RUU PEMILU: Putusan MA Soal Penetapan Pemilu Jadi Bahan Evaluasi RUU Pemilu

JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 Tahun 2019 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2019 menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat merumuskan pengaturan sengketa selisih hasil suara dalam pemilu. Munculnya putusan MA setelah pemenang pemilu ditetapkan berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat.

Di sisi lain, putusan MA No 44/2019 itu juga dianggap tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada sebelumnya. Putusan itu pun baru dikeluarkan ketika pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dan telah bekerja selama satu tahun. Akibatnya, putusan itu dinilai tidak lagi dapat diterapkan dan kehilangan relevansinya atas hasil pemilu. Putusan MA yang kedaluwarsa dinilai tidak berlaku surut dan karena itu tidak bisa diterapkan untuk mengoreksi hasil Pemilu 2019.

Baca juga: MESKI MA BATALKAN PKPU PENETAPAN KPU, HASIL PEMILU 2019 TETAP BERLAKU

”Putusan MA itu akan menjadi bahan pertimbangan bagi Panitia Kerja Penyusunan RUU Pemilu dalam merumuskan mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilu. Sebab, putusan ini kan menjadi polemik di masyarakat, sedangkan putusan baru keluar setelah presiden terpilih sudah bekerja sejak Oktober 2019,” kata Saan Mustopa, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem, saat dihubungi, Kamis (9/7/2020).

Putusan MA itu akan menjadi bahan pertimbangan bagi Panitia Kerja Penyusunan RUU Pemilu dalam merumuskan mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilu. Sebab, putusan ini kan menjadi polemik di masyarakat, sedangkan putusan baru keluar setelah presiden terpilih sudah bekerja sejak Oktober 2019.

Sebelumnya, MA mengeluarkan putusan No 44/2019 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas PKPU No 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Permohonan uji materi itu diajukan oleh Rachmawati Soekarnoputri dan beberapa orang lainnya.

Dalam putusan itu, MA menyatakan ketentuan Pasal 3 Ayat (7) PKPU No 5/2019 bertentangan dengan UU Pemilu dan dinyatakan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat. MA juga menghukum termohon (KPU) untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1 juta. Putusan yang sudah diputus oleh majelis hakim pada 28 Oktober 2019 baru diunggah di laman resmi MA pada 3 Juli 2020.

Adapun pasal yang diujikan oleh pemohon itu mengatur jika hanya terdapat dua pasangan calon dalam pilpres, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih. Artinya, jika calon terpilih telah memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara sah dalam pemilu, meskipun tidak memperoleh paling sedikit 20 persen suara di setiap provinsi dan tersebar di lebih dari 50 persen jumlah provinsi di Indonesia, pasangan calon tersebut akan dinyatakan sebagai pemenang pilpres. Oleh karena itu, pilpres putaran kedua tidak perlu digelar.

Dalam putusannya, MA menyatakan ketentuan itu bertentangan dengan UU Pemilu. Artinya, bila mengikuti Pasal 416 UU No 7/2017 tentang Pemilu, syarat keterpilihan pasangan calon harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara sah dalam pemilu dan memperoleh paling sedikit 20 persen suara di setiap provinsi dan tersebar di lebih dari 50 persen jumlah provinsi di Indonesia.

Menurut Saan, harus ada aturan yang jelas di dalam RUU Pemilu mengenai batas waktu pemberian putusan di pengadilan atas sengketa hasil ataupun persoalan administratif dan uji materi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, kejadian putusan baru keluar ketika pemilu sudah hampir setahun berlalu tidak terjadi lagi. Putusan yang dikeluarkan tidak sesuai momentum bukan hanya tidak relevan, melainkanjuga berpotensi menimbulkan polemik serta menjadi preseden kurang baik di masyarakat.

