Beberapa negara di Asia Pasifik, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Australia, telah menyusun rencana pemulihan ekonomi mereka dari dampak Covid-19.
Begitu pula halnya negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Mereka sedang menyiapkan rencana besar untuk memulihkan kembali ekonomi negara-negara anggota.
Ancaman gelombang resesi ataupun depresi yang dihadapi hampir semua negara di dunia sudah mulai terlihat di depan mata. Oleh karena itu, sangat masuk akal apabila mitigasi risiko ataupun upaya pemulihannya dipersiapkan mulai dari sekarang, tanpa harus menanti berakhirnya pandemi. Apabila semua negara sudah menyiapkan rencana pemulihan ekonominya, dampak resesi atau depresi global bisa segera diminimalkan dan dicarikan jalan keluar.
Tidak mau ketinggalan dengan negara-negara itu, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020. Komite ini memiliki tugas sangat berat untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Kehadiran komite ini diharapkan dapat membawa langkah-langkah yang tepat dan cepat untuk pemulihan ekonomi Indonesia agar tak menuju ke arah kerusakan lebih parah.
Ancaman gelombang resesi ataupun depresi yang dihadapi hampir semua negara di dunia sudah mulai terlihat di depan mata.
Waktu pembentukan komite ini sangat tepat walaupun angka kasus positif korona di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Kondisi di lapangan sudah memperlihatkan bahwa perekonomian nasional sudah di ambang resesi, bahkan depresi, sehingga perlu segera diambil berbagai kebijakan dan tindakan untuk mengatasinya.
Berikut beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh komite untuk memulihkan kembali perekonomian nasional.
Fokus pemulihan
Masyarakat memiliki harapan besar agar Indonesia bisa bangkit segera dari dampak pandemi dan menyusun strategi membangun kembali perekonomian nasional. Upaya pemulihan ekonomi nasional harus difokuskan pada tiga persoalan utama.
Pertama, menyelamatkan jiwa manusia sebanyak-banyaknya dari penyebaran Covid-19 yang sekarang ini cenderung mulai kurang terkontrol. Pemulihan ekonomi tak akan berhasil sepenuhnya apabila penyebaran virus masih terus berlangsung.
Kedua, menggerakkan roda ekonomi secepat mungkin agar mesin-mesin ekonomi bisa beroperasi kembali guna mencegah terjadinya kontraksi ekonomi yang semakin dalam. Pergerakan mesin ekonomi perlu diprioritaskan pada sektor usaha yang menyerap banyak tenaga kerja dan industri yang mampu menyediakan barang-barang kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, memulihkan kembali daya beli masyarakat yang mengalami penurunan drastis akibat bertambahnya penganggur ataupun angka kemiskinan. Pandemi Covid-19 telah melahirkan kesenjangan ekonomi yang membuat kualitas hidup sebagian masyarakat menurun.
Ketiga fokus ini diharapkan tak hanya dapat menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpurukan yang lebih dalam, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi situasi krisis yang panjang waktunya.
Membangun kembali perekonomian yang terpuruk akibat pandemi butuh biaya sangat besar. Arus uang harus kembali mengalir ke sektor riil guna membiayai kegiatan ekonomi yang sebagian terhenti karena krisis.
Kebijakan fiskal yang agresif melalui berbagai paket stimulus ekonomi sudah dijalankan untuk mengalirkan likuiditas agar ekonomi bisa bergerak. Pertanyaannya, sampai kapan stimulus itu dapat diberikan di tengah-tengah terbatasnya sumber penerimaan keuangan pemerintah.
Kebijakan fiskal yang agresif melalui berbagai paket stimulus ekonomi sudah dijalankan untuk mengalirkan likuiditas agar ekonomi bisa bergerak.
Penerimaan pajak tak akan sebesar tahun lalu mengingat banyaknya perusahaan yang merugi atau gulung tikar. Defisit APBN sudah diperkirakan akan kian melebar dan diproyeksikan mencapai 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB). Penerbitan obligasi pemerintah di pasar global masih dimungkinkan, tetapi harus memberikan imbal hasil lebih besar karena investment grade Indonesia sudah diturunkan oleh Standard & Poor’s dari stable menjadi negative sebagai akibat pandemi.
