JAKARTA, KOMPAS — Menjelang pelaksanaan pilkada serentak 2020, Komisi Aparatur Sipil Negara terus bekerja sama lintas instansi untuk mengawasi netralitas pegawai negeri sipil. Sejumlah kalangan menilai netralitas ASN menjadi persoalan yang disikapi secara reaktif. Padahal, akar masalahnya dan penguatan regulasi KASN yang dapat menjadi solusi masalah itu belum disentuh.
Wakil Ketua KASN Tasdik Kinanto dalam acara kampanye virtual ”Gerakan Nasional Netralitas ASN”, Rabu (26/8/2020), mengatakan, untuk memperkuat pengawasan netralitas ASN selama Pilkada 2020, KASN di antaranya telah bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Apabila ada temuan pengawas pemilu mengenai netralitas ASN, diharapkan dilaporkan ke KASN.
Baca juga: Arahkan Pengawasan terhadap Netralitas ASN ke Dunia Maya
Selain itu, KASN juga dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan lima kementerian dan lembaga untuk menerbitkan pedoman pengawasan. Menurut rencana, dalam kerja sama itu dibuat surat keputusan bersama (SKB) antara KASN, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Bawaslu.
SKB memuat ketentuan, apabila ada ASN melanggar aturan dan sudah diterbitkan rekomendasi oleh KASN, tetapi tidak segera ditindaklanjuti oleh kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), data administrasi kepegawaian ASN akan diblokir dari Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) BKN. Data diblokir sampai rekomendasi KASN tersebut ditindaklanjuti.
”Selama ini, rekomendasi dari KASN sering terganjal di PPK yang tidak mau menindaklanjuti. Dengan SKB ini, PPK yang lamban juga akan diberi sanksi oleh Kemenpan dan RB atau Kemendagri sesuai delegasi dari presiden,” kata Tasdik.
Menurut Tasdik, catatan pelanggaran netralitas ASN itu juga akan dijadikan sebagai instrumen penilaian rekam jejak dalam promosi jabatan pimpinan tinggi.
Dengan demikian, seharusnya, pelanggaran netralitas ini tidak disepelekan oleh ASN. Untuk mengawasi netralitas ASN selama Pilkada 2020, KASN juga telah melakukan restrukturisasi lembaga. Kini, sudah ada lembaga khusus yang menangani masalah netralitas ASN.
Berdasarkan data KASN, hingga 19 Agustus 2020, sudah ada 490 ASN yang dilaporkan. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah setelah tahapan pencalonan dan kampanye calon kepala daerah. Dari total ASN yang dilaporkan, KASN sudah membuat 372 rekomendasi. Namun, baru 194 rekomendasi atau 52,2 persen yang ditindaklanjuti oleh kepala daerah dengan penjatuhan sanksi.
Selama ini, rekomendasi dari KASN sering terganjal di PPK yang tidak mau menindaklanjuti. Dengan SKB ini, PPK yang lamban juga akan diberi sanksi oleh Kemenpan dan RB atau Kemendagri sesuai delegasi dari presiden
Dilihat dari wilayah, jumlah ASN yang melanggar dan dilaporkan ke KASN paling banyak berasal dari Provinsi Jawa Tengah dengan 65 kasus. Di Jawa Tengah, ada dua daerah yang masuk dalam 10 instansi yang paling banyak melakukan pelanggaran, yaitu Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Sukoharjo. Kemudian, menyusul Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan 58 kasus dan Provinsi Kalimantan Selatan dengan 16 kasus.
Adapun jenis pelanggaran yang banyak dilakukan adalah melakukan pendekatan ke parpol terkait pencalonan dirinya atau orang lain sebagai kepala daerah. Kemudian, kampanye atau sosialisasi di media sosial, serta mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap bakal calon.
Disikapi secara reaktif
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, isu netralitas ASN menjadi masalah yang terus dibicarakan menjelang pemilihan umum. Namun, menurut dia, penyelesaiannya masih sebatas reaktif. Pemerintah belum menyentuh akar permasalahan dari persoalan tersebut. Menurut Robert, selama ASN masih memiliki hak pilih, akan cukup berat melarang mereka mengekspresikan hak pilihnya. Apalagi, selama ini otoritas dan regulasi mengenai sanksi netralitas ASN dinilai masih lemah. KASN hanya berwenang menerbitkan rekomendasi, sementara penjatuhan sanksi menjadi kewenangan kepala daerah.