Komisi II DPR juga memberi perhatian terhadap substansi putusan MA yang tidak sejalan dengan putusan MK. MK sebelumnya telah memutus perkara serupa dalam putusan di tahun 2014 dan dikuatkan lagi pada putusan tahun 2019.  Dalam putusan MK No 50/PUU-XII/2014, yang kemudian diperkuat dengan putusan MK Nomor 36/PUU-XVII/2019, MK sudah menafsirkan makna atau substansi yang terkandung di dalam 416 UU No 7/2017 tentang Pemilu. Menurut MK, ketentuan Pasal 416 harus dimaknai apabila terdapat dua pasangan calon dalam pilpres, maka pasangan calon yang terpilih adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak sehingga tidak perlu dilakukan pilpres putaran kedua.

Ketidakselarasan putusan MA dan MK bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, ada polemik putusan pencalonan Oesman Sapta Odang sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang berbeda subtansi antara MA dan MK.

Saan mengatakan, UU sebenarnya telah mengatur kewenangan MA dan MK. MA diberi kewenangan untuk menguji materi peraturan di bawah UU, sedangkan MK setara dengan UU. ”Berdasarkan kejadian-kejadian yang dialami, kami akan coba merumuskannya nanti di RUU Pemilu sehingga terkait dengan sengketa pemilu tidak bertentangan antara satu putusan dan putusan yang lain walaupun ada kewenangan masing-masing baik MA maupun MK,” katanya.

Evaluasi uji materi MA

Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pasal dalam PKPU merujuk pada putusan MK terdahulu, untuk substansi yang sama dengan permohonan pemohon uji materi di MA. Sangat disayangkan MA mengabaikan fakta tersebut. Selain itu, walaupun pasal itu dikabulkan pembatalannya dan syarat sebaran suara diberlakukan, Joko Widodo tetap memenuhi ketentuan untuk memenangi pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945.

”Sudah saatnya uji materi di MA dievaluasi secara mendasar. Proses yang tertutup, dan cenderung sunyi, sangat rentan mengalami distorsi akibat akuntabilitas yang lemah dan kontrol publik yang terbatas,” kata Titi.

Di sisi lain, perbedaan putusan MA dan MK juga menjadi akibat dari terlalu banyaknya  ruang pencarian keadilan elektoral yang dalam praktiknya justru terdiskoneksi, dan kerap kali mengabaikan kewenangan lembaga satu sama lain.

Sudah saatnya uji materi di MA dievaluasi secara mendasar. Proses yang tertutup, dan cenderung sunyi, sangat rentan mengalami distorsi akibat akuntabilitas yang lemah dan kontrol publik yang terbatas.

Upaya untuk meminimalisasi dua putusan yang berbeda antara MA dan MK, menurut Titi, juga dapat dilakukan dengan menyatukan kewenangan uji materi itu pada satu lembaga. Dengan hanya satu lembaga yang berwenang memutus uji materi, baik untuk UU maupun ketentuan di bawah UU, potensi untuk terjadinya putusan yang berbeda satu sama lain bisa diatasi.

Baca juga: PRABOWO UCAPKAN SELAMAT KEPADA JOKOWI

Sebelumnya, KPU menegaskan putusan MA tidak berpengaruh terhadap hasil pemilu. Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, putusan MK berlaku mengikat untuk semua warga negara. Selain itu, salah satu asas pemilu ialah tidak berlaku surut.

”Putusan MA No 44/2019 adalah pengujian norma dalam PKPU 5/2019. Peristiwa hukum penetapan paslon presiden dan wapres terpilih hasil Pemilu 2019 dilaksanakan pada 30 Juni 2019. Putusan MA 44/2019 diregister 14 Mei 2019 dan diputuskan 28 Oktober 2019. Karena Putusan MA adalah pengujian norma PKPU, maka tidak dapat diberlakukan surut terhadap peristiwa hukum yang telah dilaksanakan,” kata Hasyim.

KOMPAS, JUM’AT, 10072020 Halaman 2.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.