DISKUSI EKONOMI: Memformat Ulang Ekonomi Indonesia

Pandemi Covid-19 akan membuat negara-negara di dunia memformat ulang perekonomian mereka. Tren reformasi memaksa aktivitas ekonomi bergantung sepenuhnya pada teknologi. Di Indonesia, pemanfaatan teknologi ibarat pisau bermata dua. Bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berisiko memperlebar ketimpangan.

Forum Ekonomi Dunia mengangkat ”The Great Reset” sebagai tema pertemuan puncak tahunan di Davos, Swiss, Januari 2021. Adopsi teknologi yang semakin intensif dan solidaritas antarwarga yang menguat akan menjadi fondasi dalam peradaban baru atau great reset pascapandemi.

Pada triwulan II-2020, ekonomi Indonesia minus 5,32 persen.

Pandemi Covid-19 memaksa semua negara melakukan reset untuk kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan. Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebutkan, peradaban baru sangat terkait dengan aspek lingkungan, kelembagaan ekonomi/politik, dan ekosistem teknologi.

Harus diakui, adopsi teknologi semakin tak terelakkan di masa pandemi. Riset McKinsey menyebutkan, kehidupan di Indonesia berubah drastis dan dramatis dalam beberapa bulan terakhir sejak pandemi Covid-19. Hasil survei terhadap 700 responden, sebagian besar mengalihkan pembelian barang konsumsi dari kanal luar jaringan ke dalam jaringan.

Data konsumsi rumah tangga dari tahun ke tahun sampai triwulan II-2020 yang dihimpun Badan Pusat Statistik dan dirilis pada Rabu (5/8/2020).

BADAN PUSAT STATISTIK

Data konsumsi rumah tangga dari tahun ke tahun sampai triwulan II-2020 yang dihimpun Badan Pusat Statistik dan dirilis pada Rabu (5/8/2020).

Perubahan pola belanja terjadi hampir di semua kategori, mulai dari layanan hiburan, pengiriman makanan, keperluan rumah, produk pribadi, kebutuhan anak, hingga peralatan fitnes dan elektronik. Namun, ekspektasi belanja menurun di hampir semua kategori, kecuali bahan makanan, produk pribadi, dan hiburan di rumah.

Transaksi harian berbasis sistem Standardisasi Kode Baca Cepat Indonesia (QRIS) juga meningkat di tengah pandemi Covid-19. Bank Indonesia mencatat, transaksi harian menggunakan sistem QRIS pada April 2020 sebanyak 4,8 juta transaksi dengan nilai total 2,4 miliar dollar AS. Nilai transaksi melonjak 26 persen dari rata-rata bulanan pada triwulan II-2019.

Ketergantungan teknologi selama pandemi Covid-19 terefleksi dalam struktur perekonomian RI. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, satu dari 17 sektor usaha penopang ekonomi yang tumbuh positif pada triwulan II-2020 hanya informasi dan komunikasi. Sektor ini tumbuh 10,88 persen pada triwulan II-2020 dan 9,6 persen pada triwulan I-2020.

Kontribusi sektor informasi dan komunikasi terhadap produk domestik bruto (PDB) triwulan II-2020 juga naik menjadi 4,66 persen atau tertinggi keenam dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020 terkontraksi 5,32 persen secara tahunan.

Transformasi teknologi dinilai menjadi ”pembuka kunci” bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Menurut riset Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, transformasi teknologi akan menambah besaran PDB Indonesia 2,8 triliun dollar AS pada 2040. Adopsi teknologi akan meningkatkan produktivitas, efisiensi energi, perencanaan dan penganggaran, serta kualitas produk. Penerapan teknologi baru juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,5 persen (Kompas, 7/1/2020).

Ketimpangan 

Pada akhir Juli lalu tersiar kabar penangkapan seorang bapak di Lampung karena mencuri komputer jinjing. Bapak yang tak pernah memiliki catatan kriminal ini nekat mencuri agar anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama bisa mengikuti pembelajaran daring semasa pandemi. Sungguh ironis, keinginan transformasi teknologi di Indonesia masih meninggalkan banyak orang.

Masyarakat miskin tidak mampu mengakses teknologi untuk bisa beradaptasi. Kondisi itu baru ditilik dari sisi ekonomi. Apalagi dari lokasi, tingkat pendidikan, sosial, dan budaya. Tanpa bantuan pemerintah, ada banyak kelompok penduduk yang semakin tertinggal sehingga akhirnya memperdalam jurang ketimpangan.

Bicara ketimpangan, pandemi Covid-19 dikhawatirkan memperdalam jurang ketimpangan pada pasar tenaga kerja dan pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2020, rasio gini 0,381 atau naik 0,001 poin dibandingkan dengan September 2019 yang sebesar 0,38. Namun, lebih rendah 0,001 poin daripada Maret 2019, yakni 0,382.

Ketimpangan ditunjukkan melalui rasio gini yang berkisar 0-1. Rasio gini mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar.

Di sisi lain, adopsi teknologi baru dihadapkan pada persoalan ketimpangan dana tabungan yang bisa digunakan untuk investasi. Indonesia menghadapi persoalan ketimpangan tabungan untuk investasi yang cukup besar. Jumlah tabungan lebih kecil daripada kebutuhan investasi sehingga mesti ditutup dengan modal asing.

Memformat Ulang Ekonomi Indonesia

Sementara itu, perusahaan manufaktur di Indonesia yang aktif berinovasi dan melakukan riset kurang dari 6 persen. Perusahaan yang melakukan adopsi teknologi baru terbatas sekitar 30 persen, sedangkan perusahaan berbasis konvensional yang tak aktif melakukan riset dan inovasi mencapai 54 persen.

Cita-cita mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan masih dihadapkan banyak tantangan. Penduduk atau pengusaha yang tinggal di Jawa mungkin relatif lebih siap. Kalaupun tidak memiliki akses terhadap layanan teknologi, infrastruktur digital sudah terbangun, tinggal menunggu edukasi dan bantuan pemerintah.

Namun, bagaimana dengan masyarakat di Indonesia bagian timur atau daerah-daerah terluar? Jangan sampai transformasi ekonomi berbasis teknologi ini justru meninggalkan mereka yang sudah tertinggal.

KOMPAS, JUM’AT, 14082020 Halaman 13.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.