerasan yang terjadi termasuk dalam perkawinan.

Karena itu, kita tidak boleh membiarkan perkawinan anak, perkawinan siri, dan perkawinan paksa, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, penyiksaan seksual. (Siti Musdah Mulia)

“Karena itu, kita tidak boleh membiarkan perkawinan anak, perkawinan siri, dan perkawinan paksa, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, penyiksaan seksual. Di antara banyak faktor, yang paling menonjol adalah ketidakadilan jender, inilah yang harus dipahami dengan benar, apa ketidakadilan jender dan mengapa itu terjadi,” ujarnya.

Valentina Sagala menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibangun dari landasan filosofis Pancasila dan UUD 1945. Para penyusun RUU tentu sudah berupaya agar RUU tidak bertentangan nilai-nilai agama dan kepercayaan yang diakui Negara Kesatuan RI.

“Kekurangpahaman terhadap RUU ini menimbulkan kesan RUU ini bersifat liberal. Padahal materi muatannya mengatur secara jelas pencegahan, penanganan, hak korban, pemidanaan, hukum acara, dan pemulihan (rehabilitasi). Jika RUU ini disahkan sebagai UU, itu menjadi salah satu bukti negara hadir memberi pelindungan bagi korban kekerasan seksual,” tegasnya.

Organisasi Keagamaan Sepakat Hapus  Kekerasan Seksual

Menteri Bintang berharap tokoh agama dan organisasi keagamaan bisa ikut mengadvokasi, mengidentifikasi, mengedukasi, menarasikan, dan membangun persepsi yang benar di masyarakat mengenai muatan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

“Isu penghapusan kekerasan seksual adalah isu yang kompleks dan penyelesaian yang melibatkan multipihak, saya yakin dengan bergerak bersama mengesampingkan ego masing-masing dan menyatukan kekuatan kita dapat menemukan solusi terbaik bagi permasalahan dan perjuangan panjang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Bintang.

Marwan Dasopang yang sebelumnya Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR menyatakan secara pribadi pihaknya mendukung RUU tersebut, karena data kekerasan seksual hingga kini menjadi fenomena gunung es. Namun, di DPR masih ada perbedaan pendapat, terutama soal definisi, pidana, dan pemidanaan yang diatur dalam RUU tersebut.

Baca juga: Membangun (Kembali) Asa kepada Wakil Rakyat 

“Betapa sulitnya menyatukan pandangan para anggota DPR, sehingga undang-undang ini tidak kelar dilaksanakan. Bahkan berkali-kali palu saya yang menentukan sebuah kesepakatan itu mentah lagi,” ujar Marwan. Ia berharap para akademisi mencarikan frasa yang tepat terhadap definisi kekerasan seksual yang masih menjadi perdebatan di DPR.

Dalam pertemuan daring kemarin, sejumlah perwakilan organisasi keagamanan seperti Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, organisasi perempuan di Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dan lainnya mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Semua menyampaikan harapan yang besar kepada DPR untuk segera melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan mengesahkan menjadi UU. “Kami umat Hindu, sangat mendukung RUU ini. Kita di mata Tuhan adalah sama, punya hak dan martabat yang sama, manusia setara dan sama. RUU ini sangat dibutuhkan,” ujar salah satu perwakilan dari PHDI.

Baca juga: Penyusunan Regulasi Penghapusan Kekerasan Seksual Terkatung-katun 

KOMPAS, RABU, 09092020 Halaman 5.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.