OMNIBUS LAW: Bahas RUU Cipta Kerja secara Hati-hati

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan pengusaha ingin segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai tiket keluar dari resesi panjang pada era pandemi. Namun, jika dibahas terburu-buru, ketentuan dalam rancangan legislasi sapu jagat itu justru bisa berbalik menekan konsumsi masyarakat dan kelak mempersulit upaya pemulihan ekonomi nasional pasca Covid-19.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ditargetkan rampung pada September 2020 ini dengan dalih dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi nasional saat pandemi. Relaksasi aturan dan perizinan investasi dalam RUU itu diharapkan bisa meningkatkan arus investasi dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

Namun, investasi tidak cukup hanya dilihat dari kuantitas dan nilai semata. Ekonom Bidang Industri, Perdagangan, dan Investasi di Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, Senin (17/8/2020), mengatakan, investasi yang berkualitas akan lebih menentukan capaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

”Untuk memberi dampak signifikan terhadap laju perekonomian nasional, investasi harus menghasilkan dampak pengganda (multiplier effect). Tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga memperbaiki standar pendapatan dan kesejahteraan pekerja,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.

Untuk memberi dampak signifikan terhadap laju perekonomian nasional, investasi harus menghasilkan dampak pengganda (multiplier effect). Tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga memperbaiki standar pendapatan dan kesejahteraan pekerja.

Bahas RUU Cipta Kerja secara Hati-hati

Menurut Heri, selama ini investor tertarik masuk ke Indonesia karena pangsa pasar Indonesia yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak. Kelebihan Indonesia yang menjadi daya tarik investor ini seharusnya lebih diperkuat melalui meningkatkan daya beli masyarakat agar konsumsi semakin kuat.

Namun, pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja justru dinilai berpotensi membuat masyarakat pekerja semakin tidak sejahtera dengan kebijakan upah murah, ketentuan pemutusan hubungan kerja yang lebih mudah (fleksibilitas tenaga kerja), serta penghapusan hak-hak yang melindungi pekerja.

”RUU ini harus dikaji dengan hati-hati. Jangan hanya mau mengejar cepatnya, tetapi menciptakan banyak celah yang melenceng dari tujuan awal,” katanya.

RUU ini harus dikaji dengan hati-hati. Jangan hanya mau mengejar cepatnya, tetapi menciptakan banyak celah yang melenceng dari tujuan awal.

Konsumsi yang kuat, lanjut Heri, akan berdampak positif pada arus investasi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, konsumsi rumah tangga masih menjadi motor penggerak utama produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Pada triwulan II-2020, ekonomi nasional tumbuh minus 5,32 persen. Konsumsi rumah tangga yang juga tumbuh minus 5,51 persen menjadi sumber kontraksi tertinggi, yakni sebesar minus 2,96 persen.

Baca juga: Solusi Instan ”Omnibus Law”, Awas Senjata Makan Tuan

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nasional Ristadi mengatakan, perwakilan serikat pekerja dan buruh sudah menyampaikan usulannya dalam forum pembahasan tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah, akhir Juli 2020 lalu. Dari hasil pembicaraan, masih ada beberapa pasal yang tidak disepakati.

Kendati demikian, draf hasil rumusan terbaru yang dirapikan pemerintah dari hasil pembahasan tripartit sudah diserahkan ke DPR. ”Perkiraan saya akhirnya nanti akan diambil jalan tengah. Sepertinya, tidak semua usulan dan keberatan kami akan diakomodasi karena akan diseimbangkan dengan aspirasi dunia usaha,” ujarnya.

Dari pembahasan terakhir, Ristadi mengatakan, beberapa pasal yang berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan pekerja, seperti formula upah minimum, dapat diambil jalan tengahnya. ”Soal upah minimum, (kesepakatan terakhir) tetap ada upah minimum kabupaten/kota, tetapi aturan teknisnya nanti akan diatur oleh peraturan pemerintah,” ujar Ristadi.

