JAKARTA, KOMPAS — Program pemerintah menyubsidi pekerja bergaji Rp 5 juta per bulan dinilai perlu diperluas sehingga menjangkau lebih banyak pekerja. Sebab, selain cakupannya yang relatif kecil dibandingkan total pekerja, ada potensi kelompok pekerja yang lebih membutuhkan tetapi luput dari bantuan.
Hingga Selasa (11/8/2020), BPJS Ketenagakerjaan telah mengumpulkan 3,5 juta nomor rekening pekerja calon penerima subsidi gaji dari pemerintah. Mereka berasal dari 600.000 perusahaan yang mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Selasa, mengatakan, jumlah nomor rekening calon penerima ditargetkan terkumpul 5 juta orang pada Agustus 2020. Dengan demikian, subsidi bisa segera ditransfer ke rekening penerima bantuan. ”Pekerja yang memang sudah terdaftar, sudah punya id (identitas) peserta BPJS, otomatis punya hak (menerima subsidi),” kata Ida.
Program subsidi gaji menyasar 15,7 juta pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan dan terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan. Bantuan sebesar Rp 600.000 per bulan akan diberikan selama empat bulan.
”Pertanyaannya, kenapa hanya peserta BPJS Ketenagakerjaan? Ini bentuk apresiasi kepada perusahaan yang selama ini mempercayakan asuransi ketenagakerjaannya kepada BPJS Ketenagakerjaan,” kata Ida.
Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga mengatakan, program itu berpotensi menimbulkan diskriminasi dan memperburuk kesenjangan akses bantuan sosial. Dengan menjadikan data BPJS sebagai satu-satunya patokan, ada beberapa kelompok pekerja yang berpotensi luput dari bantuan.
Mereka antara lain para pekerja formal yang tidak didaftarkan perusahaannya di BPJS Ketenagakerjaan, pekerja informal yang tidak terdaftar dalam BPJS, serta pekerja informal yang mendaftarkan diri dengan status sebagai peserta mandiri/perorangan yang mengiur secara pribadi.
Baca juga: Penyaluran Subsidi Upah 15,7 Juta Pekerja Tergantung Kesigapan Perusahaan
Semua kalangan pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta itu sama-sama terkena dampak pandemi Covid-19. Para pekerja formal dan informal non-peserta BPJS Ketenagakerjaan bahkan mendapat pukulan lebih keras. Selain pendapatannya tergerus pandemi, mereka tidak terlindungi asuransi dan kini juga tidak bisa mengakses bantuan.
Pemerintah diminta memperluas target sasaran program agar mencukupi kebutuhan pekerja tanpa pandang bulu, termasuk pekerja yang bukan peserta BPJS Ketenagakerjaan. ”Mekanisme pemberian stimulus ini perlu segera dikaji agar penyaluran bantuan pemerintah nanti tepat sasaran,” ujarnya.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, status tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan bukan salah pekerja, melainkan perusahaan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS telah mengatur, perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya. Namun, nyatanya, tidak sampai separuh dari total pekerja formal terdaftar sebagai peserta BPJS.
”Kalau ada buruh yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, yang salah adalah pengusaha yang nakal, bukan buruhnya. Maka, negara seharusnya tidak pilih kasih, semua buruh sama-sama membayar pajak, sama-sama punya hak yang sama untuk dilindungi,” kata Said.
Dilema data
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah menghadapi dilema antara kecepatan dan ketepatan penyerapan stimulus. Penyaluran berbagai program pemulihan ekonomi nasional kerap terkendala data penerima dan prosedur birokrasi yang rumit. Data yang tidak lengkap memungkinkan penyaluran tidak sepenuhnya tepat sasaran. Sementara, pemberian stimulus harus tetap akuntabel.
Oleh karena itu, pemerintah mengandalkan data BPJS Ketenagakerjaan. ”Data kembali diperdebatkan karena banyak orang bilang, banyak pekerja yang berpendapatan di bawah Rp 5 juta dan tidak masuk di BPJS Ketenagakerjaan,” kata Sri Mulyani.
Baca juga: Jangan Lupakan Pekerja Informal
Sebagai solusi, kata Sri Mulyani, pemerintah akan membantu pekerja yang tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan dalam program Kartu Prakerja. Manfaat program Kartu Prakerja sama dengan program subsidi gaji, yakni Rp 600.000 per bulan selama empat bulan. Setiap pekerja akan mendapat subsidi gaji total Rp 2,4 juta.
Kendati demikian, Kartu Prakerja juga menghadapi kendala penyaluran. Berdasarkan data Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja, sejak program itu dibuka pada April 2020, baru 1 persen pelaku usaha mikro dan kecil (informal) yang menjadi peserta program. Persentase ini setara 7.396 orang dari total 680.918 peserta.
Program Kartu Prakerja mayoritas bergantung pada data pekerja terdampak pandemi dari Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, Kementerian Ketenagaakerjaan juga dinilai gagal menangkap kondisi pekerja informal secara menyeluruh. Dari total 3,06 juta pekerja yang kena dampak pandemi Covid-19, misalnya, hanya 10,4 persen pekerja informal yang terdata. Sisanya adalah pekerja formal yang terkena pemutusan hubungan kerja atau dirumahkan.
Baca juga: Pekerja Informal Kurang Terakomodasi Kartu Prakerja
Andy menilai, kendala data bukan alasan. Momentum ini seharusnya diambil untuk membenahi karut-marut pendataan yang membuat banyak program bantuan sosial selama ini tidak tepat sasaran dan merata.
Pemerintah dapat mengecek silang dengan sumber data lain, seperti dari BPJS Kesehatan, TNP2K, serikat pekerja atau buruh, serta dengan dinas-dinas ketenagakerjaan di tiap daerah. ”BPJS Ketenagakerjaan bisa aktif mengejar data pekerja dari tiap perusahaan yang terdaftar itu. Perusahaan yang tidak mendaftarkan semua pekerjanya ke BPJS sudah melakukan pelanggaran manipulasi data,” kata Andy.
KOMPAS, KAMIS, 13082020 Halaman 1.