MITIGASI RESESI: RI Gencar Berburu Investasi

JAKARTA, KOMPAS — Peluang investasi muncul di tengah pandemi saat banyak perusahaan merelokasi pabriknya ke luar China. Untuk menekan dampak resesi, pemerintah gencar berburu investasi, khususnya sektor manufaktur yang bersifat padat karya. Namun, upaya itu jangan sampai bertentangan dengan aspek kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan pekerja.

Akibat pandemi Covid-19, arus investasi di Indonesia mengalami pertumbuhan terendah selama satu dekade terakhir. Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan investasi pada triwulan I-2020 hanya 1,7 persen dibandingkan capaian tahun-tahun sebelumnya. Pada triwulan I-2018, misalnya, investasi sempat bertumbuh pesat hingga 7,94 persen.

Pada triwulan II-2020, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi memburuk ketimbang triwulan I-2020. Nilai investasi  tersebut Rp 191,9 triliun, turun 4,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Di tengah kelesuan iklim investasi itu, peluang tetap muncul berhubung semakin banyak perusahaan global yang berencana memindahkan pabriknya dari China ke sejumlah negara Asia lainnya. Untuk merebut peluang itu, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Selasa (4/8/2020), mengatakan, dibutuhkan langkah-langkah yang tidak lazim.

RI Gencar Berburu Investasi

Baca juga: Lima Pabrik Pindah dari China ke Jawa Tengah, Bulan Ini Dibangun

Pemerintah akan menempuh berbagai cara untuk membuka diri pada investor asing, baik dari segi kebijakan, insentif, maupun perubahan regulasi. ”Karena kondisi Covid-19, jangan lagi memakai rujukan dengan cara-cara lazim. Harus di luar kelaziman,” ujarnya dalam diskusi daring ”Relocating Invesment To Indonesia In The Time of Covid-19: Opportunity and Challenge”.

Karena kondisi Covid-19, jangan lagi memakai rujukan dengan cara-cara lazim. Harus di luar kelaziman.

Dulu, kata Bahlil, pemerintah cenderung selektif dalam memberikan izin investasi ke pelaku usaha. Namun, pasca-pandemi ini, BKPM lebih leluasa dan longgar memberi izin kepada calon investor yang berminat menanamkan modalnya di Indonesia.

”Kalau dulu masih milih-milih, sekarang di tengah Covid-19 ini, yang penting investasi masuk,” katanya.

RI Gencar Berburu Investasi

Menurut Bahlil, investasi penting untuk membuka lapangan pekerjaan baru. Diperkirakan ada sekitar 16 juta orang-17 juta orang yang saat ini sedang berburu pekerjaan. Mereka berasal dari 7 juta orang angkatan kerja yang menganggur, ditambah 8 juta orang penganggur baru yang muncul akibat dampak Covid-19.

Ada lima sektor yang saat ini sedang diburu pemerintah untuk berinvestasi, yakni industri alat kesehatan, energi, pertambangan, manufaktur, dan infrastruktur. ”Kami ingin investasi ke depan bernilai tambah. Sektor seperti manufaktur, khususnya, penting untuk mendorong penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.

Baca juga: Krisis Global Akan Menurunkan Kontribusi Investasi dalam PDB RI

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan, menggenjot sektor manufaktur untuk tetap beroperasi selama pandemi dapat membantu menghindarkan Indonesia dari dampak resesi berkepanjangan. Indikasi menjanjikan tampak dari Indeks Manufaktur Indonesia (PMI) yang dikeluarkan IHS Markit.

Hasil survei itu menunjukkan peningkatan konsisten selama empat bulan terakhir. Sejak anjlok ke poin 27,5 pada April, per Juli 2020 ini, PMI Indonesia naik ke 46,9, nyaris mendekati batas aman di angka 50.

”Kami akan berupaya agar ke depan, manufaktur Indonesia semakin berdaya saing dan terus bertumbuh,” kata Agus.

Menggenjot sektor manufaktur untuk tetap beroperasi selama pandemi dapat membantu menghindarkan Indonesia dari dampak resesi berkepanjangan.

RUU Cipta Kerja

Bahlil berpendapat, salah satu cara mendapatkan investasi adalah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU sapu jagat itu dinilai ampuh untuk merebut perhatian investor dari negara pesaing, seperti Vietnam, khususnya dari segi kemudahan birokrasi, harga tanah, dan upah pekerja.

RUU itu kini tengah dalam proses pembahasan daftar inventarisasi masalah terkait kluster perizinan investasi. Namun, resistensi yang muncul dari publik masih kuat, terutama dari pekerja, pemerhati lingkungan hidup, akademisi, dan masyarakat lokal.

Lepas dari penolakan publik, Bahlil berpendapat, RUU Cipta Kerja tetap perlu segera disahkan karena memberikan kemudahan birokrasi perizinan investasi serta perhatian pada UMKM.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Bukan Jaminan

Ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, mengatakan, untuk menarik lebih banyak investasi asing, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Faktor yang pertama-tama harus diselesaikan adalah persoalan lingkungan dan praktik koruptif di birokrasi.

”Seharusnya, aspek ini menjadi prioritas utama sebelum membenahi faktor-faktor penghambat lainnya,” katanya.

Berdasarkan laporan Global Competitiveness Report 2017-2018 dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2019 terhadap pelaku bisnis, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, disusul inefisiensi birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, dan kebijakan yang tidak stabil. Faktor peraturan tenaga kerja, yang menjadi salah satu alasan penolakan kuat dari publik, ada di urutan terbawah.

Menurut Fadhil, meskipun skema regulasi melalui RUU Cipta Kerja juga penting, RUU itu kini menjadi instrumen yang mendapat resistensi kuat dari berbagai pemangku kepentingan di dalam negeri. Oleh karena itu, langkah pemerintah dalam membahas RUU Cipta Kerja harus dilakukan secara berhati-hati. Titik tengah harus dicari agar tidak mengesampingkan berbagai aspek lain.

”Pemerintah harus mau membicarakan ini secara terbuka dengan berbagai pemangku kepentingan yang berbeda agar RUU ini benar-benar efektif untuk menjadi instrumen menarik investasi ke Indonesia tanpa mengundang resistensi,” katanya.

KOMPAS, RABU, 05082020 Halaman 9.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.