Sebagaimana diketahui, draf awal RUU Cipta Kerja mengusulkan upah minimum kabupaten/kota dan sektoral dihapus. Upah minimum ditentukan dari upah minimum provinsi yang ditetapkan oleh gubernur. Ketentuan ini dikiritisi karena upah minimum bisa jatuh lebih rendah. Selama ini, upah minimum provinsi kerap lebih rendah daripada upah minimum kabupaten/kota dan sektoral.

Baca juga: Pembahasan RUU Cipta Kerja Rampung Awal September

Mulai bekerja

Pada Selasa ini, tim kerja yang dibentuk antara buruh dan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja akan mulai membahas kluster ketenagakerjaan dalam RUU tersebut.

Sejumlah perwakilan serikat pekerja yang diundang dalam pertemuan itu di antaranya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), serta Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia.

Rapat tim kerja tersebut merupakan tindak lanjut atas pertemuan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad bersama anggota Panja Badan Legislasi DPR dengan serikat pekerja atau serikat buruh pada 11 Agustus 2020. Saat itu disepakati ada 16 unsur buruh yang dilibatkan.

Wakil Ketua Panja RUU Cipta Kerja Achmad Baidowi mengatakan, pada prinsipnya, tim kerja hanya menyimulasikan usulan dari buruh, kemudian membawa usulan itu ke setiap fraksi untuk dibahas ulang. Jika usulan disetujui, fraksi akan memasukkan usulan tersebut ke daftar inventarisasi masalah (DIM).

Usulan yang muncul dari tim itu tentu tidak bisa diputuskan secara langsung. Sebab, selain harus dibawa ke rapat fraksi, usulan juga masih harus dibahas di rapat panja. ”Tetapi, kalau sudah menjadi kesepakatan yang mengerucut, biasanya mayoritas (usulan) diakomodir. Tetapi, itu, kan, bukan jaminan,” tutur Baidowi.

Juru bicara KSPI, Kahar S Cahyono, mengatakan, pembuatan tim kerja bersama buruh dengan DPR bukan berarti buruh sepenuhnya menerima substansi RUU Cipta Kerja. Bila tim kerja itu justru menyimpang dari masukan buruh, buruh tetap akan menolak RUU Cipta Kerja.

”Keliru kalau ada anggapan buruh sudah sepakat dengan substansi RUU Cipta Kerja. Sebab, justru melalui tim bersama itulah kami menyampaikan penolakan kami terhadap RUU Cipta Kerja dan kami menyampaikan masukan kami terhadap RUU Cipta Kerja, yakni agar tidak menyalahi kepentingan buruh,” ucap Kahar.

Aspirasi publik

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menuturkan, seharusnya anggota DPR sebagai wakil rakyat mendengarkan segala aspirasi publik yang muncul belakangan ini terkait RUU Cipta Kerja. Aksi penolakan terhadap RUU tersebut meluas di sejumlah daerah serta melibatkan sejumlah elemen.

Misalnya, kata dia, Gerakan Buruh Bersama Rakyat pada Jumat menggelar aksi demonstrasi di Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Bandung, Solo, Semarang, Cirebon, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Banten, Medan, Jambi, Lampung, Kendari, dan Palu. Perlawanan terhadap RUU Cipta Kerja juga dilakukan di dunia maya dengan tagar #JegalOmnibusLaw. Setidaknya, ada 25.000 cuitan di Twitter terkait tagar itu.

”Jadi, sangat aneh dan mencolok sekali ketika DPR tetap maraton membahas RUU ini. Mereka tidak membawa kepentingan rakyat. Ini betul-betul pengkhianatan kepada rakyat sebagai wakil rakyat,” ujar Asfinawati, yang juga perwakilan Tim Advokasi untuk Demokrasi.

Baca juga: Lanjutkan Pembahasan RUU Cipta Kerja, DPR Disebut Khianati Rakyat

Bahas RUU Cipta Kerja secara Hati-hati
KOMPAS, SELASA, 18082020 Halaman 9.
Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.