Perbankan yang selama ini menjadi salah satu sumber utama pembiayaan sektor riil juga mengalami hambatan. Di satu sisi, kebutuhan likuiditas saat ini sangat besar, tetapi tak semua bank memiliki likuiditas mencukupi untuk mendukung ekspansi kredit yang besar.
Di sisi lain, ancaman munculnya credit crunch juga sangat mungkin terjadi karena bank-bank yang memiliki likuiditas besar pun sangat selektif dalam memberikan fasilitas pinjaman. Padahal, dukungan pembiayaan dari perbankan selama ini memiliki peran yang besar dalam menopang kegiatan UMKM dan juga korporasi besar.
Kesulitan lain juga dialami korporasi-korporasi besar karena mereka juga harus membayar biaya pinjaman (cost of borrowing) lebih tinggi, mengingat lembaga pemeringkat internasional ternyata sudah menurunkan peringkat utang korporasi mereka.
Insolvensi UMKM dan korporasi
Krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi juga menyebabkan insolvensi (tak mampu bayar utang) pada sektor UMKM ataupun korporasi besar. Rendahnya permintaan atas produk-produk mereka menyebabkan kondisi keuangan mereka sangat rentan sehingga berimbas pada gagal bayar untuk membayar kewajiban utang mereka.
Saat ini sudah banyak kegiatan usaha di Indonesia yang berada dalam fase insolvensi dan apabila masalah insolvensi ini dibiarkan berlanjut, gelombang kebangkrutan korporasi tidak bisa dihindari lagi.
Era kebangkrutan korporasi global sudah terjadi di mana-mana dan sudah banyak perusahaan yang telah dinyatakan pailit. Oleh karena itu, tugas komite sangat berat untuk menjaga jangan sampai gelombang kebangkrutan melanda kegiatan usaha di Indonesia. Masalah ini menjadi sangat logis karena percuma saja menyuntik UMKM ataupun korporasi besar dengan tambahan likuiditas apabila sudah banyak kegiatan usaha yang bangkrut dan dilikuidasi.
Membangun kembali UMKM dan korporasi baru untuk menggantikan keberadaan mereka yang sudah bangkrut tidaklah mudah karena memakan waktu yang lama dan membutuhkan sumber daya yang besar. Sektor UMKM telah menjadi salah satu pilar penting dalam struktur ekonomi nasional sehingga komite perlu menempatkan UMKM menjadi prioritas utama program pemulihan ekonomi.
Ada beberapa argumen yang menjadi dasar mengapa pemulihan UMKM harus diprioritaskan. Pertama, jumlah pelaku usaha UMKM sangat banyak, sekitar 52 juta unit, tetapi sebagian besar masih sangat rentan terhadap pengaruh krisis ekonomi. Jumlah UMKM diperkirakan 99,9 persen dari semua pelaku usaha dan hanya 0,1 persen korporasi besar.
Kedua, UMKM memberikan kontribusi sekitar 60 persen pada PDB. Ketiga, UMKM menyerap 97 persen dari sekitar 137 juta tenaga kerja di Indonesia. Dengan fakta ini, kita bisa melihat bahwa kebangkrutan UMKM akan membawa dampak besar pada pengangguran. Keempat, kegiatan usaha UMKM tersebar di berbagai pelosok Tanah Air sehingga kebangkitan UMKM juga akan mendukung pemulihan perekonomian daerah yang terdampak korona.
Kebijakan ekonomi yang bersifat abnormal menjadi mendesak dan perlu dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Kondisi perekonomian nasional yang semakin terpuruk menuju ke arah resesi perlu dicegah sekuat mungkin dan diminimalkan dampaknya untuk mengurangi kerugian yang lebih besar. Kebijakan ekonomi yang bersifat abnormal menjadi mendesak dan perlu dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, segala bentuk peraturan, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian, maupun lembaga negara, yang menghambat upaya-upaya pemulihan ekonomi harus ditinjau ulang.
Peninjauan ulang berbagai peraturan ini sangat penting agar kecepatan pemulihan ekonomi nasional tak dihambat oleh ketentuan yang saling bertentangan ataupun yang terlalu birokratis. Jika perlu, aturan-aturan yang tak mendukung pemulihan ekonomi tersebut dapat dipangkas ataupun disederhanakan.
(Agus Sugiarto
Advisor Otoritas Jasa Keuangan)
KOMPAS, JUM’AT, 07082020 Halaman 6.