”Kondisi ini membuat saya bertanya dengan provokatif, apakah masih perlu memberikan hak politik kepada ASN? Jika memang diberikan, bagaimana pemerintah memitigasi risiko politisasi birokrasi ataupun birokrasi yang berpolitik,” kata Robert.
Berdasar pantauan KPPOD, selama pemilu, ada dua fenomena yang terjadi. Pertama, calon tertentu melakukan politisasi birokrasi. Ruang politisasi birokrasi terutama terbuka lebar bagi calon petahana. Petahana dapat memobilisasi anggaran dan program daerah untuk kepentingan politiknya. Mereka juga dapat memobilisasi ASN dengan iming-iming jabatan tertentu jika terpilih. Sementara itu, dari sisi ASN, ada juga yang berpolitik. Mereka menggunakan momentum pemilu sebagai jalan pintas untuk promosi jabatan. Apabila hal itu terjadi, menurut Robert, KASN harus mampu melakukan fungsi pengawasan dengan optimal terhadap ASN yang berpolitik.
Kondisi ini membuat saya bertanya dengan provokatif, apakah masih perlu memberikan hak politik kepada ASN? Jika memang diberikan, bagaimana pemerintah memitigasi risiko politisasi birokrasi ataupun birokrasi yang berpolitik.
Sementara itu, menurut Robert, apabila fenomena tersebut terjadi, publik akan dirugikan dari sisi elektoral. Selain itu, juga ada potensi diskriminasi layanan serta imparsialitas ASN dalam pelayanan publik. Dengan demikian, menurut Robert, pengawasan terhadap netralitas ASN seharusnya tidak hanya dilakukan enam bulan sebelum pemilu. Idealnya, pengawasan dilakukan dua tahun sebelum pemilu. Sebab, bagi petahana, perencanaan maju pada periode kedua biasanya sudah disiapkan dua tahun sebelumnya.
”Di Pilkada 2020 ini, ada 224 daerah yang berpotensi mengikutsertakan petahana sebagai calon. Ini bisa menjadi obyek pantauan KASN dan masyarakat bagaimana fenomena politisasi birokrasi dan birokrasi yang berpolitik di sana,” kata Robert.
Pelayanan publik
Ketua MPR Bambang Soesatyo menambahkan, netralitas ASN dalam pemilu adalah prasyarat mutlak. Sebab, ASN adalah abdi negara pelayan masyarakat. Oleh sebab itu, sikap ASN terhadap politik akan berkaitan dengan kualitas pelayanan publik. Polarisasi ASN di suatu daerah dapat memicu konflik yang dapat mengganggu pelayanan publik.
Bambang juga menyoroti terkait masih lemahnya penegakan regulasi mengenai sanksi netralitas ASN. Dalam pilkada serentak 2018, hanya 15 persen rekomendasi KASN ditindaklanjuti oleh kepala daerah. Menurut dia, tidak ada fungsi kontrol dalam pemberian sanksi kepada ASN sehingga tidak memberikan efek jera.
”Ke depan, aturan harus lebih dijalankan secara profesional. Jangan sampai ada tekanan psikis dari ASN saat ada pemilu serentak,” kata Bambang.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menuturkan, netralitas ASN saat pemilu sulit dilakukan karena mereka berada di posisi yang sulit. Melihat dari sejarah Orde Baru, ASN saat ini memang masih bergerak pada ayunan politik. Meskipun demikian, pihaknya selalu menegaskan kepada ASN agar netral dan bekerja secara berintegritas. Ganjar juga berpesan kepada ASN agar tidak gencar menunjukkan preferensi politiknya di ranah maya. Contohnya adalah memberikan reaksi, komentar, pada fan page calon tertentu.
Ke depan, aturan harus lebih dijalankan secara profesional. Jangan sampai ada tekanan psikis dari ASN saat ada pemilu serentak.
Baca juga: Pelanggaran Netralitas ASN Jadi Sorotan
Terkait dengan banyaknya laporan di wilayah Jawa Tengah, Ganjar mengaku beberapa kali menegur langsung kepala daerah yang dilaporkan melanggar. Pihaknya juga mengklaim telah berupaya melakukan pembinaan agar kepala daerah mau berkomitmen menjalankan rekomendasi dari KASN.
KOMPAS, KAMIS, 27082020 Halaman 2.