PEMBIAYAAN PEMULIHAN EKONOMI: Investor Tak Perlu Khawatir

JAKARTA, KOMPAS — Pembagian beban antara pemerintah dan Bank Indonesia diperlukan untuk menjaga kesinambungan utang dan kondisi pasar surat utang tetap kondusif. Investor asing tidak perlu khawatir karena tata kelola dilakukan secara hati-hati dan akuntabel.

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, Selasa (7/7/2020), menuturkan, bunga utang pemerintah tahun ini diperkirakan meningkat cukup signifikan sehingga diperlukan skema berbagi beban (burden sharing). Pembagian beban bunga utang akan berimplikasi positif terhadap kesinambungan utang dan ruang fiskal pemerintah.

”Skema burden sharing dapat mendukung peringkat surat utang pemerintah yang tetap layak investasi dan tetap dapat menutupi defisit anggaran dalam jangka pendek,” kata Josua yang dihubungi dari Jakarta.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan akan berbagi beban pendanaan untuk biaya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi dengan skema pembelian surat berharga negara (SBN) tanpa mekanisme pasar dan pembagian beban bunga utang. Total kebutuhan dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 695,2 triliun tahun ini.

Investor Tak Perlu Khawatir

BI akan membeli SBN yang diterbitkan pemerintah senilai total Rp 397,56 triliun berikut beban bunganya. Pendanaan yang akan ditanggung BI menyangkut program hajat hidup orang banyak (public goods), seperti bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta bantuan untuk UMKM dan pemerintah daerah.

Pembelian SBN secara langsung oleh BI hanya berlaku untuk tahun 2020. Pembelian SBN dengan mekanisme privat placement ini memiliki tingkat kupon sebesar suku bunga acuan BI atau BI 7-day Reverse Repo Rate. Saat ini suku bunga acuan BI sebesar 4,25 persen (Kompas, 6/7/2020).

Menurut Josua, dukungan BI tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan tingkat bunga obligasi pemerintah. Hal itu karena BI hanya mendukung kurang dari 15 persen dari total obligasi rupiah yang ada, dan hanya diterbitkan tahun ini. Namun, tingkat bunga obligasi pemerintah masih berpotensi turun seiring proyeksi penurunan suku bunga acuan BI.

”Pembagian beban lebih untuk memitigasi risiko peningkatan beban utang dan mendorong kesinambungan utang pemerintah, yang pada akhirnya mendorong kondisi pasar SBN tetap kondusif,” ujarnya.

Penerapan skema berbagi beban antara otoritas fiskal dan moneter juga diterapkan beberapa negara, seperti Inggris, Jepang, Amerika Serikat, dan Thailand. Kebijakan ini untuk merespons kondisi yang luar biasa akibat Covid-19.

Josua berpendapat, hampir semua bank sentral di dunia membuat kebijakan yang sama dengan Indonesia. Bank sentral ambil bagian dalam pendanaan Covid-19 dan pembiayaan defisit anggaran karena ruang fiskal pemerintah terbatas. Investor asing tidak perlu khawatir berlebih karena independensi bank sentral tetap dijaga.

”Dalam skema burden sharing ini, BI akan mengoptimalkan likuiditas dalam neraca keuangan saat ini dan tentunya disesuaikan dengan kemampuan neraca BI,” ujarnya.

Investor asing tidak perlu khawatir berlebih karena independensi bank sentral tetap dijaga.

Investor Tak Perlu Khawatir

Sementara Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Eric Sugandi menuturkan, skema membagi beban (burden sharing) antara bank sentral dan pemerintah banyak dilakukan di sejumlah negara. Dalam skema ini bank sentral turut membeli obligasi pemerintah melalui program pelonggaran kuantitatif.

”Hal ini menurut saya wajar karena kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif dibutuhkan untuk dorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Menurut Eric, terkait risiko inflasi, BI masih akan mampu mengendalikannya karena kalaupun kebijakan ini menyebabkan tekanan inflasi meningkat, bank sentral bisa menjual kembali SBN yang dipegangnya di pasar sekunder.

