RESTRUKTURISASI KREDIT: Korporasi Bisa Dapat Potongan Suku Bunga dan Kredit Modal Kerja

JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan tengah mengidentifikasi kebutuhan korporasi untuk kembali menjalankan roda bisnis seusai hancur lebur dihantam pandemi Covid-19. Regulator berupaya mengakomodasi kebutuhan kredit korporasi untuk menjaga putaran roda ekonomi nasional.

Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo membenarkan bahwa restrukturisasi kredit untuk segmen korporasi sudah berlangsung. Namun, OJK dan pemerintah beritikad untuk mengidentifikasi kebutuhan korporasi secara lebih terukur.

”Ini dilakukan agar pada periode pemulihan ekonomi saat ini, sektor industri bisa fokus menjadi pengungkit ekonomi,” ujar Anto saat dihubungi, Kamis (9/7/2020).

Restrukturisasi kredit untuk segmen korporasi sudah berlangsung. Namun, OJK dan pemerintah beritikad untuk mengidentifikasi kebutuhan korporasi secara lebih terukur.

Anto menyatakan, produk regulasi dari hasil identifikasi yang dilakukan regulator dan pemerintah terkait kebutuhan korporasi nantinya bisa bermacam-macam, misalnya pemotongan suku bunga kredit ataupun penyaluran kredit modal kerja.

Hal utama yang menjadi prioritas pemangku kebijakan adalah mengurangi tekanan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada industri bermodal besar dengan tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah meningkatnya penularan Covid-19.

”Identifikasi lebih lanjut karena kondisi korporasi ini memiliki keberagaman dan saat ini setiap bank saat ini punya penilaiannya masing-masing,” ujarnya.

Saat ini, OJK tengah mematangkan aturan restrukturisasi kredit bagi korporasi yang terdampak pandemi Covid-19. Sebelumnya, OJK telah memiliki Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Kontra Siklus Dampak Penyebaran Covid-19.

Berdasarkan data OJK per 29 Juni 2020, realisasi restrukturisasi kredit yang telah dilakukan mencapai Rp 740,79 triliun dari 6,56 juta debitor. Rinciannya Rp 423,5 triliun restrukturisasi dari 1,27 juta debitor non-UMKM dan Rp 317,29 triliun dari 5,29 juta debitor UMKM.

Baca juga: OJK Matangkan Aturan Restrukturisasi Kredit bagi Korporasi

Dihubungi secara terpisah, pengamat perbankan yang juga mantan Assistant Vice President PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Paul Sutaryono, mengaku tidak yakin jika seluruh 1,27 juta debitor non-UMKM itu merupakan restrukturisasi kredit untuk segmen korporasi secara langsung.

Kemungkinan besar, jumlah tersebut melakukan restrukturisasi kredit korporasi secara tak langsung, yakni dengan tidak membuat pencadangan untuk debitor korporasi dengan penurunan status dari kolektibilitas 1 (kredit lancar) menjadi kolektibilitas 2 (kredit dalam perhatian khusus).

”Kebijakan seperti itu tetap dianggap sebagai restrukturisasi kredit. Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) tetap dianggap sebagai kredit lancar meski kolektibilitasnya menurun,” katanya.

Paul mengingatkan, lembaga perbankan untuk tetap berhati-hati dalam merestrukturisasi kredit korporasi bila kelak regulasi terkait restrukturisasi kredit korporasi telah diterapkan. Sementara OJK perlu membuat koridor yang sangat jelas untuk menghindari penyimpangan moral dari penerapan restrukturisasi kredit korporasi.

”Bank wajib amat hati-hati supaya tak terjadi aji mumpung yang memicu penyimpangan moral. Namun, menurut saya, prioritas restrukturisasi kredit tetap harus pada debitor segmen UMKM sebagai motor ekonomi nasional,” ujarnya.

Bank wajib amat hati-hati supaya tak terjadi aji mumpung yang memicu penyimpangan moral.

Korporasi Bisa Dapat Potongan Suku Bunga dan Kredit Modal Kerja

Sementara, pelaku usaha dan industri yang menjadi debitor perbankan mengeluhkan proses administrasi dan persyaratan restrukturisasi kredit yang ribet, kompleks, dan memakan waktu lama. Selain itu, pelaku usaha dan industri di daerah juga ada yang belum mendapat restrukturisasi kredit karena sejumlah bank di beberapa daerah belum dapat memenuhinya.

Baca juga: Apindo: Proses Administrasi Restrukturisasi Kredit Ribet

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, Kamis, mengatakan, terdapat pengajuan restrukturisasi kredit dari pelaku usaha yang sejak April lalu hingga Juli ini belum selesai. Salah satu problematikanya pada aspek stress test atau pengukuran kemampuan permodalan dan likuiditas.

”Selain itu, ada biaya-biaya tambahan dalam administrasi dan pemrosesan restrukturisasi kredit, seperti tarif penyediaan kredit (arranger fee). Padahal, ada pelaku usaha yang tak mampu membayar biaya-biaya tambahan itu,” katanya.

Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri Indonesia Handito Joewono mengatakan, fasilitas restrukturisasi kredit bagi pelaku usaha dan industri skala besar mesti ditangani dan disesuaikan kasus demi kasus.

KOMPAS, JUM’AT, 10072020 Halaman 9.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.