”Namun dalam pelaksanaannya nanti, sebaiknya angka pembagian beban untuk BI tidak dinaikkan dari angka yang telah disepakati. Pasalnya, kebijakan ini akan berdampak ke persepsi pelaku pasar terhadap independensi BI dalam menjalankan kebijakan moneter,” katanya.

Sebaiknya angka pembagian beban untuk BI tidak dinaikkan dari angka yang telah disepakati. Pasalnya, kebijakan ini akan berdampak ke persepsi pelaku pasar terhadap independensi BI dalam menjalankan kebijakan moneter.

Pemulihan ekonomi

Sementara itu, BI akan terus mengawal dan menopang pemulihan ekonomi nasional yang terimbas Covid-19. Dua dari tiga calon deputi gubernur BI mengungkapkan komitmen itu dalam uji kelayakan dan kepatutan calon deputi gubernur Bank Indonesia (BI) di Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa.

Dua dari tiga calon deputi gubernur BI itu adalah Juda Agung dan Aida S Budiman. Satu calon lainnya, Doni Primanto Joewono, baru akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan pada 8 Juli 2020. Salah seorang dari mereka nantinya akan menggantikan Erwin Rijanto yang masa jabatannya berakhir pada Juni 2020.

Saat ini, Juda menjabat sebagai Kepala Departemen Kebijakan Makrorudensial BI, Aida sebagai Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, dan Doni sebagai Kepala Departemen Sumber Daya Manusia BI.

Juda mengatakan, amendemen Undang-Undang (UU) BI harus memberikan keleluasaan bagi bank sentral untuk turun langsung ketika terjadi krisis. Pasalnya, dalam situasi seperti krisis sekarang ini, peran bank sentral dalam pembiayaan ekonomi itu sangat penting.

”Peran itu belum ada dalam UU yang sudah ada. Substansi revisi UU BI bisa diarahkan agar dalam situasi-situasi tertentu BI bisa melakukan pembiayaan terhadap ekonomi,” katanya.

Juda juga memaparkan, Indonesia perlu melalui tiga fase menghadapi imbas Covid-19, yakni fase penyelamatan ekonomi (2020), fase pemulihan ekonomi (2021), dan fase normalisasi kebijakan (2022-2023). Kunci utama pada fase penyelamatan ekonomi adalah bantuan sosial, restrukturisasi kredit, serta pelonggaran aturan perbankan dan sektor jasa keuangan. Pada fase ini, ekonomi nasional diperkirakan bisa tumbuh 1,4 persen.

Setelah itu, lanjut Juda, pada fase pemulihan, akselerasi program pemulihan ekonomi sangat diperlukan. Pada fase ini pemerintah perlu terus mendorong permintaan, penyiapan ekonomi digital, dan reaktivasi ekonomi.

”Saya yakin pada fase kedua ini, ekonomi Indonesia dapat tumbuh pada level 6,71 persen,” ujarnya.

Adapun pada fase normalisasi kebijakan, penguatan kebijakan struktural harus terus dibangun agar dapat menjalankan ekonomi dalam era yang baru atau normal baru. Juda optimistis ekonomi nasional dapat tumbuh 5,35 persen pada 2022 dan 5,42 persen pada 2023.

Aida berpendapat, untuk mendukung pemulihan ekonomi pasca-Covid-19, dibutuhkan upaya percepatan menjadi negara maju, menyesuaikan kerangka kebijakan, dan mengantisipasi perubahan perilaku perekonomian akibat digitalisasi ekonomi. Ini perlu ditopang dengan exit strategy atau strategi untuk keluar dari kebijakan yang pernah dilakukan selama pandemi Covid-19 diperlukan.

Exit strategy ini dapat diletakkan sebagai proses normalisasi atas berbagai kebijakan ekspansi yang ditempuh selama periode pandemi. Strategi ini juga sebagai upaya untuk kembali membawa ekonomi ke dalam lintasan jangka panjangnya menuju pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkesinambungan,” katanya.

Fase pemulihan ekonomi yang dipresentasikan calon deputi gubernur Bank Indonesia, Juda Agung

KOMPAS, RABU, 08072020 Halaman 9.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.